Share

Hilang?

Indah merasa sangat jenuh berada di dalam kamarnya tanpa melakukan apa pun. Alda sering kali memperingatinya agar tidak keluar dari kamar. Namun, hari ini ia memberanikan diri untuk keluar dari sarangnya.

Suasana sepi, menandakan Dhananjaya yang menguasai lantai tiga sedang tidak ada di rumah. Indah lega, tidak akan takut ketahuan salah satu pengawal pribadi suaminya. Langkahnya yang tanpa tujuan, menyusuri satu lorong yang tampak sangat sepi.

Di ujung lorong tersebut, ada satu pintu berukuran sangat besar yang terbuat dari kayu jati. Menerka-nerka luas bangunan, Indah takut akan tersesat. Demi apa pun, ia tidak pernah membayangkan rumah itu akan seluas yang sedang ditelusurinya saat ini.

Tepat di depan pintu berwarna coklat, Indah menyentuh knop pintu, lalu sedikit mendorongnya hingga ia dapat mengintip ke dalam. Matanya terbelalak dengan sempurna saat melihat buku-buku besar, berjejer sangat rapi di atas rak. Indah yang memang suka membaca, sangat tertarik untuk membaca buku-buku yang ada di sana.

Setelah meyakinkan dirinya bahwa tidak ada orang di dalam, Indah masuk dengan cara mengendap-endap seperti pencuri. Dengan senyum yang lebar ia menghampiri salah satu rak.

Mulai memeriksa satu per satu, akhirnya Indah menemukan buku yang diyakini untuk seorang mahasiswa. Sedangkan kebanyakan buku yang ada, adalah buku tentang bisnis yang diyakini milik suaminya, Dhananjaya.

Takut seseorang melihatnya, Indah memutuskan untuk membaca buku tersebut di ujung ruangan itu, duduk di atas lantai sehingga siapa pun yang masuk, tidak akan melihatnya yang sedang bersembunyi.

“Apa Indah sudah makan?” tanya Dhananjaya pada Alda ketika memasuki rumah.

“Sudah, Pak.” Alda tersenyum sopan, mengangguk bangga. Untuk yang pertama kalinya Dhananjaya mengajaknya bicara. Biasanya, apa pun yang ingin tuan mudanya tanyakan, pastilah Hendra yang menyampaikan.

“Bagus. Bantu agar anakku tidak kekurangan gizi seperti ibunya,” kata Dhananjaya tanpa disaring.

Memang, sejak pertama kali melihat Indah, ia menilai wanita itu kurang gizi. Tubuh Indah yang sangat kurus, sampai terlihat mengerikan, bagai tulang yang tertutup kulit.

“Tentu, Pak.” Alda mengangguk paham seraya menahan tawa yang hampir meledak.

Langkah Dhananjaya yang lebar tertuju pada ruangan di ujung lorong. Tanpa mengetuk pintu, ia masuk ke dalamnya. Kamarnya terlihat sepi. Sempat bingung, tapi ia kira Indah ada di kamar mandi. Tak ingin mengganggu aktivitas sang istri, Dhananjaya memutuskan untuk duduk di sofa.

Setelah cukup lama menunggu, Indah tidak juga keluar. Sepertinya Dhananjaya melewatkan sesuatu, yaitu sedari tadi memang tidak ada aktivitas di dalam kamar mandi itu. Penasaran, ia membuka pintu kamar mandi dan tidak mendapati Indah di sana.

“Alda!” teriak Dhananjaya keras, menggema hingga menggetarkan beberapa pajangan di rumah itu.

Alda datang tak lama dari itu, masuk ke dalam kamar Indah. Napasnya terengah-engah, matanya melotot horor melihat kekesalan yang terpampang jelas di wajah tampan Dhananjaya.

“Di mana Indah?” tanya Dhananjaya tak santai.

Di saat itu juga, Alda mengedarkan pandangannya ke sembarang arah, mencari sosok Indah. “Di—dia .... ”

Dhananjaya tetap berdiri di tempatnya, tapi kepalanya sedikit berputar ketika mengikuti ke mana Alda bergerak, yaitu memeriksa kamar mandi dan tidak mendapati Indah di sana.

“A—aku akan mencarinya, Pak.”

Tanpa menunggu Dhananjaya bersuara lagi, Alda langsung melarikan diri. Tepat ketika keluar dari kamar Indah, ia menghela napas panjang yang sebelumnya terasa sesak saat berhadapan dengan Dhananjaya.

Hendra yang melihatnya, lantas mendekatinya guna mengetahui apa yang terjadi. “Ada apa?” tanyanya penasaran.

“Dia tidak ada di kamar. Sialan!” Alda menghentakan kakinya ke lantai, lalu pergi untuk memerintah semua pelayan agar mencari Indah.

Hendra menggeleng pelan. Bukan hal yang baik membuat Dhananjaya kesal bahkan sampai menunggu munculnya Indah di hadapannya. Hendra khawatir tuannya tidak bisa mengendalikan emosinya dan mungkin akan menyakiti Indah.

Tahu akan kondisi Indah yang sedang hamil muda, tentu Hendra tidak ingin wanita itu mengalami kekerasan dari suaminya sendiri. Oleh karena itu, ia pun meminta orang-orangnya termasuk dirinya sendiri untuk ikut mencari.

Semua orang menyebar ke seluruh penjuru dan setiap lantai untuk mencari Indah. Untung saja, Basuki dan Maria sedang tidak ada di rumah. Jika mereka mengetahui orang-orang berlalu lalang untuk mencari Indah, pastilah akan menambah kekacauan yang terjadi.

Saat orang-orangnya menyebar, Hendra sendiri memutuskan untuk memeriksa lorong yang tidak diperiksa orang-orangnya, lorong menuju perpustakaan pribadi. Lorong tersebut jarang sekali dilalui siapa pun karena memang adanya perpustakaan itu seperti hanya sekadar fasilitas rumah yang tidak berarti. Itu sebabnya, perpustakaan tersebut ditempatkan di bagian ruangan yang dianggap tidak penting.

“Indah?” Hendra sedikit mendorong pintu perpustakaan hingga menimbulkan celah. Namun karena tidak yakin, ia sendiri tidak berniat untuk masuk sepenuhnya.

Indah baru tersadar setelah hanyut dalam bacaan, segera menyadari bahwa ia sudah sangat lama berada di sana. Ia tahu suara siapa yang memanggilnya, tapi ia sungkan untuk menjawab. Alhasil, Indah hanya menatap ke arah pintu yang sedikit terbuka tanpa mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya.

Hendra tidak menangkap adanya kegiatan di dalam. Jadi, ia berbalik untuk meninggalkan tempat itu. Namun, Indah langsung getir saat mengkhawatirkan sesuatu. Ia takut hantu. Ya, Indah memang wanita penakut. Suara Hendra yang memanggilnya, ia takut hanya pendengarannya yang salah. Bisa saja itu suara hantu, bukan?

“Pak Hendra!” Indah segera bangkit, tapi kakinya merasa kesemutan hingga sulit untuk digerakkan.

Jiwa penakutnya tiba-tiba menyeruak, tubuhnya langsung merinding saat isi pikirannya diisi oleh sosok hantu yang ia takutkan. Ditambah saat itu, hari sudah sore menjelang malam. Pencahayaan sudah mulai kabur dan lampu belum dinyalakan. Dalam keadaan tubuhnya yang bergetar ketakutan, Indah terus berteriak meminta pertolongan.

Hendra yang belum jauh meninggalkan tempat itu, segera berbalik. Langkahnya yang lebar sedikit berlari, masuk ke dalam ruangan yang diisi banyak buku itu. Saat mendekati asal suara, Hendra melihat Indah yang sedang terduduk di atas lantai sambil memegangi kakinya.

“Astaga ... apa yang kamu lakukan di sini? Kamu tahu, semua orang sedang mencarimu!” bentak Hendra kesal, berdiri tak jauh dari Indah.

Indah tidak menjawab, melainkan menangis sambil menundukkan kepalanya. Sekarang bukan Indah yang takut hantu, tapi Hendra yang takut Indah adalah halusinasinya yang sebenarnya kuntilanak penunggu perpustakaan itu.

“Pak Hendra, tolong aku. Kakiku kesemutan. Jangan ke mana-mana dulu, tunggu kakiku baikan.” Indah akhirnya mau mengangkat wajahnya, menatap tak berdaya.

Hendra menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan kasar. Berjalan ke arah saklar, ia menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum akhirnya menghampiri Indah.

Hanya beberapa menit, kesemutan Indah hilang. Sedangkan saat itu, Hendra tidak berani mendekatinya walau sekadar untuk membantunya. Bukan takut Indah adalah hantu, tapi menyentuh 'milik' tuannya itu hal yang tidak mungkin, terlepas hubungan mereka tidak seperti pasangan suami istri.

“Sedang apa kamu di sini?” Hendra kembali mempertanyakan itu setelah Indah sudah baik-baik saja dan kini wanita itu sudah dapat berdiri.

“Maaf, aku hanya ingin membaca buku.” Indah memperlihatkan buku yang sedang dipegangnya sebagai bukti.

“Kenapa tidak kamu bawa ke dalam kamar? Kenapa harus membacanya di sini?” tegur Hendra tak senang.

Hati Indah merasa tertusuk sesuatu. Seolah dirinya benar-benar tidak memiliki hak apa pun, hingga tidak diperbolehkan untuk memasuki perpustakaan. Namun, ia tidak menghiraukan teguran Hendra, malah tertarik dengan ucapan pria itu yang memperbolehkannya untuk membawa buku ke kamarnya.

“Apa itu boleh? Aku boleh membawanya ke kamar? Memangnya dilarang membaca di dalam?” tanya Indah bertubi-tubi, matanya berbinar memperlihatkan kesenangan.

“Kembali ke kamarmu.” Hendra berbalik, tak berniat untuk menjawab celotehan Indah.

“Pak Hendra, aku ingin membawa ini.” Indah merengek, mengangkat buku yang sedang dipegangnya ketika Hendra kembali menatapnya.

“Bawalah.” Hendra mengangguk satu kali.

“Sungguh?” Indah ingin memastikannya.

“Cepatlah, Pak Jay menunggumu.” Hendra tak ingin berlama-lama lagi.

“Pak Jay menungguku? Untuk apa?” Indah bingung. Tidak biasanya Dhananjaya ingin bertemu di sore hari.

“Kamu bisa bertanya padanya langsung.” Hendra mengangkat bahunya sekilas, tampak tidak peduli dengan alasan Dhananjaya yang ingin menemui istrinya itu. “Indah, tolong jangan merepotkan semua orang hanya untuk mencarimu lagi.”

“Aku tidak hilang, tidak perlu dicari,” kata Indah dengan polosnya.

“Jangan meninggalkan kamarmu. Jika kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa meminta bantuan pada pelayan. Mengerti?” Hendra memperingati.

Indah manggut-manggut walau hatinya berkata lain. Ia tak pernah mempunyai keberanian untuk meminta bantuan siapa pun, sekalipun kepada pelayan yang seharusnya menuruti keinginannya. Melihat sendiri bagaimana sikap mereka terhadapnya, tanpa diberitahu sekalipun, Indah sudah mengerti bahwa mereka tidak menghargainya.

Apa jadinya jika Indah meminta bantuan pada mereka? Ia sudah cukup merasa terhina karena suaminya sendiri tidak menghargainya, tidak ingin orang lain bertambah tidak menyukainya jika Indah bersikap seperti nyonya di rumah tersebut.

Beruntung saat Indah masuk ke kamarnya, Dhananjaya sudah pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Indah merasa lega karena dapat membawa buku yang sedang ia minati untuk dibaca ke dalam kamarnya.

Dengan segera, Indah menyembunyikan buku itu, takut-takut seseorang mengetahuinya lalu menegurnya. Hendra mungkin sudah mengizinkannya, tapi entah orang lain, Indah merasa tak yakin.

Tak lama dari itu, Dhananjaya masuk tanpa permisi. Indah yang saat itu hendak memasuki kamar mandi, segera berbalik ingin mengetahui siapa yang datang. Wajah Dhananjaya begitu muram. Seperti sedang menghadapi kebangkrutan di kantornya saja, membuat Indah bergidik ngeri.

“Dari mana saja? Kenapa meninggalkan kamarmu? Apa kamu berniat untuk melarikan diri? Jangan pernah bermimpi dapat melarikan diri dengan membawa anakku!” kata Dhananjaya tak santai, menggertak Indah hingga wanita itu mundur beberapa langkah.

“Aku tidak berniat melarikan diri, Pak.” Indah menundukkan kepalanya. Suaranya yang sangat rendah, hampir tak terdengar oleh Dhananjaya.

“Lalu? Ke mana saja kamu? Apa kamu turun ke bawah? Apa kamu lupa, dokter sudah memperingatimu agar tidak memaiki tangga?” Dhananjaya menatap intens, tampak tak terima jika dugaannya benar bahwa Indah turun ke lantai bawah.

“Ti—tidak. Aku tidak turun ke bawah,” jawab Indah cepat. Bola matanya bergerak-gerak, mencari alasan. “Aku ... aku ... membaca buku di ruangan yang ada di sana.” Indah mengangkat wajahnya, jarinya tertunjuk ke arah tembok yang ia maksud arah perpustakaan. Kemudian, ia terus menggeleng saat berkata, “Maaf, aku tidak akan mengulanginya. aku tidak akan ke sana lagi.”

“Kamu harus banyak beristirahat. Jika membutuhkan sesuatu, panggil salah satu pelayan. Kamu dengar itu?” Dhananjaya memperingati. Melihat reaksi Indah sudah cukup membuatnya percaya jika wanita itu tidak berbohong.

Indah mengangguk tanpa membalas apa pun.

“Jangan lupa, kamu harus banyak makan agar anakku tidak kurang gizi sepertimu dan pendek seperti kerdil.” Setelah mengatakan kalimat itu, Dhananjaya berbalik, lalu pergi.

***

Bangun dari tidurnya, Indah begitu semangat untuk memulai harinya. Ada sesuatu yang membuatnya begitu ceria sepagi itu, yaitu bayangannya yang akan membaca buku seharian. Baru membayangkannya saja, Indah sudah senang duluan. Akhirnya, ia memiliki kegiatan selain melamun, bukan?

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini Indah tidak berniat membersihkan kamarnya. Ia hanya membasuh wajah lalu kembali ke kamarnya dan mulai membaca buku.

Waktu terus berjalan. Tidak terasa, Indah sudah membaca buku hingga berjam-jam dan ia tetap asyik hingga tidak memperdulikan makanan yang sudah diantarkan salah satu pelayan. Dalam buku itu, banyak pelajaran yang tidak dimengertinya. Entah mengapa, ia tetap membacanya. Ada ketertarikan yang tidak bisa dijelaskan.

Namun, suara yang keras mengganggu kenyamanan Indah. Seseorang berteriak-teriak, dan suara beberapa orang lainnya menyahuti dengan nada takut. Indah merasa ada masalah yang sedang terjadi, tapi apa? Hatinya tiba-tiba saja berdetak tak beraturan, padahal ia tidak merasa melakukan kesalahan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jenal Sibad
trlalu mahal koin nya padhal ceirta nya hanya penyiksaan cwe nya trlalu lemah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status