Share

Tidak Berubah

Benar dugaan dokter pribadi Abraham, kandungan Indah sangat lemah. Bahkan, dokter rumah sakit yang menangani Indah tidak yakin janinnya akan bertahan. Semua itu tergantung dengan Indah-nya. Banyak sekali aktivitas yang tidak diperbolehkan, makanan yang harus dikonsumsi dengan sangat teliti, juga lingkungan yang mendukung.

Lingkungan yang dimaksud dokter adalah lingkungan keluarga. Indah tidak boleh merasa tertekan. Artinya, baik Dhananjaya selaku suaminya ataupun orang lain yang berada di rumah, harus ikut menjaga kandungannya. Kebanyakan wanita akan mudah sensitif di saat mengandung. Bukan hanya itu, untuk berhubungan suami istri, dokter juga memberi pesan agar melakukannya dengan sangat hati-hati.

“Jay?” Seseorang memanggil Dhananjaya saat hendak keluar dari rumah sakit.

Sontak, Dhananjaya dan Indah menghentikan langkahnya, menoleh ke asal suara yang menampilkan seorang pria berpakaian dokter. Pria itu tersenyum ramah sambil menghampiri, jauh berbeda dari wajah Dhananjaya yang tetap dingin tanpa ekpresi.

Indah sedikit menjauh dari Dhananjaya, khawatir pria itu adalah teman sang suami. Indah hanya tidak ingin dunia tahu bahwa Dhananjaya memiliki istri seperti dirinya yang sangat tidak pantas. Namun, pria itu bukanlah orang lain melainkan kakak sepupu Dhananjaya, Rega Abraham.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Rega terlihat bingung.

“Memeriksakan kandungan Indah,” jawab Dhananjaya apa adanya.

“Selamat untukmu, Jay.” Rega mengangguk senang, lalu mengulurkan tangannya ke arah Indah. “Rega.”

Indah mengangkat wajahnya, terkejut dengan sikap Rega yang jauh berbeda dari Abraham lainnya. Pria itu ingin berkenalan? Tak ingin membuat Rega menunggu, akhirnya ia membalas jabatan tangannya. “Indah.”

“Selamat untuk kalian berdua. Aku permisi.” Rega lalu pergi.

Tanpa berniat untuk menggenggam tangan Indah atau sekadar mengajaknya, Dhananjaya langsung melanjutkan langkahnya untuk keluar dari rumah sakit. Namun, langkahnya kian memelan saat Indah melangkah sangat pelan.

“Ada apa?” Dhananjaya terpaksa berhenti.

“Pak Jay duluan saja.” Indah tetap menunduk seraya memegangi kepalanya.

“Kepalamu pusing?” tanya Dhananjaya yang mendapat anggukkan dari Indah.

Kaki Dhananjaya bergerak beberapa langkah, meminta Indah untuk memegang tangannya. Tidak, Indah tidak berani melakukannya selain memegang pakaian yang dikenakan sang suami, lalu kembali melangkah.

“Apakah yang tadi teman Pak Jay?” Indah penasaran.

“Dia kakak sepupuku,” jawab Dhananjaya dingin.

Memasuki mobil untuk pulang, Indah tenggelam dalam lamunan saat di perjalanan. Ada perasaan senang mengetahui dirinya sedang hamil. Namun, ia pun merasa bersalah karena kandungannya sangat lemah hingga Dhananjaya disarankan untuk tidak melakukan hubungan suami istri. Sedangkan Indah tahu sendiri, suaminya itu selalu menginginkannya setiap malam jika sedang ada di rumah.

“Maaf,” kata Indah setelah cukup lama membisu.

“Untuk apa?” Dhananjaya bingung.

“Karena kehamilanku, membuatmu tidak dapat menyentuhku.” Indah menjawab dengan wajah tertunduk, merasa tidak enak.

“Jangan khawatirkan itu. Ingat pesan dokter, jaga kandunganmu.” Dhananjaya memberi nasehat seolah ia tidak keberatan atas kondisi kehamilan Indah.

“Baik.” Indah merasa lega. Tidak ada yang tahu, hatinya terasa menghangat ketika mengira suaminya itu sangat pengertian.

Saat memasuki rumah, Dhananjaya teringat ucapan dokter yang melarang Indah agar tidak menaiki tangga. Langkahnya terhenti, membuat beberapa orang yang berjalan di belakangnya ikut berhenti.

“Hendra, gendong Indah ke kamarnya.” Perintah Dhananjaya yang membuat semua orang-orangnya terutama Indah dan Hendra bingung.

“Saya, Pak?” Hendra menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuknya, terlihat sangat konyol.

“Eh, tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri,” tolak Indah dengan cepat, tak ingin diperlakukan seolah dirinya sebuah balon yang mudah meletus dan harus dijaga sedemikian rupa.

Dhananjaya tak menjawab pertanyaan Hendra, tetapi tatapannya menjawab ‘ya’.

“Baik, Pak.” Hendra mengangguk patuh.

“Tidak perlu, Pak. Aku bisa berjalan.” Indah langsung menolak saat Hendra mendekatinya.

Takut Hendra memaksa untuk menggendongnya, Indah segera melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga.

Dhananjaya yang melihat itu tidak tinggal diam, segera mengejar Indah yang baru menaiki tangga beberapa langkah. Tangannya dengan cepat meraih lengan Indah hingga wanita itu berhenti. Detik selanjutnya, ia menggendong Indah tanpa mengatakan apa pun. Wajahnya tetap saja datar seakan tidak merasa berat atas bobot tubuh sang istri.

“Pak Jay!” Indah memekik kaget. Tangannya merespons cepat, mengalung di leher Dhananjaya dan sedikit meremasnya.

“Dokter melarangmu menaiki anak tangga. Kandunganmu sangat lemah,” kata Dhananjaya tanpa menatap wanita yang kini berada di pangkuannya.

Ketika kaki Dhananjaya menginjak lantai tiga, dengan sigap salah satu orangnya mendahuluinya untuk membukakan pintu kamar Indah. Selanjutnya, Dhananjaya menurunkan tubuh wanita itu di atas ranjang. Mulutnya yang memang jarang terbuka untuk bicara, tidak mengatakan apa pun dan langsung keluar dari kamar tersebut.

Indah cemberut. Mengapa pria itu sangat dingin terhadapnya? Setidaknya, ia bisa mengatakan satu atau dua kata sebelum pergi. Namun untuk tidak menyukainya, bukanlah pilihan Indah. Apa pun sikap Dhananjaya terhadapnya, tidak akan dapat membuat Indah membencinya.

Ya, sepertinya Indah mulai menyukai sosok tampan nan dingin itu. Lagi pula, wanita mana yang tidak akan tertarik oleh pesona Dhananjaya? Hanya saja Indah tahu diri, tidak pantas untuk pria yang sangat sempurna dari segi apa pun. Cukup hatinya saja yang tahu, begitu mengagumkannya sosok dingin itu.

***

Di pagi hari, Dhananjaya yang hendak turun ke bawah, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Entah apa yang membuat hatinya ingin tahu aktivitas Indah di pagi ini. Apa dia sudah bangun? Sudah memakan sarapannya? Meminum susu dan vitamin yang dokter sarankan?

Tanpa mengetuk pintu, Dhananjaya langsung membuka pintu kamar Indah. Wajahnya yang semula tenang, seketika sangat muram ketika melihat Indah memegangi alat pel. Tampaknya wanita itu sudah membersihkan setengah kamarnya, terlihat dari lantainya yang masih basah.

“Apa yang kamu lakukan?” Dhananjaya melemparkan tatapan tajam.

“Pak Jay.” Indah bingung atas kedatangannya.

“Simpan itu.” Dhananjaya melangkah lebar.

Indah masih tidak mengerti atas kemarahan Dhananjaya. Ia bertanya dengan hati-hati, “Pak Jay membutuhkan sesuatu? Aku bisa ke ruanganmu. Pak Jay tidak perlu repot datang.”

“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kamu lakukan dengan alat pelayan?” Dhananjaya tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari hazel Indah.

“Membersihkan kamar,” jawab Indah apa adanya.

Plak!

Sebuah tamparan keras menyapa pipi Indah.

“Apa peringatan dokter dan dariku itu tidak cukup? Apa kamu bodoh atau tuli? Kamu harus banyak beristirahat, bukan banyak beraktivitas seperti pelayan!” raung Dhananjaya tak terkendali.

“Ma—maaf,” ucap Indah terbata-bata, wajahnya menunduk takut.

“Alda!” Dhananjaya berteriak keras, keluar dari kamar tersebut.

Kebetulan Alda tak jauh dari sana, mengawasi kinerja beberapa pelayan yang sedang membersihkan kamar-kamar orang-orang Dhananjaya. Ia pun segera berlari ke asal suara.

“Pak Jay.” Alda menatap takut, padahal tuannya belum mengatakan apa pun.

“Apa pekerjaanmu di rumah ini?” Dhananjaya menyembunyikan satu tangan di belakang tubuhnya, wajahnya yang suram menatap Alda bagai seorang penjahat.

“Mengawasi pelayan yang lainnya.” Alda gugup. Detak jantungnya tidak diragukan lagi, berdegup sangat kencang.

“Lalu, apa yang kamu lakukan pada pelayan khusus yang melayani Indah? Dia melakukan tugas pelayan! Apa kamu tahu itu?” bentak Dhananjaya murka.

“Maaf, Pak. Indah selalu melarangnya. Beliau ingin membersihkan kamarnya sendiri,” balas Alda takut, bibirnya bergetar khawatir salah bicara.

“Apa?” Dhananjaya mengerutkan keningnya tak percaya. Ia menatap ke arah dalam kamar Indah yang tidak tertutup, lalu kembali menatap Alda dan berkata, “Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan pelayan. Kamu mengerti?”

“Ba—baik, Pak.” Alda mengangguk cepat.

Dhananjaya mendengkus jengkel sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan Alda, langsung masuk ke dalam kamar Indah dengan wajah kesalnya.

Indah yang melihatnya, sontak melangkah mundur, takut jika wanita itu akan menamparnya seperti yang dilakukan Dhananjaya tadi.

“Kamu lihat? Pak Jay marah padaku hanya karena kamu yang sok itu! Kenapa harus berpura-pura tidak manja hingga menolak pelayan membersihkan kamarmu, hah? Ingat pesan Pak Jay, jaga kandunganmu baik-baik. Paham?” cerocos Alda tak tenang.

Indah hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Simpan itu dan beristirahatlah.” Alda lalu meninggalkan kamar Indah.

Indah tidak tahu apa kesalahannya. Hanya membersihkan kamarnya sendiri, mengapa Dhananjaya menilainya seperti melakukan kejahatan di rumah Abraham? Bahkan, tanpa segan pria itu menamparnya cukup keras.

Tak tahu akan disakiti, Indah tidak sempat mengelak. Suami yang seharusnya menjadi pelindung, malah ia yang menyakitinya baik itu dengan ucapan ataupun tindakan. Tidak heran, orang seperti Alda yang merupakan seorang pelayan saja tidak menghargainya.

Menyantap sarapannya, Indah ditemani tetesan demi tetesan air mata yang terus menyusuri pipinya dengan bebas. Indah tidak bahagia. Entah sudah berapa kali kalimat itu ia ucapkan dalam hati.

Indah pikir kehamilannya akan mengubah keadaan, nyatanya malah semakin mengerikan. Dhananjaya tak pernah menemuinya saat pagi, tapi pagi ini dia datang untuk melukai hatinya yang sudah rapuh.

Indah tidak berharap suaminya akan bersikap manis. Setidaknya, jika bisa menawar, ia tak ingin disakitinya, dan itu sudah cukup. Terlebih hanya masalah kecil, mengapa ia merasa telah mencelakai anggota keluarga Abraham?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jess
gak ada lift ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status