Share

Terikat Perjanjian
Terikat Perjanjian
Penulis: Ayu Duwiani

Beasiswa Rachel

Sinar hangat mentari pagi yang menembus celah fentilasi kamar Rachel mengenai wajah putih bersihnya. Dan suara kicauan burung bersahutan di luar terdengar sangat riuh. Hembusan demi hembusan sepoi-sepoi angin membuat helai rambut sedikit berayun manja di hidung mancung Rachel saat itu.

“Rachel sayang! Kamu belum bangun ya, Nak. Sudah siang ini. Katanya hari ini mau lihat hasil kelulusan kamu?” Tampak Ayahnya dari luar pintu bicara pada Rachel dan sesekali mengetuk pintu kamarnya. Namun tidak juga ada sahutan dari dalam, bahkan untuk di buka pintu saja tidak. Lagi-lagi ayahnya dengan tidak bosan selalu memanggil Rachel untuk membangun kan.

“Sayang! Sebentar lagi Ayah mau berangkat kerja. Jangan lupa bangun ya, nanti kamu telat kalau tidak ada yang bangunkan. Di atas meja makan juga sudah Ayah siapkan nasi goreng. Jangan lupa di makan! Nanti keburu dingin sudah tidak enak.”

Ayah yang begitu sayang dengan anak satu-satunya setiap pagi memang sudah menjadi kebiasaan Rachel harus di bangunkan. Meski tidak ada sahutan dari Rachel, biasanya dia langsung bangun membuka matanya.

Setelah membangunkan Rachel, ayahnya langsung berangkat kerja. Rachel yang masih bersemayam di dalam kamar langsung meraih handphone miliknya.

“Ya, Ampun. Sudah jam berapa ini. Duh! Jangan sampai telat.” Rachel bergegas bangun dari tempat tidur yang sudah berantakan. Bantal dan guling yang sudah tidak di tempatnya lagi, bahkan selimut terjatuh dari tempat tidur.

Lari ke kamar mandi untuk mengambil pasta gigi juga sikat gigi, lalu membasuh mukanya. Kebiasaan buruk Rachel jika telat sedikit saja dia tidak pernah mandi. Hanya membasahi muka, dan menyikat giginya. Namun jika lagi tidak terburu-buru, dia suka berlama-lama di kamar mandi.

“Hai, maaf aku telat,” ucap Rachel ketika bertemu teman-temannya yang sudah lebih dulu siap darinya.

“Yaelah, kebiasaan kamu nih suka telat,” sahut sahabatnya yang bernama Karin.

“Hehe, Maaf.”

Sekolah menengah atas hari ini akan mengumumkan hasil pencapaian murid-murid atas apa yang mereka raih selama ini. Yaitu sebuah kabar kelulusan yang akan di umum kan oleh kepala sekolah langsung. Bukan hari biasa bahkan bukan hal biasa yang harus mereka hadapi. Menunggu waktu untuk di umumkan hasil prestasi bukan sebuah waktu biasa. Rachel bersama teman-teman sudah siap mendengar kabar kelulusan mereka.

Selang beberapa menit, semua kelas dua belas yang berjumlah lebih kurang 150 siswa tersebut di kumpulkan di lapangan sekolah. Guna untuk mendengarkan hasil pencapaian lulus atau tidaknya. Dengan berjalannya waktu, Kepala Sekolah memberikan amanat sebelum mengumumkan hasilnya. Semua murid tampak bosan karena sudah tidak sabar untuk hasilnya. Namun, Kepala Sekolah sengaja mengulur waktu agar mereka semua merasa geregetan. Sampai pada puncaknya, akhirnya Kepala Sekolah memberikan pengumuman kelulusan mereka semua. Hanya saja, satu persatu diberikan sebuah amplop yang berisi keterangan lulus atau tidak lulusnya.

“Ya Allah,” teriak Karin dan bengong lihat hasilnya setelah membuka isi amplop tersebut.

“Ada apa, Rin? Lulus atau tidak lulus kamu?” tanya Rachel.

“Aku lulus,” Karin teriak kembali hingga semua murid melihatnya. Teriakan tersebut seakan mewakili semua murid. Karena pada hari itu hasil mereka selama ini ternyata membuahkan hasil yaitu dengan satu kata lulus. Semua murid bergembira dan mencoret-coret bajunya. Namun ketika baru saja ingin mewarnai baju, Rachel di panggil Kepala Sekolah untuk ikut dia ke kantor. Hati Rachel berdegup kencang karena takut sebenarnya ada hal apa sehingga Kepala Sekolah memanggilnya. Semua mata murid tertuju padanya penuh dengan tanda tanya.

“Silahkan duduk, Nak!” Perintah Kepada Sekolah kepadanya.

“Baik, Pak. Sebenernya ada apa ya saya di panggil kemari, Pak?”

“Oh iya, jadi begini. Sebelumnya selamat ya sudah lulus. Dan sesuai janji dari pihak sekolah kemarin, saya mewakili semua. Bahwa sekolah kita dapat bantuan dari pemerintah untuk siswa dan siswi yang berpotensi. Jadi tujuan saya panggil kamu kemari adalah untuk memberitahu kamu, bahwa kamu terpilih dapatkan beasiswa kuliah di universitas terbaik di kota ini. Sebagai siswi yang baik, teladan juga nilai tertinggi, kami sudah putuskan untuk memilih kamu mendapatkan beasiswa ini. Jika kamu setuju, kamu boleh tandatangani surat ini.”

Rachel terkejut bukan main, bahkan dia sempat bengong sendiri rasa tidak percaya kalau dia mendapatkan beasiswa tersebut.

“Baik, Pak. Kalau begitu saya mau. Apa harus langsung saya tanda tangani?”

“Apa kamu tidak akan pikirkan dulu. Ada baiknya surat ini kami berikan dulu dengan orangtua kamu. Bagaimana pun restu orangtua lebih baik, siapa tahu nanti ada kendala hal lain yang orangtua kamu pikirkan.”

“Benar juga sih, ya sudah deh. Kalau begitu aku bawa pulang dulu. Pasti Ayah senang dengar kabar ini,” gumam Rachel.

“Bagaimana, Chel?” tanya Kepala Sekolah.

“Eh iya, Maaf. Baik, Pak. Kalau begitu nanti saya beritahu Ayah saya dulu.”

“Baiklah, ini kamu bawa ya. Kasih tahu Ayah kamu. Tentu dia pasti akan senang mendengar dua kabar sekaligus dari kamu. Semoga sukses ya?”

“Terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu saya permisi.”

“Iya, silahkan!”

Rachel keluar kantor dengan wajah sumringah. Dan tanpa di sadari, temannya sudah menunggu sejak tadi.

“Ada apa, Chel? Kepala Sekolah apain kamu?” tanyanya khawatir.

“Apain bagaimana? Memangnya di apain? Kamu ini.” Mendadak Rachel merubah wajahnya menjadi sedih. Dan semakin membuat Karin bingung melihatnya.

“Kamu kenapa kok jadi sedih begitu? Sebenernya ada apa sih? Jangan buat aku bingung deh! Kamu tadi kenapa di panggil ke kantor? Jawab, Chel?”

“Aku tadi di marahin Bapak Kepala Sekolah. Karena Cuma aku yang tidak lulus, Rin.”

“Ah, yang benar saja kamu. Aku tidak percaya murid sepintar kamu tidak lulus. Tidak mungkin!”

“Apa yang tidak mungkin, bisa saja kan terjadi. Ya sudah, aku mau pulang. Siap-siap kena marah sama Ayah.” Bohong Rachel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status