"Ya Allah, tolonglah aku. Siapa pun tolong aku." Yasmin panik merasa semakin lemas tak berdaya, takut pria di dekatnya ini macam-macam padanya. Riko ingin menjangkau wajah Yasmin, tetapi terhalang oleh ventilator yang menutupi sebagian wajahnya. 'Kubuka saja, lagi pula hanya sebentar. Tidak akan beresiko,' ucapnya dalam hati. Setelah melepas ventilator, perlahan wajah Riko semakin mendekat sementara kedua tangannya menangkup wajah gadis itu. Yasmin kesusahan bernapas akibat ventilator terlepas. Diselimuti ketakutan, ia meremas pelan sprei. "Kurang ajar!" bentak Aldrich, kakinya menendang kuat bokong pengawal itu hingga tersungkur. Riko kalang kabut tak menyangka akan tertangkap basah. Ia tak menduga kalau Aldrich akan kembali. Yasmin bersyukur karena selamat dari lelaki yang hendak menodainya. "Tidak, Pak. Saya hanya ...," ucap Riko membela diri. "Diam kau!" hardik Aldrich. Ia memasang kembali ventilator Yasmin hingga gadis itu tak lagi kesusahan bernapas.Aldrich menarik kera se
Yasmin mengamati sekeliling. Semilir angin menerpa wajah cantiknya. Surai hitam bergelombang alami yang tergerai itu terbang bak berkibar akibat tiupan angin sampai menutupi sebagian wajah. Yasmin melihat hanya ada rimbunana pepohonan, tumbuhan, serta jalan satu arah. Terdapat pula beberapa rumah warga, jaraknya cukup jauh antar satu sama lain. Masih ia dengar lamat-lamat suara gonggongan anjing yang memecah keheningan. Tak berselang lama, Mobil mewah Calleythi memasuki pekarangan mansion. Yasmin menyadari ada mobil menuju ke arahnya, segera merubah posisi menjadi tengkurap agar tak terlihat penumpang mobil. Ia tak bisa percaya pada siapapun di sana. Dia ingin pulang, tetapi entah bagaimana caranya supaya dia berhasil pergi dari sana tanpa ketahuan. "Bagaimana ini, Pak?" Sania ketar-ketir. Sedangkan Aldrich ikutan panik. Ia bangkit dari kursi hingga kursi itu jatuh terbalik. Ia lalu mondar-mandir menatap ke luar jendela. "Sania, kau harus ke bawah. Cari topik lain untuk mengalihkan
Yasmin merasakan kehadiran seseorang, dia berbalik badan. "Hei, ayo turun. Kembalilah ke kamar rawatmu. Kau belum sepenuhnya pulih. Dirimu baru sadar dari koma." Aldrich mengajak Yasmin untuk ikut bersamanya. Semoga saja dia bisa dipujuk agar tak menimbulkan masalah. Yasmin sedikit kaget bahwa selama ini ia koma. Dia lalu menelisik pemuda di hadapannya. Yasmin tidak tahu orang yang menabraknya adalah lelaki yang bicara padanya saat ini. "Aku tidak mau kembali ke situ!" sergah Yasmin. Ia mengenali suara Aldrich saat mendengar perbincangannya dengan Riko."Kenapa?" tanya Aldrich dengan ekspresi wajah penasaran.Yasmin berada dalam masalah besar. Dia tidak mau percaya begitu saja pada siapa pun di tempat itu."Jika kau orang baik, tolong antar aku ke kantor polisi saja." Yasmin menatap lekat pria yang juga memandang ke arahnya. Aldrich berpikir sejenak, 'Apa dia sudah tahu semua? Tidak mungkin! Jika dia tahu, mana mungkin dia memintaku mengantarnya. Atau jangan-jangan dia ingin menjeb
Para pengawal itu memergoki Aldrich memapah Yasmin. Kaget melihat banyak pria berseragam hitam, Yasmin melepaskan pegangan Aldrich dari bahunya. Ia kembali takut dan mundur selangkah. Menyadari situasi, Aldrich memberi kode kepada seorang pengawal, bermaksud menyuruh mereka semua untuk turun saja. "Tenang, mereka adalah penjaga rumah ini. Kurasa mereka ke sini untuk mencariku," ucap Aldrich sembari tersenyum canggung pada Yasmin. "Kalian turun saja! Nanti saya akan ke bawah juga.""Ya sudah, Pak! Ayo semuanya kembali turun!" jawab seorang pengawal. Mereka beriringan pergi. Hal itu membuat Aldrich merasa lega. Ia lalu meminta Yasmin untuk ikut turun."Ayo kita turun, kondisimu mulai memburuk."Meski masih takut akhirnya Yasmin memberanikan diri pergi bersama Aldrich.Perdebatan sengit antar saudari ipar telah selesai. Zea meninggalkan Meika seorang diri di apartemen. Meika berdiam diri tanpa mau kabur lagi. Melihat ada roti dan daging di dalam kulkas, dia lalu memasaknya. Sedari tadi
Aldrich mengangkat Yasmin ke tempat tidur, tetapi dihentikan Nyonya Muda. "Hentikan! Letak saja dia di kursi.""Apa?" Aldrich kelihatan bingung. "Lakukan apa yang kusuruh!" tukas Raline si Nyonya Muda.Yasmin kemudian didudukkan di kursi yang digeser ke tengah ruangan.Raline memandang tak suka pada Yasmin, masih terbayang di ingatannya hal paling menyakitkan dihidupnya akibat perbuatan Yasmin dulu. "Sania, ambilkan segayung air." Raline tak mengalihkan pandangannya dari Yasmin."Untuk apa segayung air?" Aldrich menyenggol tangan Raline. "Lihat saja nanti." Sania kembali membawa segayung air. Raline mengambilnya lalu menyiramkan segayung air ke wajah Yasmin. Aldrich dan Sania dibuat terkejut bersamaan. Sania sampai tak menutup mulutnya yang menganga. 'Ini penyiksaan. Benar-benar penyiksaan.' Aldrich menggeleng tak habis pikir. Semburan air membuat rambut Yasmin menutupi wajahnya. Raline mengguncang kuat tubuh Yasmin hingga ia tersadar. Perlahan matanya mengerjap-gerjap. Akibat
"Dia tenggelam! Tolong! Tolong!" teriak lelaki paruh baya. Pengunjung lainnya ikut riuh berteriak minta tolong. "Kemana penjaga pantai?!" teriak pengunjung yang bertanya-tanya."Tolong!" Wanita itu terombang-ambing di laut, ia semakin menjauh. Dia merasakan keram di kaki. Kepalalanya terus menyembul ke permukaan sembari berteriak meminta pertolongan."Kalian yang bisa berenang bantu dia! Jangan lihat saja!" cetus wanita tua pada sekumpulan orang di bibir pantai. Mereka kebingungan seperti enggan untuk terjun membantu wanita itu. "Lihat! Itu ada yang bawa kapal. Kita teriaki saja supaya mendekati perempuan itu!" kata seorang lelaki. Sedari tadi dia celingukan mencari bala bantuan. "Tolong! Yang membawa kapal! Tolong selamatkan wanita itu!!" Mereka meneriaki kapal yang dinaiki Raline.Azkara menerobos kerumunan, matanya memicing melihat wanita hampir tenggelam yang kini semakin menjauh. Tanpa menunggu lagi, ia turut berenang demi menolong wanita itu. "Ada yang berenang menolongnya!"
Pria berkumis tipis dengan setelan jaket kulit berwarna hitam menemui Raline di kediaman lamanya. "Hal penting apa yang ingin kau sampaikan? Hingga aku harus meninggalkan rapat." "Nyonya Raline, saya rasa Anda akan terkejut melihat vidio ini," ungkapnya sembari menyalakan laptop. "Coba putar biar kulihat."Prans menghubungkan flashdisk ke laptop lalu diputarlah suatu video berdurasi satu menit.Raline menjadi panik. "Kenapa bisa ada yang merekam kejadian itu, Prans?" "Kau bilang sudah mengamankan semuanya! Kau polisi yang paling berpengaruh di kota ini. Perjanjian kita tidak main-main!" Ia menatap nyalang lelaki itu. Di video terlihat jelas Aldrich dan ketiga pria suruhannya. Hubungan dengan Aldrich saat ini tidak baik. Ia takut kalau pria itu tidak bisa menutup mulut dan diajak kerja sama. Melihat kemarahan Raline justru membuat Prans terkekeh kecil. "Payah! Kenapa kau malah tertawa? Reputasiku sedang dipertaruhkan di sini!" Raline melempar tas mini yang berhasil ditangkap Pran
"Seharusnya mama masih dirawat di rumah sakit. Aku harus memarahi Dokter Ryan karena membiarkan mama pulang.""Mama sudah baikan. Kamu kenapa tidak istirahat saja, Az? Mengkhawatirkan mama, tapi tidak mengkhawatirkan diri sendiri," ujar ibu mertua. "Ma, Azkara belum berhasil menemukan Meika." Ia tertunduk sedih dan merasa tidak berguna sebagai suami. "Kita akan terus berusaha Azka. Mama yakin, putriku pasti akan kembali." Citra bersikap tegar untuk menutupi kesedihan atas hilangnya Meika. Ia tak mau terlalu membebani Azkara.Bertepatan pula dengan kepulangan Arland dan Liza dari kantor. "Syukurlah kau sudah pulang, Azkara. Aku tidak bisa membayangkan hari-hariku bekerja terus dengan asistenmu!" Liza ikut duduk menyantap cemilan yang disajikan.Azkara memberi Arland kode lewat mata lalu pergi sambil melempar senyum pada Citra dan Mahira. Kulihat mereka semakin lama sudah seperti kakak adik saja. Liza selalu sewot melihat kedekatan mereka. Nama Malvin tertera di layar handphone yan