Share

Terjebak Bersama Kriminal Tampan
Terjebak Bersama Kriminal Tampan
Penulis: Nabila

Bab. 2

Penulis: Nabila
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-26 03:02:33

”Sudah kubilang aku butuh makanan dan istirahat.” Ada nada baru yang aneh dalam suara lelaki itu. Sedikit kasar.

”Kau sudah beristirahat.”

”Maksudku tidur, Miss Azura. Aku butuh tidur.”

”Maksudmu… kau ingin tinggal di sini?” tanya Azura terkejut.

”berapa lama?”

”Sampai aku memutuskan untuk pergi,” sahut lelaki itu tenang.

Ia menyeberangi kamar dan menyalakan lampu di samping tempat tidur Azura.

”Tidak mungkin!” Lelaki itu kembali ke tempat Azura berdiri di dekat pintu dan meraih tangannya. Ditariknya Azura di belakangnya.

”Kau tidak dalam posisi untuk berdebat. Aku memang belum mencelakaimu, tapi itu tidak berarti aku tidak akan melakukannya kalau terpaksa.”

”Aku tidak takut padamu.”

”Kau bohong.” Lelaki itu menyeretnya ke kamar mandi yang berhubungan dengan kamar tidur dan membanting pintu.

”Atau kau mestinya takut. Dengar baik­-baik,” katanya dengan gigi dikatupkan.

Ada sesuatu yang mesti kulakukan, dan tidak ada seorang pun yang bisa mencegahku, apalagi seorang putri kulit putih seperti kau. Aku telah menghantam seorang penjaga sampai pingsan untuk bisa lolos dari penjara, dan aku sudah jalan kaki sejauh ini. Aku tidak akan kehilangan apa pun, selain nyawaku, dan di penjara nyawa tidak ada artinya. Jadi, jangan macam­macam, Nona. Kau mesti menerimaku tinggal di sini sebagai tamumu, selama yang aku inginkan.

” Untuk menekankan ancamannya, ia mencabut pisau itu lagi dari balik celananya.

Azura menarik napas kaget, seolah perutnya disentuh dengan ujung pisau itu.

”Itu lebih bagus,” kata le laki itu, melihat ketakutannya.

”Sekarang duduklah.” Ia memberi isyarat dengan dagunya ke arah toilet duduk.

Azura, masih terus menatap pisau itu, mundur sampai

ia membentur toilet, lalu duduk di situ.

Rodriguez meletakkan pisaunya di tepi bathtub, jauh dari jangkauan Azura. Ia melepaskan sepatu bot dan kaus kakinya, lalu mulai menarik kemejanya yang compang­-camping dari dalam celana jeans­nya. Azura, yang duduk diam seperti patung, tidak mengatakan apa­apa saat lelaki itu melepaskan kemejanya.

Ia mulai membuka sabuk keperakan di pinggangnya. ”Kau mau apa?” tanya Azura was-was.

”Mau mandi.” Rodriguez membuka sabuknya, membiarkannya menggantung lepas saat ia membungkuk untuk menyalakan keran di bathtub. Lalu ia membuka ritsleting jeans­nya. Suara air yang memancar keras itu tak bisa menyamarkan bunyi tarikan ritsleting tersebut.

”Kau mau mandi di depanku?” teriak Azura.

”Supaya aku bisa mengawasimu.” Dengan tenang lelaki itu menurunkan celananya.

Azura memejamkan mata, merasa pening. Dicengkeramnya tepi dudukan toilet itu agar ia tidak jatuh. belum pernah ia merasa begitu dihina dan semarah ini dalam hidupnya.

Lelaki itu melangkah ke bawah pancuran air, tanpa menutup tirai. Azura memalingkan kepala dan menarik napas beberapa kali, untuk menenangkan diri.

”Ada apa, Miss Azura? belum pernah melihat laki­-laki telanjang? Atau kau gugup karena yang kau lihat adalah orang Indian yang telanjang?”Azura menoleh dengan tajam, tersengat oleh nada mengejek lelaki itu.

Ia tidak mau orang ini menganggapnya sok malu­malu kucing atau rasis. Tapi ia tak bisa membalas ucapan lelaki itu. Ia seolah lumpuh melihat gerakan lelaki itu menyabuni tubuh telanjangnya. Air dari pancuran itu pasti panas, sebab kaca­kaca di situ mulai berkabut dan hawa terasa hangat. Kabut itu menempel di kulit Azura juga, dan ia hampir tak bisa menghidup udara berat yang lembap itu ke dalam paru-parunya.

”Seperti kau lihat, kami Narapidana juga punya alat yang sama dengan lelaki lain,” kata lelaki itu sambil menyabuni bagian bawah tubuhnya.

Tidak sama seratus persen, pikir Azura, sementara matanya melirik cepat ke bagian bawah tubuh lelaki itu.

”Kau vulgar,” katanya ketus.

”Dan seorang kriminal pula.” Lelaki itu tersenyum sinis dan melepaskan ikat kepalanya, lalu melemparkannya ke tumpukan pakaiannya yang lain. Ia membasahi rambutnya di bawah pancuran, lalu mengambil sebotol sampo.

Diciumnya isi botol itu, lalu dituangkannya isinya sedikit ke tangannya, dan diusapkannya kerambutnya.”baunya lebih enak daripada sampo di penjara,” katanya sambil terus menggosok.

Azura tidak menjawab, sebab ia sedang sibuk membuat rencana. Lelaki ini tentunya perlu waktu agak lama untuk membilas rambutnya, bukan? Azura tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Sekarang pun lelaki itu sudah mulai membilas rambutnya. Di meja samping tempat tidurnya ada telepon. Kalau ia bisa mencapainya dan menelepon nomor darurat sebelum… Lelaki itu kembali menunduk di bawah pancuran. Tidak ada waktu lagi.

Azura bergerak ke arah pintu, menariknya dengan cepat, hingga lengannya serasa akan putus, dan menyerbu ke dalam kamat tidur. Dalam sekejap ia berhasil mencapai meja kecil itu. Dengan panik ia mengangkat telepon dan mulai memencet nomor­-nomor yang sudah begitu ia ingat.

Ditunggunya nada panggil itu. Tidak ada apa­apa. Sial! Apa ia salah memencet nomor? Ia memutus sambungan dan mencoba lagi. Tangannya gemetar hebat, hingga ia hampir­hampir tak bisa menggenggam telepon itu. Sambil menoleh panik ia terkejut melihat Rodriguez muncul di ambang pintu, di antara kamar tidur dan kamar mandi. Lelaki itu bersandar dengan santai, mengawasinya.

Sehelai handuk melingkar di lehernya. Selebihnya ia telanjang. Air menetes-­netes dari rambutnya yang basah, meluncur di tubuhnya yang kecokelatan. Di tangan kanannya ia menggenggam pisau itu sambil mengetuk-ngetukkan sisinya yang tidak tajam di pahanya yang telanjang.

Azura baru menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa memakai telepon itu. ”Kau memutus teleponku.”

”Ya, begitu aku masuk kemari.” Dengan cepat Azura menarik kabel telepon itu dari balik meja.

Penghubung yang biasanya ditancapkan ke tembok sudah rusak diinjak tumit sebuah sepatu bot. Ia menjadi frustrasi. Dan sangat marah. Ia marah karena lelaki itu tampak begitu tenang, sementara ia sendiri merasa begitu bodoh. Ia menyumpah­-nyumpah dan melemparkan telepon itu ke arah Rodriguez, lalu melesat ke arah pintu, berusaha meloloskan diri dengan segala cara. Ia tahu usahanya akan sia­sia, tapi ia mesti melakukan sesuatu. Ia berhasil mencapai pintu, bahkan ia bisa membukanya sedikit sebelum lelaki itu mengulurkan tangan dan mendorong pintu itu hingga menutup lagi. Azura membalikkan tubuh dengan jemari siap mencakar.

”Hentikan!” perintah lelaki itu, lalu menyambar kedua lengan Azura.

Pisaunya melukai lengan atas Azura. Azura menjerit kesakitan. ”bodoh kau!”

Lelaki itu memekik kaget ketika Azura mengangkat lututnya dan menghantarkannya ke selangkangan lelaki itu.

Meleset, tapi lelaki itu jadi kehilangan keseimbangan saat berusaha menghindar.

Kulit lelaki itu masih basah dan licin, dan dengan mudah ia bisa menangkis pukulan-pukulan Azura. Dalam beberapa saat saja ia sudah berhasil menelikung lengan Azura.

”buat apa melawan seperti itu? Kau bisa terluka,” bentaknya. Wajahnya dekat sekali dengan wajah Azura dan dadanya turun­ naik kelelahan.

Sorot kemarahan di matanya membuat Azura ketakutan, tapi Azura tak mau memperlihatkannya. Ia justru melotot pada lelaki itu.

”Kalau kau mau membunuhku, cepat lakukan, "kata-nya.Ia sama sekali tidak siap ketika lelaki itu menyentakkannya berdiri.

Gigi Azura bergemeletuk ngeri. Ia masih mencoba mengumpulkan keberaniannya ketika melihat pisau itu berkelebat ke arah pipinya dengan satu gerakan cepat. Ia mencoba menjerit, tapi yang keluar hanya erangan pelan saat ia melihat sejumput rambutnya tergenggam di tangan lelaki itu. Helai­-helai rambut pirang di tangan cokelat itu menunjukkan betapa lemahnya ia di tangan lelaki itu.

”Aku tidak main­main dengan ucapanku, Nona,”

kata Rodriguez, masih dengan napas terengah.

”Aku tidak akan rugi apa pun. Kau coba macam­macam lagi, bukan hanya rambutmu yang kutebas. Mengerti?”Dengan terbelalak ngeri memandangi rambut itu.

Azura mengangguk. Rodriguez membiarkan rambut di tangannya jatuh melayang ke lantai. Kemudian dilemparkannya handuk itu pada Azura.

”Lenganmu berdarah.” Azura baru menyadarinya. Ia terkejut melihat tetesan darah mengalir dari luka di atas pergelangan tangannya.

”Ada bagian lain yang terluka?” Azura menggeleng.

”Pergilah ke tempat tidur.” Rasa takut meliputi diri Azura karena ia diperintah-perintah seenaknya di rumahnya sendiri oleh seorang pelarian dari penjara.

Tanpa memprotes sepatah pun ia mematuhi perintah itu. Lengannya sudah tidak berdarah lagi sekarang. Ia menyingkirkan handuknya dan berbalik menghadap Sanderanya.

”buka pakaianmu.” Tadi ia mengira takkan bisa merasa lebih ketakutan lagi. Ternyata perkiraannya salah.

”Apa?” desisnya.

”Kau sudah dengar apa kataku.”

”Tidak.”

”Kalau kau membantah, kau akan terluka lebih parah daripada sekadar goresan di lenganmu itu.” Mata pisau itu berkilat­-kilat dalam cahaya lampu ketika lelaki itu mengacungkannya di depan wajah Azura.

”Kurasa kau tidak akan menyakitiku.”

”Jangan terlalu yakin.” Sepasang mata yang dingin dan tidak berperasaan itu menatapnya dengan garang, dan Azura terpaksa mengakui bahwa kemungkinan ia tidak akan terluka lebih jauh lagi sepanjang malam ini tampaknya kecil.

”Kenapa… kenapa aku mesti membuka… pa…pa…”

”Kau benar­-benar ingin tahu?” Tidak, rasanya ia tak ingin tahu, sebab ia bisa membayangkan jawabannya, dan kalau lelaki itu benar­benar mengucapkannya, ia pasti akan semakin ketakutan.

”Tapi kalau kau bermaksud memerkosaku, kenapa kau tidak…”

”buka pakaianmu.” Lelaki itu mengucapkan setiap kata dengan tegas.

Kalimat itu keluar dari bibirnya yang keras seperti potongan­-potongan es. Azura tak punya pilihan. Kalau menuruti perintah lelaki itu, setidaknya ia masih punya waktu lebih banyak untuk hidup. Mungkin seseorang akan meneleponnya dan mendapati teleponnya tidak berfungsi. Perusahaan telepon akan mengirim orang untuk mengecek, bukan? Atau barangkali akan ada yang datang. Anak penjual koran, misalnya. Apa pun mungkin ter jadi kalau ia bisa membuat lelaki itu berlama­lama. bahkan mungkin saat ini polisi sudah mengepung rumahnya, setelah berhasil melacak jejak Rodriguez kemari.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuni Wartianingsih
menegangkan, juga dramatis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjebak Bersama Kriminal Tampan   95

    Pembicaraan, disela sejenak (topik, Politik dan Olahraga dan kemudian, ketika diperlukan perubahan, Olahraga dan Politik), dilanjutkan kembali sepanjang tahun meja. Di bawah kedok percakapan, dan di sela-sela penerimaan perhatian tuan-tuan, Alucia berbisik kepada Sir Martin, “Jangan mulai, paman. Shane ada di perpustakaan.” (Tuan Smith yang sopan menawarkan ham. Dengan penuh rasa terima kasih ditolak.) “Berdoa, berdoa, berdoa pergilah kepadanya; dia menunggu untuk bertemu denganmu dia ada di dalam masalah yang mengerikan.” (Tuan Jones yang gagah berani mengusulkan kue tart buah dan krim. Diterima dengan ucapan terima kasih.) “Bawa dia ke rumah musim panas: Aku akan mengikutimu saat aku mendapatkannya peluang. Dan segera kelola, paman, jika kamu mencintaiku, atau kamu akan terlambat.” Sebelum Sir Martin sempat membalas sepatah kata pun, Nyonya Lylia memotong kue komposisi Skotlandia terkaya, di ujung lain meja, di depan umum menyatakan bahwa itu adalah “kuenya sendiri,”

  • Terjebak Bersama Kriminal Tampan   94

    "Ya. Apa itu?" “Siapakah tuan-tuan yang tinggal di rumah ini?” Alucia melihat sekelilingnya lagi, tiba-tiba merasa heran dan khawatir. rasa takut yang samar-samar menguasainya hingga pikiran Shane melemah karena beban yang berat masalah ada di atasnya. Shane tetap memaksakan permintaan anehnya. “Cari nama mereka, Alucia. Aku punya alasan untuk ingin tahu siapa orangnya tuan-tuan adalah yang tinggal di rumah.” Alucia mengulangi nama-nama tamu Nyonya Lylia, dan melanjutkan hingga akhir tamu yang datang terakhir. “Dua lagi kembali pagi ini,” dia melanjutkan. “Arnold Brinkworth dan temannya yang penuh kebencian itu, Tuan Figo.” Kepala Shane kembali bersandar di kursi. Dia telah menemukan jalannya tanpa menimbulkan kecurigaan akan kebenaran, terhadap satu-satunya penemuan yang telah dia dapatkan ke Windygates untuk dibuat. Dia berada di Skotlandia lagi, dan dia baru saja tiba dari sana London pagi itu. Hampir tidak ada waktu baginya untuk berkomunikasi Craig Fernie se

  • Terjebak Bersama Kriminal Tampan   93

    “Jangan pedulikan para wanita! Persamaan subjek apa yang bisa Kamu dan Tn. Figo mungkin harus dibicarakan? Dan kenapa aku melihat kerutan di antara kamu alis, sekarang kamu sudah selesai dengannya? sebuah kerutan yang tentu saja tidak di sana sebelum kamu mengadakan konferensi pribadi bersama?” Sebelum menjawab, Sir Martin mempertimbangkan apakah dia harus mengajak Alucia masuk kepercayaan dirinya atau tidak. Upaya untuk mengidentifikasi “wanita” Mark yang tidak disebutkan namanya dia bertekad untuk melakukannya, akan membawanya ke Craig Fernie, dan pasti akan melakukannya akhirnya mewajibkan dia untuk menyapa Shane. Pengetahuan mendalam Alucia temannya pasti bisa berguna baginya dalam hal ini keadaan; dan kebijaksanaan Alucia harus dipercaya dalam segala hal Kepentingan Miss Amanda sangat memprihatinkan. Di sisi lain, ada kehati-hatian sangat diperlukan, dalam kondisi informasinya yang tidak sempurna saat ini dan kehati-hatian, dalam benak Sir Martin, membawa dampaknya. Dia m

  • Terjebak Bersama Kriminal Tampan   92

    Dia mengeluarkan kantong tembakaunya; dan tiba-tiba menghentikan operasi di saat membukanya. Objek apa yang dilihatnya, di balik deretan pohon pir kerdil, menjauh ke kanan? Seorang wanita tampaknya seorang pelayan dari balik pakaiannya membungkuk dengan membelakangi dia, mengumpulkan sesuatu: tumbuhan yang terlihat seperti itu, begitu juga dia bisa melihat mereka dari kejauhan. Benda apa yang tergantung pada tali di sisi wanita itu? Sebuah batu tulis? Ya. Apa yang dia inginkan dengan batu tulis di sisinya? Dia sedang mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dan di sinilah hal itu ditemukan. “Apa pun bisa dilakukan aku,” pikirnya. “Bagaimana kalau aku 'mengolok-olok' dia sedikit tentang batu tulisnya?” Dia memanggil wanita di seberang pohon pir. “Halo!” Wanita itu bangkit, dan maju ke arahnya perlahan menatapnya, saat dia datang, dengan mata cekung, wajah sedih, batu ketenangan Hester Dethridge. Mark terhuyung. Dia tidak menawar untuk menukar barang yang paling membos

  • Terjebak Bersama Kriminal Tampan   91

    "Kamu disana!" katanya, dan menyerahkan catatannya kepada pria itu. “Baiklah, Mark?” tanya suara ramah di belakangnya. Dia berbalik dan melihat Arnold, sangat ingin mendengar kabar konsultasi dengan Sir Martin. “Ya,” katanya. "Baiklah." Arnold sedikit terkejut dengan sikap singkat Mark jawab dia. “Apakah Sir Martin pernah mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan?” Dia bertanya. “Sir Martin telah mengatakan apa yang saya ingin dia katakan.” “Tidak ada kesulitan dalam pernikahan?” "Tidak ada." “Jangan takut pada Alucia ” “Dia tidak akan memintamu menemui Craig Fernie aku akan menjawabnya!” Dia mengatakan kata-kata yang sangat ditekankan, mengambil surat saudaranya dari meja, mengambil topinya, dan keluar. Teman-temannya, yang sedang bermalas-malasan di halaman, memujinya. Dia melewati mereka dengan cepat tanpa menjawab, tanpa melirik mereka dari balik bahunya. Sesampainya di taman mawar, ia berhenti dan mengeluarkan pipanya; kemudian tiba-tiba berubah pikiran, da

  • Terjebak Bersama Kriminal Tampan   90

    Mark mengangguk. "Itu dia!" katanya dengan penuh semangat. “Menurut pengalaman saya, Tuan Figo, pria lajang mana pun di Skotlandia bisa melakukannya nikahi wanita lajang mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun. Pendeknya, setelah tiga puluh tahun berpraktik sebagai pengacara, saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan pernikahan Skotlandia." “Dalam bahasa Inggris yang sederhana,” kata Mark.“maksudmu dia istrinya?” Terlepas dari kelicikannya; meskipun dia bisa memerintah dirinya sendiri, matanya bersinar-sinar mengucapkan kata-kata itu. Dan nada bicaranya walaupun dijaga dengan sangat hati-hati menjadi nada kemenangan di telinga yang baik, jelas merupakan nada lega. Baik tatapan maupun nada bicara Sir Martin tidak hilang. Kecurigaannya yang pertama, ketika dia duduk di konferensi, sudah jelas terlihat kecurigaan bahwa, ketika berbicara tentang “temannya”, Mark sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Namun, seperti semua pengacara, dia biasanya tidak mempercayai kesan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status