Share

Terjebak Bersama Kriminal Tampan
Terjebak Bersama Kriminal Tampan
Penulis: Nabila

Bab. 2

”Sudah kubilang aku butuh makanan dan istirahat.” Ada nada baru yang aneh dalam suara lelaki itu. Sedikit kasar.

”Kau sudah beristirahat.”

”Maksudku tidur, Miss Azura. Aku butuh tidur.”

”Maksudmu… kau ingin tinggal di sini?” tanya Azura terkejut.

”berapa lama?”

”Sampai aku memutuskan untuk pergi,” sahut lelaki itu tenang.

Ia menyeberangi kamar dan menyalakan lampu di samping tempat tidur Azura.

”Tidak mungkin!” Lelaki itu kembali ke tempat Azura berdiri di dekat pintu dan meraih tangannya. Ditariknya Azura di belakangnya.

”Kau tidak dalam posisi untuk berdebat. Aku memang belum mencelakaimu, tapi itu tidak berarti aku tidak akan melakukannya kalau terpaksa.”

”Aku tidak takut padamu.”

”Kau bohong.” Lelaki itu menyeretnya ke kamar mandi yang berhubungan dengan kamar tidur dan membanting pintu.

”Atau kau mestinya takut. Dengar baik­-baik,” katanya dengan gigi dikatupkan.

Ada sesuatu yang mesti kulakukan, dan tidak ada seorang pun yang bisa mencegahku, apalagi seorang putri kulit putih seperti kau. Aku telah menghantam seorang penjaga sampai pingsan untuk bisa lolos dari penjara, dan aku sudah jalan kaki sejauh ini. Aku tidak akan kehilangan apa pun, selain nyawaku, dan di penjara nyawa tidak ada artinya. Jadi, jangan macam­macam, Nona. Kau mesti menerimaku tinggal di sini sebagai tamumu, selama yang aku inginkan.

” Untuk menekankan ancamannya, ia mencabut pisau itu lagi dari balik celananya.

Azura menarik napas kaget, seolah perutnya disentuh dengan ujung pisau itu.

”Itu lebih bagus,” kata le laki itu, melihat ketakutannya.

”Sekarang duduklah.” Ia memberi isyarat dengan dagunya ke arah toilet duduk.

Azura, masih terus menatap pisau itu, mundur sampai

ia membentur toilet, lalu duduk di situ.

Rodriguez meletakkan pisaunya di tepi bathtub, jauh dari jangkauan Azura. Ia melepaskan sepatu bot dan kaus kakinya, lalu mulai menarik kemejanya yang compang­-camping dari dalam celana jeans­nya. Azura, yang duduk diam seperti patung, tidak mengatakan apa­apa saat lelaki itu melepaskan kemejanya.

Ia mulai membuka sabuk keperakan di pinggangnya. ”Kau mau apa?” tanya Azura was-was.

”Mau mandi.” Rodriguez membuka sabuknya, membiarkannya menggantung lepas saat ia membungkuk untuk menyalakan keran di bathtub. Lalu ia membuka ritsleting jeans­nya. Suara air yang memancar keras itu tak bisa menyamarkan bunyi tarikan ritsleting tersebut.

”Kau mau mandi di depanku?” teriak Azura.

”Supaya aku bisa mengawasimu.” Dengan tenang lelaki itu menurunkan celananya.

Azura memejamkan mata, merasa pening. Dicengkeramnya tepi dudukan toilet itu agar ia tidak jatuh. belum pernah ia merasa begitu dihina dan semarah ini dalam hidupnya.

Lelaki itu melangkah ke bawah pancuran air, tanpa menutup tirai. Azura memalingkan kepala dan menarik napas beberapa kali, untuk menenangkan diri.

”Ada apa, Miss Azura? belum pernah melihat laki­-laki telanjang? Atau kau gugup karena yang kau lihat adalah orang Indian yang telanjang?”Azura menoleh dengan tajam, tersengat oleh nada mengejek lelaki itu.

Ia tidak mau orang ini menganggapnya sok malu­malu kucing atau rasis. Tapi ia tak bisa membalas ucapan lelaki itu. Ia seolah lumpuh melihat gerakan lelaki itu menyabuni tubuh telanjangnya. Air dari pancuran itu pasti panas, sebab kaca­kaca di situ mulai berkabut dan hawa terasa hangat. Kabut itu menempel di kulit Azura juga, dan ia hampir tak bisa menghidup udara berat yang lembap itu ke dalam paru-parunya.

”Seperti kau lihat, kami Narapidana juga punya alat yang sama dengan lelaki lain,” kata lelaki itu sambil menyabuni bagian bawah tubuhnya.

Tidak sama seratus persen, pikir Azura, sementara matanya melirik cepat ke bagian bawah tubuh lelaki itu.

”Kau vulgar,” katanya ketus.

”Dan seorang kriminal pula.” Lelaki itu tersenyum sinis dan melepaskan ikat kepalanya, lalu melemparkannya ke tumpukan pakaiannya yang lain. Ia membasahi rambutnya di bawah pancuran, lalu mengambil sebotol sampo.

Diciumnya isi botol itu, lalu dituangkannya isinya sedikit ke tangannya, dan diusapkannya kerambutnya.”baunya lebih enak daripada sampo di penjara,” katanya sambil terus menggosok.

Azura tidak menjawab, sebab ia sedang sibuk membuat rencana. Lelaki ini tentunya perlu waktu agak lama untuk membilas rambutnya, bukan? Azura tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Sekarang pun lelaki itu sudah mulai membilas rambutnya. Di meja samping tempat tidurnya ada telepon. Kalau ia bisa mencapainya dan menelepon nomor darurat sebelum… Lelaki itu kembali menunduk di bawah pancuran. Tidak ada waktu lagi.

Azura bergerak ke arah pintu, menariknya dengan cepat, hingga lengannya serasa akan putus, dan menyerbu ke dalam kamat tidur. Dalam sekejap ia berhasil mencapai meja kecil itu. Dengan panik ia mengangkat telepon dan mulai memencet nomor­-nomor yang sudah begitu ia ingat.

Ditunggunya nada panggil itu. Tidak ada apa­apa. Sial! Apa ia salah memencet nomor? Ia memutus sambungan dan mencoba lagi. Tangannya gemetar hebat, hingga ia hampir­hampir tak bisa menggenggam telepon itu. Sambil menoleh panik ia terkejut melihat Rodriguez muncul di ambang pintu, di antara kamar tidur dan kamar mandi. Lelaki itu bersandar dengan santai, mengawasinya.

Sehelai handuk melingkar di lehernya. Selebihnya ia telanjang. Air menetes-­netes dari rambutnya yang basah, meluncur di tubuhnya yang kecokelatan. Di tangan kanannya ia menggenggam pisau itu sambil mengetuk-ngetukkan sisinya yang tidak tajam di pahanya yang telanjang.

Azura baru menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa memakai telepon itu. ”Kau memutus teleponku.”

”Ya, begitu aku masuk kemari.” Dengan cepat Azura menarik kabel telepon itu dari balik meja.

Penghubung yang biasanya ditancapkan ke tembok sudah rusak diinjak tumit sebuah sepatu bot. Ia menjadi frustrasi. Dan sangat marah. Ia marah karena lelaki itu tampak begitu tenang, sementara ia sendiri merasa begitu bodoh. Ia menyumpah­-nyumpah dan melemparkan telepon itu ke arah Rodriguez, lalu melesat ke arah pintu, berusaha meloloskan diri dengan segala cara. Ia tahu usahanya akan sia­sia, tapi ia mesti melakukan sesuatu. Ia berhasil mencapai pintu, bahkan ia bisa membukanya sedikit sebelum lelaki itu mengulurkan tangan dan mendorong pintu itu hingga menutup lagi. Azura membalikkan tubuh dengan jemari siap mencakar.

”Hentikan!” perintah lelaki itu, lalu menyambar kedua lengan Azura.

Pisaunya melukai lengan atas Azura. Azura menjerit kesakitan. ”bodoh kau!”

Lelaki itu memekik kaget ketika Azura mengangkat lututnya dan menghantarkannya ke selangkangan lelaki itu.

Meleset, tapi lelaki itu jadi kehilangan keseimbangan saat berusaha menghindar.

Kulit lelaki itu masih basah dan licin, dan dengan mudah ia bisa menangkis pukulan-pukulan Azura. Dalam beberapa saat saja ia sudah berhasil menelikung lengan Azura.

”buat apa melawan seperti itu? Kau bisa terluka,” bentaknya. Wajahnya dekat sekali dengan wajah Azura dan dadanya turun­ naik kelelahan.

Sorot kemarahan di matanya membuat Azura ketakutan, tapi Azura tak mau memperlihatkannya. Ia justru melotot pada lelaki itu.

”Kalau kau mau membunuhku, cepat lakukan, "kata-nya.Ia sama sekali tidak siap ketika lelaki itu menyentakkannya berdiri.

Gigi Azura bergemeletuk ngeri. Ia masih mencoba mengumpulkan keberaniannya ketika melihat pisau itu berkelebat ke arah pipinya dengan satu gerakan cepat. Ia mencoba menjerit, tapi yang keluar hanya erangan pelan saat ia melihat sejumput rambutnya tergenggam di tangan lelaki itu. Helai­-helai rambut pirang di tangan cokelat itu menunjukkan betapa lemahnya ia di tangan lelaki itu.

”Aku tidak main­main dengan ucapanku, Nona,”

kata Rodriguez, masih dengan napas terengah.

”Aku tidak akan rugi apa pun. Kau coba macam­macam lagi, bukan hanya rambutmu yang kutebas. Mengerti?”Dengan terbelalak ngeri memandangi rambut itu.

Azura mengangguk. Rodriguez membiarkan rambut di tangannya jatuh melayang ke lantai. Kemudian dilemparkannya handuk itu pada Azura.

”Lenganmu berdarah.” Azura baru menyadarinya. Ia terkejut melihat tetesan darah mengalir dari luka di atas pergelangan tangannya.

”Ada bagian lain yang terluka?” Azura menggeleng.

”Pergilah ke tempat tidur.” Rasa takut meliputi diri Azura karena ia diperintah-perintah seenaknya di rumahnya sendiri oleh seorang pelarian dari penjara.

Tanpa memprotes sepatah pun ia mematuhi perintah itu. Lengannya sudah tidak berdarah lagi sekarang. Ia menyingkirkan handuknya dan berbalik menghadap Sanderanya.

”buka pakaianmu.” Tadi ia mengira takkan bisa merasa lebih ketakutan lagi. Ternyata perkiraannya salah.

”Apa?” desisnya.

”Kau sudah dengar apa kataku.”

”Tidak.”

”Kalau kau membantah, kau akan terluka lebih parah daripada sekadar goresan di lenganmu itu.” Mata pisau itu berkilat­-kilat dalam cahaya lampu ketika lelaki itu mengacungkannya di depan wajah Azura.

”Kurasa kau tidak akan menyakitiku.”

”Jangan terlalu yakin.” Sepasang mata yang dingin dan tidak berperasaan itu menatapnya dengan garang, dan Azura terpaksa mengakui bahwa kemungkinan ia tidak akan terluka lebih jauh lagi sepanjang malam ini tampaknya kecil.

”Kenapa… kenapa aku mesti membuka… pa…pa…”

”Kau benar­-benar ingin tahu?” Tidak, rasanya ia tak ingin tahu, sebab ia bisa membayangkan jawabannya, dan kalau lelaki itu benar­benar mengucapkannya, ia pasti akan semakin ketakutan.

”Tapi kalau kau bermaksud memerkosaku, kenapa kau tidak…”

”buka pakaianmu.” Lelaki itu mengucapkan setiap kata dengan tegas.

Kalimat itu keluar dari bibirnya yang keras seperti potongan­-potongan es. Azura tak punya pilihan. Kalau menuruti perintah lelaki itu, setidaknya ia masih punya waktu lebih banyak untuk hidup. Mungkin seseorang akan meneleponnya dan mendapati teleponnya tidak berfungsi. Perusahaan telepon akan mengirim orang untuk mengecek, bukan? Atau barangkali akan ada yang datang. Anak penjual koran, misalnya. Apa pun mungkin ter jadi kalau ia bisa membuat lelaki itu berlama­lama. bahkan mungkin saat ini polisi sudah mengepung rumahnya, setelah berhasil melacak jejak Rodriguez kemari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status