"Yeay, udah sampe. Nggak mau masuk dulu, jarang banget ih lo mampir, mumpung gue lagi sendiri," ucap Mery, ketika motor Aldevan berhenti tepat depan pagar rumahnya.
Gelengan pelan respon Aldevan, ia hanya tidak nyaman jika berduaan saja dalam rumah yang sepi. Diusapnya lembut rambut Mery, kemudian berkata. "Enggak."
"Ih, mau ya, kali ini aja, gue lupa kapan terakhir kali lo ke rumah gue, rasanya udah lama banget. Mau ya, mau, mau dong." Mery bersikeras, dia menarik-narik lengan seragam Aldevan, seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan.
Karena Mery sudah turun dari motor, Aldevan sulit mengelak sebab kini cewek itu merentangkan tangan, tepat depan motornya.
"Iya dah, iya gue mampir. Cuma sebentar, gue ada urusan habis ini." Aldevan menghela berat dan melepas helmnya, turun dari motor lalu berhadapan dengan Mery.
"Yeay, ayo masuk," senang Mery, langsung menuntun Aldevan masuk ke rumahnya. Namun baru sampai depan pintu, cowok
Ada sekitar sepuluh menit berlalu, Aldevan menyusuri jalanan sore ditemani angin sejuk menyentuh kulit. Kini, cowok itu sudah sampai di depan rumahnya, memarkirkan motor, melepas helm, lalu merapikan rambutnya yang acakan. Hal pertama yang ia dapati saat membuka pintu ialah keberadaan Anggie, ia mengernyit, bukan karena Anggie sedang menatapnya dingin melainkan wanita paruhbaya lain yang juga duduk di sampingnya. Itu Hasna-–bundanya Hana. "Assalamualaikum." Aldevan memberi salam, jaket menggantung di pundaknya. Enggan menatap Hasna lebih lama. "Waalaikum salam," jawab Anggie datar, bernada dingin. Entah kenapa, Aldevan tidak mengerti apa yang terjadi sebelumnya. Tidak pernah mamanya berekspresi seperti itu. Apalagi sekarang ada tamu. "Darimana saja baru pulang jam segini, Aldevan?" tanya Anggie, Aldevan yang berjalan menaiki tangga lantas menghentikkan langkah, menatap mamanya. "Nganter Mery pulang dulu tadi." Aldevan menjawab tidak kalah dingin. "Ada pertanyaan lagi?" Ini pert
Hari demi hari berlalu. Terhitung satu bulan hari ini Aldevan menjalin hubungan dengan Mery.Aldevan menikmati tiap suapan dari cewek itu--Mery dengan senangnya sekaligus malu-malu menyuapi nasi gorengnya. Karena murid seleksi eskul kian banyak memasuki ruangan. "Aciee, elah bos kita para jomblo pada ngiri nih. Jauh-jauhan dikit gih sana, katarak lama-lama mata gue liat yang romantis mulu tiap hari," rengek Kevin yang tengah duduk di kursi khusunya. "Bener apa kata Kevin, lo jangan sok romantis deh, mentang-mentang gue ketolak mentah Hana. Kan gue jadi iri. Cielah nih anak!" Arlan mencibir, terselip nada bercanda dari kalimatnya. "Nih ye bos, dengerin baik-baik, tuh cewek lo santet apaan ampe berani berubah gitu demi lo?" tanya Arlan, lalu menyeruput kuah baksonya. Kevin tertawa renyah. "Hooh. Gue juga penasaran, terlalu cinta kali ya? Kan kasian Arlan gak dapat jatah liat body kinclong. Seragamnya udah ngelebar gitu." Mery yang mendengar itu hanya
"Aldevan tungguin, jalannya cepet amat sih, ini kaki aku pegel kalo cepet-cepet," kekeh Mery, ia menyeimbangkan langkah dengan Aldevan. Setelah akhirnya keluar dari ruangan eskul fotografi. Aldevan melirik sekilas ke belakang, untung lorong sudah sepi, hanya ada beberapa siswi yang nekat melihat keberadaan mereka berdua. "Lo yang jalannya lambat kayak siput," cibirnya. "Gue tunggu, lima detik lo udah di depan gue. Kalo gak? Gak jadi gue ajarin lo motret." Mery mengernyit kesal, lima detik? Dia bahkan perlu satu menit menuju Aldevan. Wajar karena sekarang ia di ujung koridor. "Eh-eh, buset, cepet banget lima detik. Satu menit, pacar. Aku bukan supermen," kesal Mery mengerucutkan bibir. "Emang gue peduli?" "Yaudah iya-iya." Dengan langkah cepat Mery berjalan menuju Aldevan, mimiknya cemberut, sementara cowok berjarak lima meter dengannya itu hanya mendengus geli. "Empat ..." "Iya-iya." Langkah
"Ry, Ry. Ada berita heboh, lo cepetan keluar. Gue ada berita penting buat lo!" teriak Tasya antusias dari ambang pintu. Mery yang baru saja membuka lembar pertama bukunya kini menoleh, menatap penuh penasaran. "Apaan sih? Gue lagi belajar, sanaan dah. Hush." Tasya berdecak tak sabar. Tangannya melambai-lambai. "Ayolah Ry, gue yakin lo nyesel nggak denger ini sekarang. Semrawut atuh, penting, penting, penting. Soal pacar lo, Ry. Aldevan." Jika tidak mendengar kata Aldevan, Mery tak akan menganggukan kepala dan bergegas menghampiri cewek itu. "Emang pacar gue kenapa? Muntah-muntah lagi, sakit kepala, dia demam? Luka? Cepetan jawab," cecar Mery, seraya mengguncang tubuh Tasya. "Lepasin gue dulu, Ry gimana mau ngomong?" kekeh Tasya, kepalanya mendadak pusing akibat guncangan Mery. Mery lantas menghentikkan guncangannya, sadar akan sikapnya yang membuat Tasya geleng-geleng kepala. "Tadi lo minta cepetan." "Iye maksud gue cep
Mery membiarkan Aldevan memutar lensa kameranya selama beberapa menit dengan tatapan fokus. Mereka memutuskan duduk di taman kecil, itu pun keputusan Aldevan dan ia tidak berniat menggubris. Mery akhirnya mengikuti saja, mereka mengambil tempat pada salah satu kursi panjang. Awalnya Aldevan bercerita soal mengapa ia membopong Hana ke UKS, Mery pun manggut-manggut paham saja. Sesekali, ia menanyakan apakah Aldevan menyukai Hana. Dan jawaban Aldevan tidak, dia masih menyukai cewek berkepang di hadapannya sekarang. "Jadi, bener nggak ada rasa apa pun?" tanya Mery. "Nggak ada Ry, gue udah jelasin ke elo gue hanya bersimpati. Masa gue tinggalin gitu aja anak orang?" Mery terkekeh geli. "Hehe iya, pacar gue emang baik deh. Suka menolong." "Hmm." Angin berhembus terasa sejuk menerpa kulit, sesekali Mery memeluk lengannya, sesekali pula mengamati Aldevan yang mendadak diam seribu bahasa. Tatapannya kosong ke depan. "Pacar, kok bengong?
"Pacar takuttt," rengek Mery, suaranya nyaris lenyap oleh mesin biang lala yang mulai menyala. Memeluk Aldevan dari samping dan menenggelamkan wajah di dada cowok itu. "Shtt, lo gak perlu takut, ada gue. Atau lo tutup mata silahkan," kata Aldevan, dia menarik tangan Mery agar memeluknya erat. Mery mendongak lalu menatap Aldevan. "Kalo tutup mata gimana mau liat pemandangan indah di atas? Pengen lihat pohon tinggi, awan, burung-burung terbang," ujar Mery, dia mendadak cemberut sekaligus takut. "Ya sudah, lo liat muka gue aja, lebih enak dipandang daripada burung sama awan," goda Aldevan. Mery tersenyum geli, sejenak rasa takutnya menghilang karena gombalan Aldevan tadi. Sayangnya, memandang wajah Aldevan berlama-lama sama saja dengan mempercepat degup jantungnya. Mesin masih menyala, satu demi satu pengunjung memenuhi tiap box biang lala, sementara Mery masih saja memeluknya dengan gemetar. "Sekarang pilih mana? Liat muka gue atau liat
Aldevan mengernyit ketika sampai depan gerbang rumahnya, terlihat kosong tak berpenghuni seperti rumah Mery. Pintunya tertutup rapat, biasanya selalu terbuka kecuali semua orang sedang pergi keluar. Matanya menyapu seluruh halaman, dan Aldevan menemukan pak Husni tengah menyiram tanaman. "Semua orang kemana, Pak? Kok sepi?" Pak Husni yang berdiri tak jauh dari pagar menoleh. "Semua ke rumah sakit, Den. Ibu, Non Davina, cuman Tuan aja yang gak ikut, katanya sibuk." "Emang siapa yang sakit, Pak?" tanya Aldevan penasaran. Pak Husni mengusap dagu, seingatnya... "Non Hana, kalo gak salah Non Hana, temen, Den waktu kecil itu." Mata Aldevan membola sesaat, buru-buru dia menaiki motor lalu memasang helm secepatnya. Tak peduli dengan pak Husni yang berteriak kencang dari arah pagar. "Eh Den, Den Aldevan mau kemana?!" ••• "Nona Hana, sebentar ya, Dek." Perawat itu mengecek sesuatu di komputernya, selesai, ia menem
"Masukkin coklatnya lagi, Ry. Biar tambah manis," saran Tasya. Dia mengambil sebatang coklat lalu memasukkannya ke adonan kue yang sedang di aduk oleh Mery. "Eh, sembarangan banget sih lo, kata pacar gue jangan terlalu manis," kilah Mery. Dia menepis tangan Tasya yang hendak memasukkan coklatnya lagi. Tasya berdecak sebal. "Terlalu manis darimananya, lo tadi cuman masukkin setengah batang. Tai lo manis, yang ada pacar lo mukanya masam abis makan tuh kue," cibir Tasya. "Udah-udah, lo bedua bacot. Gini aja Ry, lo kira-kira belum masukkin coklatnya, seingat kata nyokap gue, bikin cookies butuh coklat yang banyak. Biar bukan manis luarnya aja dalemnya juga," kata Raya berjalan mendekati Mery lalu mencolek adonannya, melumernya dalam mulut. "Ini kurang." "Sembarangan colek lo, ini manis, kalo makannya sambil liat muka gue," ujar Mery setelah menepis telunjuk Raya yang ingin mencolek adonannya lagi. "Elah Ry, pengen muntah gue." Tasya berjalan menja