Share

Perintah Bos Yang Aneh

"Hmmm," gumam Aidan. Ia menggeleng pelan.

"Hasil penyelidikan tim forensik nanti akan sangat membantu."

Aidan menghela napas pelan. Hasil tim forensik akan memakan waktu berhari-hari. Dan ia tidak suka menunggu. Sesuatu yang membuatnya penasaran harus segera ia pecahkan.

"Mas Aidan, kopi dulu!" seru seorang petugas dari balik garis vektor bertuliskan crime scene do not cross.

Aidan melambai pada si petugas dan tersenyum. "Kopi dulu, Pak Musa," ajaknya pada si pria berkumis tipis.

Dua minggu kemudian, Aidan belum menemukan titik terang tentang kasus yang telah ditetapkan menjadi kasus pembunuhan itu, meskipun telah mengantongi identitas si wanita. Arina Wijanarko namanya. Lahir dan besar di Nusantara City, yatim piatu dan pernah tinggal di sebuah panti asuhan. Namun, Aidan tidak mendapatkan informasi apapun yang berarti saat mendatangi panti asuhan itu. Kepala panti mengatakan Arina sudah tidak tinggal di sana sejak lima tahun lalu dan tidak ada kabarnya lagi.

Sialnya, di tempat kejadian tidak ditemukannya sidik jari, DNA pelaku, atau serpihan sekecil apapun yang ditinggalkan oleh pelaku saat melakukan aksinya. Hanya ada jejak sepatu aneh dan luka janggal di leher Arina yang menjadi satu-satunya petunjuk.

Aidan memijit keningnya seraya menumpu siku di atas meja. Di hadapannya berserakan foto-foto Arina dan jejak kaki aneh yang telah ia amati selama berjam-jam. Malam telah larut dan Aidan masih belum berniat merebahkan diri di tempat tidurnya.

"Kasus ini abu-abu. Banyak kejanggalan yang terjadi. Minimnya barang bukti sangat menghambat penyelidikan kita." Suatu hari, dua bulan kemudian, bos Aidan, Andre Boas, memanggil Aidan ke ruangannya.

Aidan menggerus rokok ke dalam asbak. "Aku sedang mempelajari senjata yang digunakan pelaku, Bos." Beberapa hari ini Aidan mendatangi beberapa toko senjata tajam untuk mencari kemungkinan senjata yang cocok dengan luka di leher Arina. Namun, hasilnya masih nihil. Pemilik toko rata-rata merasa asing dengan ciri-ciri yang ia sebutkan.

Andre Boas menggeleng. Lelaki berbadan tambun itu melonggarkan dasi yang terasa mencekik leher besarnya. "Aku ingin kasus ini selesai lebih cepat. Reputasi kita dipertaruhkan di sini. Aku tidak mau detektif dari kepolisian yang lebih dulu memecahkan kasus ini, Aidan."

Aidan mendecak. "Ini bukan kompetisi, Bos. Aku bahkan bekerjasama dengan Pranata Musa."

"Aku sudah memutuskan sesuatu, Aidan."

"Apa itu, Bos?" tanya Aidan. Keningnya mengerut.

"Kamu akan bekerjasama dengan seorang cenayang."

Mata beriris biru Aidan membulat. "Cenayang?" kekehnya remeh. "Oh, ayolah, Bos. Jangan bercanda." Ia merasa sang bos sedang membuat lelucon. Untuk apa ia melibatkan seorang paranormal dalam memecahkan kasus ini. Tentu saja pikirannya yang selalu rasional menolak mentah-mentah.

"Aku serius, Aidan." Andre mengambil sebuah kartu nama dari laci mejanya, kemudian menyodorkannya pada Aidan. "Temui dia!"

Aidan menghembuskan napasnya kasar. Ia memperhatikan kartu nama berwarna salem di tangannya. Nara Hamarung. Psychic And Tarot Reader. Begitu yang tertera di dalam kartu, lengkap dengan alamatnya.

"Ini perintah," tegas Andre sebelum Aidan memprotes keputusannya.

Aidan mengibaskan kedua tangan kesal. Ia keluar dari ruangan bosnya dengan perasaan dongkol. Cenayang. Yang benar saja. Bagi Aidan Hunter, seorang Crime Investigator yang terkenal dengan pemikiran rasionalnya, bekerjasama dengan cenayang adalah lelucon. Benar-benar lelucon. Ini akan merusak nama baiknya. 

Ide bosnya ini benar-benar aneh. Tetapi, dia bisa apa selain menuruti perintahnya. 

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status