Pertama kali bertemu dengan Aidan, saat pria itu datang ke tokonya, Nara sudah bisa membaca masa lalu Aidan yang buruk. Kemungkinan, sikap angkuhnya itu terpengaruh dari peristiwa yang telah ia alami. Ditinggalkan oleh wanita yang ia cintai. Yang jelas, Nara masih bisa melihat sorot luka dalam tatapan mata Aidan. Pagi itu, Nara sedikit terlambat datang ke kantor, sebab ada client datang dan mendesaknya untuk melakukan konsultasi. Saat ia menemui Aidan, wajah pria itu terlihat masam. "Maaf, Mas. Tadi ada client yang konsultasi pagi-pagi banget. Aku nggak bisa nolak." Nara beralasan. "Lain kali jangan lupa pasang tanda "close" di depan toko." Aidan menyambar tas di atas meja dan berjalan mendahului Nara keluar dari ruangannya. Gadis itu mengikuti dengan langkah tergesa. "Rencana hari ini apa, Mas?" tanya Nara sesaat setelah berada di dalam mobil Aidan. "Hasil team forensik sudah keluar." Aidan melajukan mobil meninggalkan area kantor BIN. "Oh ya? Terus?" tanya Nara berlagak
Aidan dan Nara saling melempar pandang saat pertanyaan penuh harap dari wanita bernama Ningrum itu terucap. Kalau saja harus menuruti kata hati, ia tidak tega memberitahukan kabar duka itu padanya. Tetapi, sebagai seorang abdi negara, ia tidak boleh melankolis. "Suami Mbak ada di RSKPN (Rumah Sakit Kesehatan Pusat Negara)." Ningrum mengelus dada seraya menghembuskan napas lega. Tetapi, kelegaannya tidak berlangsung lama, tepat setelah Aidan memberitahukan keadaan sang suami, Joseph. Wanita itu pun seketika meraung dengan cucuran air mata yang membanjiri pipi. Ia terduduk lemas seraya menutup wajahnya. Ratapannya terdengar begitu pilu. "Nggak benar, kan, Mas? Mbak?" sangkal Ningrum setelah ia berhenti menangis. Ia berharap dua orang pegawai pemerintahan ini hanya sedang mencandainya. Ia belum bisa menerima jika penantiannya selama tiga tahun ini berakhir dengan kabar paling buruk yang selalu ia singkirkan jauh-jauh dari pikirannya. Suaminya---Joseph---hanya tersesat dan tidak tahu j
Wanita itu berlari kencang dengan napas memburu. Tergambar jelas ketakutan di wajahnya. Ia tidak ingin mati malam ini. Tidak dengan cara yang brutal. Sementara langkah kaki cepat dan berat mengikutinya masuk ke dalam hutan."Aaah!" Kakinya tersandung sesuatu di tanah. Entah ranting pohon yang teronggok atau batu yang menghalangi langkahnya, ia tidak tahu. Sepasang matanya tidak mampu melihat jelas. Cahaya bulan malam itu tidak terlalu membantu.Wanita itu tersungkur. Cepat ia berusaha bangkit dan kembali berlari, tetapi, tanah becek sisa hujan tadi sore membuat kakinya terpeleset dan membuatnya cidera. Ia meringis kesakitan. Air mata telah membanjiri wajahnya. Bukan karena rasa sakit di pergelangan kaki, namun karena begitu dekatnya ia dengan kematian."Aku mohon, jangan bunuh aku," rengeknya putus asa. Ia bergerak mundur, berusaha menjauh semampunya dari kematian yang siap menyongsong.Ia menggeleng, meratap, memohon agar nayawanya diampuni. Ia masih ingin menghirup udara esok hari,
"Hmmm," gumam Aidan. Ia menggeleng pelan."Hasil penyelidikan tim forensik nanti akan sangat membantu."Aidan menghela napas pelan. Hasil tim forensik akan memakan waktu berhari-hari. Dan ia tidak suka menunggu. Sesuatu yang membuatnya penasaran harus segera ia pecahkan."Mas Aidan, kopi dulu!" seru seorang petugas dari balik garis vektor bertuliskan crime scene do not cross.Aidan melambai pada si petugas dan tersenyum. "Kopi dulu, Pak Musa," ajaknya pada si pria berkumis tipis.Dua minggu kemudian, Aidan belum menemukan titik terang tentang kasus yang telah ditetapkan menjadi kasus pembunuhan itu, meskipun telah mengantongi identitas si wanita. Arina Wijanarko namanya. Lahir dan besar di Nusantara City, yatim piatu dan pernah tinggal di sebuah panti asuhan. Namun, Aidan tidak mendapatkan informasi apapun yang berarti saat mendatangi panti asuhan itu. Kepala panti mengatakan Arina sudah tidak tinggal di sana sejak lima tahun lalu dan tidak ada kabarnya lagi.Sialnya, di tempat kejadi
"Kenapa kartu saya buruk semua, Mbak Nara?" Wanita berusia lima puluhan dengan sanggul tinggi dan riasan wajah cukup tebal itu tampak frustrasi. Sudah satu jam lebih ia berkonsultasi tentang kondisi rumah tangganya, namun sepertinya, kartu-kartu yang ia pilih tidak ada satu pun yang membuatnya lega.Nara mengulas senyumnya. "Tidak semua buruk, Bu Siska. Seperti yang saya bilang tadi, ada beberapa kartu yang memiliki dua sudut pandang. Dari sisi positif dan negatif. Itu tergantung perspektif Bu Siska sendiri," terangnya. Wanita itu adalah klien terakhir Nara hari ini. Namun, sepertinya, ia akan menyita waktu gadis itu lebih lama. Ia cukup merasa lelah seharian memforsir kekuatannya membaca nasib para klien."Boleh, ya, saya ambil kartu satu lagi?" Wanita yang dipanggil Siska itu memohon. Meskipun sesi konsultasinya seharusnya sudah selesai."Silahkan, Bu." Nara mengurai tumpukan kartu ke atas meja. Ia prihatin dengan wanita itu. Begitu naif sehingga tidak mengetahui suaminya main di be
"BIN?" Nara mengerutkan dahi. Ada keperluan apa orang pemerintah menemuinya. Ia berharap bukan sesuatu yang buruk. Namun, dari raut wajah tampannya, Nara bisa membaca ada hal penting yang hendak ia sampaikan padanya. Hal yang sangat sangat penting.Aidan mengambil stopmap berwarna kuning dengan simbol Badan Investigasi Negara (BIN) yang berbentuk burung elang dan tiga bintang di atas kepalanya. "Kamu tahu tentang kasus ini, bukan?" tanyanya seraya menyodorkan stopmap pada Nara.Nara yang masih merasa heran dengan kunjungan anggota BIN itu, membaca tulisan di sampul stopmap. Berkas Arina Wijanarko. Tentu ia sudah mendengar kasus pembunuhan seseorang wanita di hutan pinggir kota yang terjadi sekitar dua bulan lalu."Kami ingin menyewa jasamu, Nara. Boleh saya panggil begitu?" tanya Aidan sembari mengulas senyum tipis. Sungguh ia merasa saat ini dirinya begitu bodoh menuruti perintah dari bosnya yang konyol ini."Menyewa jasa saya untuk membantu investigasi tentang kasus pembunuhan Arina
"Mas Aidan, ada cewek nyariin."Seto menyembul dari balik pintu ruangan Aidan. "Tapi, ceweknya aneh," lanjutnya."Suruh masuk, Set," perintah Aidan pada bawahannya, pemuda berumur dua puluh dua tahun yang baru lulus dari sekolah intelijen negara."Mas Aidan kenal?" tanya Seto. Pemuda berambut cepak itu masih melongokkan kepalanya."Kenal. Sudah, suruh dia masuk." Aidan masih berkutat di depan layar komputernya tanpa menoleh ke arah Seto.Seto meringis. "Siap, Komandan!" seru pemuda itu sambil berlalu."Silahkan masuk, Mbak."Aidan mendengar suara Seto mempersilahkan seseorang untuk masuk ke ruangannya. Dia memandang ke arah pintu. Tidak lama kemudian, seorang gadis berpakaian hitam, rambut hitam panjang dengan poni lurus menghiasi kening, muncul."Hello, Nara. Silahkan duduk.""Apa saya terlambat, Mas?" tanya Nara sambil menarik kursi di depan meja Aidan lalu mendudukinya."Tidak." Aidan menutup komputernya dan mengumpulkan sebungkus rokok, ponsel dan sebuah buku catatan kecil lalu ia
"Ini jalan satu-satunya ke tempat kejadian perkara. Kalau kita putar balik artinya kita nggak jadi ke sana," ujar Aidan geram."Iya, tapi ....""Nara, kamu sudah paham aturanku, kan?" Aidan menatap tajam pada Nara, membuat gadis itu menunduk lesu. Kemudian dia mengemudikan kembali mobilnya ke jalan raya. Hingga beberapa kilometer di depan, dia terpaksa menghentikan mobil karena ada dua mobil polisi yang melintang di tengah jalan. Terlihat dari kejauhan asap mengepul di udara."Tunggu, aku periksa dulu." Aidan melirik Nara. Wajah gadis itu tampak tegang menatap kepulan asap di udara. Namun, dia tidak peduli dengan reaksi Nara. Aidan keluar dari mobilnya dan menemui beberapa orang polisi yang sedang meminta mobil-mobil yang mulai berdatangan untuk berputar arah."Pak, ada apa, ya?" tanya Aidan pada salah seorang petugas polisi."Kecelakaan, Mas. Mohon putar balik, ya?" pinta pria berkumis tebal dengan ramah.Aidan mengeluarkan kartu pengenal dari balik mantel. Si petugas segera memberi