“Apakah kamu sudah mendapatkan mantra untuk kembali pulang?” tiba-tiba Nai bertanya kepadaku.
Aku dengan lantang menjawab belum mendapatkan. Bagaimana aku bisa mendapatkan? Bentuknya saja aku tidak mengerti. Sebenarnya, apakah dia berupa mantra dengan lukisan simbol, atau bahkan berupa benda yang menjadi peninggalan sejarah? Aku tidak tahu. Lebih tepatnya belum mengetahuinya.
“Ah, mungkin jawaban yang kita inginkan tidak ada dalam Kuil ini.” Nia ikut numpang bicara.
“Lalu, dimana lagi kita harus mencari?” Nai mengeluh, seperti tidak kuat menjalani hidup ini. Lebay.
Lebih baik, sekarang aku pasrah saja. Aku sudah mencari dan tidak menemukan, berarti sudah saatnya berserah diri kepada Tuhan. Apakah Tuhan akan mengabulkan? Nanti dulu, kita akan menantikan bersama apakah Tuhan akan mengijinkan aku pulang kembali pada Bumi.
Tuhan, ujian apa lagi sekarang yang harus aku tanggung? Apakah kurang berat ujian yang se
Sekitar lima jam perjalanan dengan moter, kami akhirnya sampai pada sebuah tempat, tempat paling eksotis menurutku selama beberapa hari di Kulstar ini. Bayangkan, rumah yang kami tempati saat ini, meskipun tidak terlalu besar, semua dindingnya berlapis emas, kuning mengkilap. Atapnya juga demikian, berbalut emas. Nampaknya bangunan ini hampir mirip dengan kelenteng orang Cina kebanyakan. Dominan dengan warna emas, tapi ini adalah emas asli, bukan pewarna yang mirip dengan emas.Sepertinya kami sudah tidak berada di areal Kuil Damsaqie lagi. Kami sudah sangat jauh terbang tadi pagi menjelang siang dengan moter. Sekarang waktu hampir petang, lampu-lampu rumah mulai otomatis menyala. Waw, menambah indah bangunan yang tadinya hanya emas, sekarang menjadi emas menyala.“Hai, anak-anak, ini adalah tempat terindah dalam hidupku. Tidak akan ada yang mengetahui tempat ini. Apalagi, kamera murahan buatan Dewan Keamanan tadi.” Kanisan berkata sambil tertawa lepas, sep
“Tuan, ada sinyal merah menyala disana!” kata salah satu anak buah Kalsti.Wajah Kalsti yang mulanya biasa-biasa saja, datar, sekarang berubah menjadi sangat antusias. Dia berdiri tegak di depan meja kerjanya. Sepintas, dia terlihat mengeluarkan sebuah remot kecil dari balik saku bajunya. Kemudian, dia mendekat kepada salah satu monitor besar yang belum dinyalakan. Segera dia menyalakan monitor itu, dan keluarlah gambar yang hampir sama dengan tangkapan monitor satu dan dua sebelumnya. Bedanya, monitor itu lebih besar dan lebih tajam gambarnya.“Mana titik merah yang kalian maksud?” tanya Kanisan tidak sabaran.“Pada titik kordinat 298-293 ribu kilo meter cahaya. Kalau kami melihat peta Kulstar, titik itu menunjukkan lokasi Kuil Damsaqie, Kuil yang sangat legendaris itu.” Jelas anak buah Kalsti sejelas-jelasnya.Terlihat disana, Kalsti mulai mengetikkan angka yang dimaksudkan anak buahnya. Dia, sangat cekatan mengetikka
Aku tidak banyak bercerita tentang keadaan Bumi kepada mereka bertiga. Aku hanya mengangkat satu cerita, itupun tidak lengkap, yang menunjukkan tentang betapa buruknya dewan kota Bumi.Adalah tentang bantuan yang salah sasaran. Atau, kita lebih memudahkan untuk belajar sebut saja dengan sebutan KKN. Korupsi, Kolusi, dan Nespotismi. Kebanyakan, yang mendapatkan bantuan adalah orang-orang terdekat Dewan Kota. Aku tidak menceritakan kebobrokan Bumi pada masa Orde Baru, terlalu malu hanya sekedar untuk mengingat.“Nah, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Nai ketika aku selesai bercerita.“Yah, bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi.” Jawab Nia.“Bukan itu yang aku maksudkan, goblok.” Kata Nai lagi dalam sekali, “Ini tentang perjalanan kita selanjutnya. Kasihan Safa, pasti sudah rindu pulang.”Kanisan urun pendapat, “Menurut sejarah yang aku pelajari, bahwa seseorang yang datang pada Ku
“Gawat, Nai, Nia, safa, markas kita diserang.” Suara Kanisan mengagetkan diriku yang masih berada dalam alam mimpi.Aku segera keluar ruangan kamar. Disana, di luar ruangan, aku menemukan Nai dan Nia dengan kondisi yang sama, bangun tidur.“Ada apa?” kata Nia sambil menguap.“Rumah kita diserang orang tidak dikenal.” Kanisan mengulangi penjelasan. “Cepat, ambil barang-barang kalian dan kita meninggalkan tempat ini bersama-sama.”Setelah Kanisan berkata begitu, aku langsung ingat dengan buku ajaibku yang aku taruh di meja, setelah aku membacanya tadi sebelum tidur. Cepat-cepat aku berlari menuju kamar kembali, dan menemui buku dalam keadaan normal abadi. Syukurlah. Ucapku dalam hati.Aku segera memasukkan buku ke dalam kantong transparan milikku. Dan aku kembali keluar setelah mengambil tas.“Kau sudah siap, Safa?” Kanisan langsung bertanya setelah aku keluar kamar.“Sud
Keadaan sepi, ruangan ini benar-benar sepi. Gelap, dengan penerangan lampu berwarna merah. Nai, kemana dia? Nia, juga tidak bersama denganku. Bagaimana dengan keadaan mereka? Apakah baik-baik saja? Bagaimana aku bisa sampai di tempat ini? Apa yang telah mereka lakukan kepadaku?Banyak pertanyaan yang aku tidak bisa menjawabnya. Tidak ada saat ini yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bagaimana dengan Kanisan? Apakah dia juga tertangkap?Belum sempat aku menjawab dengan mereka-reka apa yang terjadi, pintu ruangan terlihat ada yang membukanya. Suara pintu tua terdengar menggema pada seluruh ruangan kecil ini. Lampu menyala, terang, cerah, tidak merah lagi. Saat itu juga, aku melihat orang yang sama dengan orang yang keluar dari moter tadi, sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri.“Akhirnya kamu bangun juga, manusia asing.” Suara orang yang membuka pintu.Dia adalah orang yang berbadan kurus. Wajahnya berwibawa. Andai keadaannya berbeda
Aku terbangun entah pada pukul berapa. Ah, kenapa aku tidak melihat jam tanganku? Kan, aku membawa jam tangan dari bumi. Nah, benar, sekarang pukul sembilan malam. Tapi, Nai dan Nia masih belum sadar dari tidurnya. Rupanya, mereka berdua memang sangat lelah dan lemas. Saat-saat seperti inilah, rasa bersalahku kembali hadir menyelimuti. Tidak terasa, air mataku mengalir beberapa saat, bebas mengalir menuju tarikan gravitasi.Tidak lama aku menangis, dengan tidak mengeluarkan suara, akhirnya Nai dan Nia terbangun. Aku cepat-cepat menghapus air mata, sebelum mereka berdua mengetahui kelemahanku. Inilah kelemahanku satu-satunya, mudah merasa bersalah, tapi jarang menangis.“Kau sudah bangun?” tanya Nia yang mengerjap-ngerjapkan matanya.“Iya, baru saja bangun.” Jawabku lirih, dengan menunjukkan senyuman semu.Nampaknya memang tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan diri dari semua kejadian ini. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali
Gubrakk …Kratakk … Brukk … Krasakk …Pagi hari, entah benar atau tidak, aku terbangunkan oleh suara-suara tidak beraturan dari luar ruangan. Sepertinya sedang berlangsung penggusuran rumah secara massal, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Jakarta beberapa tahun silam, sangat mengagetkan. Atau, sedang terjadi perang dunia ketiga?Segera aku membangunkan Nai dan Nia yang masih terlelap dalam mimpinya, tidak merasa terganggu sama sekali oleh suara kerusuhan di luar ruangan.“Nai, Nia, bangun! Sudah pagi. Kalian dengar suara apa itu?” kataku sambil menggerak-gerakkan tubuh mereka berdua.“Hem…” hanya kata itu yang keluar dari bibir Nia.Nai sudah terbangun, mengusap matanya, dan bertanya kepadaku, “Suara apa itu?”“Entah, aku juga baru bangun, Nai.” Jawabku.Suara kegaduhan semakin terdengar nyaring, semakin mendekat. Getaran-getaran juga terasa
Perjalanan kami akhirnya menemukan sebuah titik akhir. Kanisan memberikan kabar bahwa setengah jam lagi kita akan sampai pada lokasi tujuan. Kanisan kembali mengemudikan moternya, tapi dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Kali ini, Kanisan mengemudikan moter dengan santai, 100km/jam.“Kita akan memasuki lokasi Hutan Perbatasan Kulstar.” Kata Kanisan kepada kami semua.Tidak ada yang membalas kata-katanya, kami sudah lelah dengan perjalanan yang begitu lama dan menegangkan. Apalagi Nai, dia kini terbaring di atas kursinya, nyaman sekali. Aku mengamati kanan-kiri, gelap, tidak ada pemandangan. Dan kini aku baru menyadari bahwa moter kami tidak pernah berpapasan dengan moter lain. Atau bahkan sangat jarang. Setengah jam memasuki lokasi yang dinamakan dengan Hutan Perbatasan oleh Kanisan, mataku merasakan ngantuk yang begitu dahsyatnya.“Kawan, ayolah nikmati perjalanan ini. Jangan sia-siakan waktu dan momen terindah ini. Kita tidak akan m