Share

2

Penulis: Lavender
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-05 17:49:41

Simpan maafmu agar kesalahanmu tidak terlihat. Kata-kata itu Leora camkan untuk Raja. Alih-alih harus banyak omong, ucapan tajamnya telah mewakili.

Leora tidak banyak berkutik. Ia hanya mengikuti keputusan yang di buat papinya. Bukan bermaksud durhaka. Pikirnya, sebagai seorang sulung, Leora hanya ingin menunjukkan sikap baik sebagai contoh adik-adiknya. Meski faktanya tidak demikian.

Sejak kecil, Leora selalu mendapatkan apa yang dirinya mau. Bukan tidak mungkin kesempatan berleha-leha bisa dirinya rasakan. Sayangnya, kekeraskepalaan yang maminya turunkan menepiskan segala pemikiran untuk bersantai.

Sejauh ini, Leora selalu berusaha mandiri. Tanpa melibatkan nama besar papinya atau keluarga besar Yudantha yang menaungi.

Pernah mendengar jargon the power of orang dalam—itu sangat Leora hindari eksistensinya. Selama bersekolah hingga mengenyam Pendidikan tingkat tinggi pun namanya selalu ia sembunyikan. Syukur-syukur papinya tidak marah. Pengaruh maminya sangat besar.

Pastinya banyak yang bertanya, kenapa akses sepenting itu bisa Leora singkirkan. Sederhana saja. Jika papinya sangat kekeuh untuk dirinya menyebutkan nama belakangnya maka maminya sebagai pawang untuk menghalau segala titah gila papinya. Nilailah bucin. Leora sampai seiri itu dengan kekuatan cinta kedua orang tuanya.

Alasan klasik lainnya ialah; kebebasan tidak bisa di beli dengan materi sebesar apapun nominalnya.

Kisah masa lalu menancap di relung Leora. Di mana maminya sangat kesakitan dalam bertahan. Hampir gila karena sebuah kenyataan. Dan sesayang itu seorang Barella Yudantha memertahankan kewarasan untuk Leora. Agar—katanya—putriku tidak boleh merasakan kerasnya hidup. Leora tergugu. Perkataan maminya tercurah arti: semakin dewasa seseorang, membuatnya belajar merelakan hal-hal yang sebatas angan.

Dari situ Leora mengerti, berharap saja tidak cukup tanpa iringan doa dan usaha.

Itu pun berlaku pada situasi yang saat ini dirinya alami. Lelaki itu Raja—Laraja Putra Anggoro. Perempuan mana pun akan bertekuk lutut di depannya. Leora tahu namun juga sesal bercokol di hatinya. Seandainya panjatan doa yang selalu dirinya rapalkan bisa sesuai dengan usahanya mungkin saja perjodohan ini takkan terjadi. Tapi, lagi-lagi ia berpikir, bukankah ini suatu jalan menuju kebaktian? Bukan bermaksud sok, Leora hanya tidak ingin menjadi durhaka. Toh selama ini, papinya selalu menuruti semua keinginannya.

“Kamu nggak perlu masak, nggak perlu nyiapin apapun di rumah ini. Nggak perlu nyapa aku juga. Kita masing-masing ketika di dalam rumah.”

Serumit itu cara pikir seorang Raja. Lelaki sempurna yang di detik pertama pertemuan menghipnotis Leora. Yang kejamnya dalam satu kali tarikan napas menancapkan belati tepat di dadanya. Darah Leora berdesir. Ubun-ubunnya panas.

“Oke.” Yang sialnya hanya jawaban itu meluncur dari bibir mungilnya.

Telaga bening matanya mengerjap begitu sepatu pantofel Raja beradu dengan lantai. Tubuh tegapnya menaiki tangga satu per satu.

“Leora …” Sengaja menjeda. Raja belum membalikkan tubuhnya. “Maaf.”

Oh, itu sesuatu sekali di pendengaran Leora. Lantas cepat tersadar, Leora membalas, “simpan saja maafmu. Setidaknya, ketika perasaan bersalah menaungi, jangan tunjukkan salahmu.”

***

Bukan tanpa alasan Leora membalas perkataan Raja sedikit sarkas.

Raja yang meminta maaf bukan suatu keajaiban melainkan hal aneh di pendengaran Leora. Pun seseorang yang meminta maaf memiliki arti bahwa telah benar-benar melakukan kesalahan. Leora tidak suka pengucapan maaf apapun bentuknya.

Entah Raja serius membuat kesalahan atau hanya perasaan tidak enaknya.

Raja terkenal sangat dingin.

Sudah sepatutnya menjadi dingin tanpa banyak kata. Itu membuang-buang tenaga. Lagi pula, Leora akan menjadi sangat asing di mata Raja demikian dengan dirinya yang tidak mengenal Raja—di dalam rumah mereka. Aneh, kan?

Pernikahan mereka memang seaneh itu. Terjadi karena perjodohan, pemenuhan janji masa lalu dan entah alasan apa yang harus Leora jabarkan. Ingin menolak. Leora sangat ingin melakukan itu. Tapi lidahnya kelu padahal tidak bertulang. Setidaknya menggeleng ia jadikan sebuah alternatif. Sayangnya tidak bisa semudah bayangannya.

Seakan sudah terdoktrin untuk dirinya patuh dan tunduk. Walaupun maminya berkata, “kalau nggak suka bisa di tolak. Mami sama papi nggak akan maksa.”

Bodohnya Leora malah tersenyum sangat lebar dan menjawab, “Aku nggak kepaksa. Pasti berat buat mami pernah besarin aku sampai sekarang ini. Kalau nggak sekarang, aku bakal berbakti ke mami kapan lagi?”

Kilasan-kilasan itu Leora rutukkan mala mini. Di dapur rumah Raja yang luas dan remang. Pintu yang menghubungkan langsung dengan taman belakang rumah terbuka lebar. Semilir angin memeluk tubuh Leora tanpa sadar netra seseorang yang memerhatikan.

Raja telan ludahnya kelat. Rasanya sulit sekali. Tidak biasanya seperti ini. Tapi memandang Leora memercikkan sebuncah emosi yang terpendam, kesakitan yang nyalak bagaikan api di matanya. Raja … sepatutnya benci dengan perempuan ini. Menantang permintaan papinya bukan malah menerimanya.

Karena siapa kekasihnya mati?

Karena siapa dirinya sakit?

Karena siapa dendam berkobar di hatinya?

Leora …

Satu nama itu Raja keramatkan dalam-dalam.

Hukum menuliskan: darah di balas dengan darah. Nyawa di balas dengan nyawa.

Seharusnya Raja mengambil nyawa Leora di hari itu juga. Bukan malah menikahinya.

Lagi-lagi Raja menggeram marah. Kesakitannya memuncak. Tidak ada cara lain. Leora harus menderita di tangannya. Harus mati sama seperti kekasihnya.

***

Namanya … tidak perlu kita sebutkan.

Hanya sebatas perempuan teman tidur yang akan Raja jadikan saluran sakitnya.

Belum sepenuhnya memasuki area kamar tamu, tubuhnya limbung ke belakang. Tanpa aba-aba Raja mengikatnya. Menjambak rambutnya untuk mendongak. Dan begitu beringas Raja tunggangi. Mengabaikan teriakan ketidaksiapan si perempuan, pikir Raja itulah gunanya pelacur. Untuk ia siksa. Untuk ia lampiaskan seluruh napsu bejatnya.

Siapa yang akan peduli jika seorang Raja sudah menggila. Bahkan ketika perempuan dalam kuasanya meninggal, tidak akan ada belas kasihan yang Raja tampakkan. Terpenting di sini, kesakitannya tersalurkan. Dendam kesumatnya memuncak.

Seiring dengan tusukannya yang mematikan, jambakan pada rambut merah si perempuan menggila. Bukan desah kenikmatan yang keluar melainkan rintihan sakit. Tapi konsekuensi sebagai wanita panggilan benar-benar sedang berjalan.

“Jalang tetaplah jalang.”

Si rambut merah takkan tersinggung karena itu profesinya.

“Pembunuh tetaplah pembunuh.”

Agaknya racauan si klien membuat rambut merah menciutkan nyalinya. Kedua tangannya menggapai apa saja yang bisa dirinya raih. Mulutnya menggeram. Tenggorokannya sakit. Yang lebih parah lagi, entah sejak kapan ada kain yang menyumpal di mulutnya. Sehingga menyulitkan dirinya berteriak.

Setidaknya, ia butuh menyalurkan teriakan guna meredam rasa sakit di intinya.

“Ini belum seberapa di banding dengan sebuah kematian. Menyiksa nggak akan bikin kamu mati. Tapi lihat! Penderitaan yang akan saya ciptakan. Kamu harus mati! Kamu harus mati!”

Tusukan Raja kian menggila. Satu kali tempur tidak akan membuatnya puas. Raja terus melakukannya tanpa merasakan lelah. Mengabaikan keringat yang mengucur deras, Raja terus menunggangi. Ketika si rambut merah lunglai, dengan bengis akan Raja paksa untuk berdiri. Tunggangannya mengerikan.

Esok … ranjang rumah sakit menambah satu pasien lagi karena Raja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Pernikahan yang Tak Sempurna    99

    Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.

  • Terjebak Pernikahan yang Tak Sempurna    98

    Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n

  • Terjebak Pernikahan yang Tak Sempurna    97

    Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m

  • Terjebak Pernikahan yang Tak Sempurna    96

    "Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak

  • Terjebak Pernikahan yang Tak Sempurna    95

    Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."

  • Terjebak Pernikahan yang Tak Sempurna    94

    Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status