Share

Kebencian

Akira berjalan dengan langkah gontai memasuki rumah. Dia masih begitu terpukul dengan kenyataan bahwa dirinya kini sedang mengandung. Seandainya dia tahu siapa yang telah menghamilinya, mungkin dia masih bisa berusaha meminta pertanggung jawaban. Tapi hal itu adalah pilihan yang tidak pernah dia miliki.

Kedatangan Akira tak lepas dari pengetahuan Sofia. Ibu itu merasa penasaran karena putrinya kembali ke rumah saat masih jam kerja.

“Kamu sudah pulang, Sayang?” tanya Sofia sontak mengalihkan perhatian Akira. Dia tampak gelagapan harus menghadapi ibunya dalam kondisi seperti itu.

“Iya, Ma. Akira pulang lebih cepat,” jawabnya singkat. Berharap sang ibu tidak menaruh kecurigaan apa pun. Dia harus berbohong dan mencari alasan karena tidak siap untuk memberitahu ibunya tentang apa yang sebenarnya ia alami.

“Tapi kenapa? Kamu sakit?” tanya Sofia sembari memegangi kedua pipi putrinya. Meneliti wajah Akira yang terlihat kusut.

“Hanya sedikit tidak enak badan, Ma. Tidak perlu khawatir. Atasanku memberikan izin sehingga aku bisa pulang lebih cepat,” jawab Akira sembari menurunkan tangan ibunya dan menggenggam seolah meyakinkan.

“Pasti karena kamu sering telat makan belakangan ini. Kalau begitu mama buatkan makanan kesukaan kamu ya,” tawar Sofia.

“Tidak perlu, Ma. Aku ingin beristirahat saja dulu,” ujar Akira sengaja menghindar. Dia pun berlalu ke kamarnya sesegera mungkin. Dengan alasan ingin beristirahat, maka Sofia tidak bisa mencegat.

Akira tidak ingin berhadapan terlalu lama dengan ibunya. Ia merasa terkadang Sofia seperti memiliki indera keenam yang bisa mengetahui apa yang sedang ia rasakan hanya dengan menatap ekspresi wajah. Akira tahu Sofia adalah satu-satunya orang yang begitu memahami dirinya selama ini.

Akira masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya dengan rapat. Dia benar-benar tidak ingin diganggu saat itu. Tas selempangnya ia lemparkan sembarangan.

Akira melangkahkan kaki ke dalam kamar mandi dengan baju yang masih melekat lengkap. Gadis itu menyalakan shower dan berdiri di bawah kucuran air yang jatuh. Seolah berharap kesejukan air itu akan membawa ketenangan pada dirinya yang sedang dilanda kekalutan.

Gadis itu menangis seorang diri meratapi nasib buruknya. Sesekali ia meraba area perutnya. Perkataan dokter bahwa dirinya sedang hamil kembali terngiang di telinga. Dia tidak siap menjadi seorang ibu di usia yang terbilang muda. Apalagi harus menanggung semua itu seorang diri tanpa laki-laki yang mendampingi.

Pikiran Akira terus berkecamuk. Wajah Sofia terasa menggantung di kelopak matanya. Bagaimana jika sang ibu sampai tahu tentang kenyataan pahit itu. Meski mungkin kebanyakan orang tua tidak bisa menolak seorang cucu, tapi tentu bukan cucu yang dilahirkan dengan cara seperti itu.

“Aku mengandung anak haram,” gumam Akira pada dirinya sendiri. Dia kemudian berpikir tentang masa depan anaknya nanti. Kehadirannya adalah sebuah aib. Orang-orang pasti akan mencelanya.

Akira merasa harus menyimpan rapat kehamilan itu sekalipun dari ibunya sendiri. Dia tidak ingin ibunya merasa sedih dan kecewa karena putrinya sudah gagal menjaga diri. Apalagi jika sampai para tetangga tahu, maka keluarga mereka akan menjadi bahan cemoohan. Akira tidak ingin menyusahkan sang ibu dengan hal itu.

Meski begitu dia sadar menyembunyikan kehamilan seperti menyembunyikan bangkai yang pada akhirnya akan tercium juga. Akira benar-benar dibuat pusing. Tidak hanya harus menghadapi ocehan masyarakat, kehadiran bayi itu juga akan menambah beban ekonomi keluarga yang harus ditanggungnya.

“Hanya laki-laki terkutuk yang bisa melakukan perbuatan sehina ini pada seorang perempuan. Aku tidak membenci anak ini. Tapi jika suatu saat aku tahu siapa ayahnya, aku tidak akan pernah memaafkan perbuatan yang sudah dia lakukan padaku,” ujar Akira sarat amarah. Percikan kebencian itu telah muncul meski belum diketahui siapa orang yang menjadi sasarannya.

Kejadian naas malam itu kembali berkelindan dalam ingatan Akira. Gadis itu mereka ulang kejadian saat dia berpisah dengan Clarissa di tengah jalan hingga ia diculik oleh sekelompok orang. Ia sempat disekap hingga kemudian laki-laki bertopeng itu datang dan menghancurkan segalanya. Laki-laki itu merenggut dengan paksa sesuatu yang begitu ia jaga.

Akira mulai berpikir bahwa kejadian malam itu pasti adalah sebuah kesengajaan yang sudah terencana. Bahkan laki-laki itu sengaja menutupi wajahnya agar Akira tidak mengetahui identitasnya apalagi membuat laporan. Semua seperti sudah direncanakan begitu matang.

Tapi kini benak Akira dihinggapi satu pertanyaan besar. Siapakah yang berada di balik semua itu dan apa tujuan orang itu sehingga merusak kehidupannya sedemikian rupa. Sebuah pertanyaan yang Akira sendiri tidak tahu ke mana atau pada siapa harus diutarakan agar mendapatkan jawaban.

Tubuh yang masih meratap itu sudah sepenuhnya basah. Semakin lama kucuran air bahkan membuatnya menggigil kedinginan. Akira kemudian menghentikan tindakannya karena hanya akan memperburuk kondisi kesehatan.

Gadis itu keluar setelah selesai membersihkan diri dan mengganti pakaian. Akira naik ke tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Hal yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya adalah Albert. Laki-laki itu sudah tahu bahwa dirinya sedang hamil. Entah bagaimana dia akan memiliki keberanian untuk menghadapi Albert setelah kejadian hari itu.

“Apa Pak Albert akan memecatku setelah dia mengetahui semua ini?” tanya Akira pada dirinya sendiri. Dia tidak bisa menerka apa yang akan terjadi selanjutnya terutama menyangkut nasib pekerjaan.

Akira berencana untuk mengambil libur kerja beberapa hari. Setidaknya sampai dia memiliki kekuatan untuk melangkah kembali dan menapaki kenyataan. Dia merasa butuh waktu menenangkan diri dan belum bisa fokus untuk melakukan pekerjaan.

Akira pun menghubungi Levin untuk memberitahukan hal itu. Dia ingat masih menyimpan nomor sekretaris itu di ponselnya. Akira membuat sebuah panggilan tertuju pada nomor Levin.

“Halo. Ada apa Akira?” tanya Levin setelah panggilan tersambung. Rupanya laki-laki itu masih menyimpan nomor Akira.

“Syukurlah kamu masih menyimpan nomorku. Begini, aku tidak sempat mengabarimu bahwa aku tidak kembali lagi ke kantor hari ini. Aku merasa tidak enak badan dan sepertinya butuh waktu untuk beristirahat selama beberapa hari. Jadi aku ingin mengajukan izin libur kerja mungkin sekitar tiga hari,” ujar Akira mengatakan keinginannya.

“Tapi aku bukan atasan di sini, Akira. Kamu bekerja pada Pak Albert. Seharusnya kamu mengajukan izin padanya dan bukan kepadaku.”

“Aku tahu itu. Tapi bolehkah jika aku minta tolong agar kamu yang menyampaikannya kepada Pak Albert?” pinta Akira.

Akira memilih menghubungi Levin karena memang tidak berani berbicara dengan Albert setelah apa yang baru saja terjadi. Dia merasa malu pada Albert. Di seberang sana, Levin juga cukup mengerti alasan sebenarnya yang membuat Akira tidak mau berbicara sendiri pada Albert.

“Aku mohon bantu aku kali ini,” ucap Akira memelas membuat Levin sulit untuk menolak.

“Baiklah. Nanti aku akan menyampaikannya pada Pak Albert. Tapi ingat, Akira, hanya untuk tiga hari,” jawab Levin menyanggupi.

“Iya. Aku berjanji akan kembali ke kantor setelah itu. Aku ucapkan terima kasih banyak atas bantuanmu,” ungkap Akira bahagia. Baginya Levin memang selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Akira bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya dia memiliki waktu untuk memulihkan kekalutannya untuk sementara.

“Siapa pun ayah dari anak ini, aku bersumpah bahwa aku tidak akan memaafkannya begitu saja. Dia sudah merusak masa depanku,” ungkap batin Akira penuh gemuruh seiring ketegarannya yang perlahan meluruh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status