Leticia tak henti memikirkan ucapan Ray. Benarkah dia sang arsitek yang dicarinya? Entahlah, wanita itu tak yakin. David mengatakan sudah berkali-kali memerintahkan asistennya menemui tuan Vanderson, tetapi tak kunjung berhasil memintanya menangani proyek karena orang itu angkuh dan arogan.
Berbeda dengan pria yang tinggal di depan apartemennya. Pria itu begitu ramah dan selalu lembut saat berbicara. Tak ada keangkuhan dan kearoganan yang terpancar dari matanya.
Apakah Leticia harus mempercayai pria itu? Bagaimana jika itu hanya tipu muslihatnya? Bagaimana jika dia kembali tertipu seperti yang Daniel lakukan dulu? Tidak. Leticia berpegang teguh pada keyakinan diri. Dia tak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kali.
Leticia bersiap-siap pergi ke k
Fico memberengut terheran, kenapa tuannya itu mengenal Leticia?"Dia mencarimu, dan kau memberitahuku untuk mengatakan sibuk pada siapapun yang mencarimu, Tuan Vanders," timpal Fico tanpa dosa.Ray menarik napas panjang dan mengembuskan kasar hingga tangannya mengepal. Sial! Dia tak pernah menduga ucapannya akan berdampak buruk pada Leticia. Lengkap sudah rasa berdosa yang bersemayam di hati Ray.Ray bergegas menghampiri Leticia di sudut sofa. Di bawah cahaya lampu strobo, Ray bisa melihat dengan jelas Leticia begitu tersiksa. Ray menarik tangan Alex yang sedang menahan tubuh Leticia dalam pemeriksaan Max."Selesaikan Jonny, Lex! Aku tak ingin dia membuka mata esok hari! Katakan pada paman Arthur tarik semua saham d
"Jika kau ragu cepat katakan sekarang." Suara Ray parau.Leticia menggeleng cepat. Tubuh Ray membeku saat mengartikan itu adalah penolakkan. Leticia melihat jelas perubahan raut wajah pria itu. Tak perlu berkata-kata untuk memberi tahu Ray bahwa Leticia sangat yakin. Wanita itu mundur satu langkah dari Ray.Ray semakin yakin bahwa Leticia ragu, tetapi pria itu tidak memaksakan hasratnya pada Leticia."Aku tidak ragu, aku menginginkanmu," ujar Leticia sambil menurunkan kedua tali gaun hitam itu.Leticia melucuti pakaiannya hingga menyisakan kain tipis yang menutupi tubuh bagian bawah. Ray menatap keindahan tubuh Leticia. Tubuh wanita itu lebih indah dari yang biasa dia lihat sebelumnya. Ray me
Leticia menggeleng sambil membuka mata. "Aku malu," jawab Leticia. Dia mengelus bulu-bulu halus di rahang pria itu.Ray memeluk Leticia lalu mencium pucuk kepalanya. "Istirahatlah, kau sangat lelah."Leticia mendongak menatap lekat wajah pria itu, tiba-tiba bening kristal menumpuk di kelopak matanya."Apa kau memperlakukan semua wanita seperti ini? Kenapa kau begitu perhatian?" tanya wanita itu dengan Lirih. Ray menggeleng tak mengatakan apa pun."Maaf ...." Leticia menyentuh pipi kiri Ray yang dia tampar tadi pagi."Sakit tidak?" tanya Leticia sambil menatap mata Ray yang menenangkan.
Leticia membuka mata melihat langit-langit putih dengan tatapan kosong. Kepalanya berdenyut kencang, tumpukan bening kristal seolah tertahan di kelopak matanya.Ray yang menyadari mata Leticia terbuka segera berdiri dan menghampirinya. Dia duduk di samping Leticia, membelai lembut pucuk kepala wanita itu, lalu menghapus air mata dengan ibu jarinya."Mana yang sakit?" tanya Ray lirih.Leticia bergeming, matanya seolah enggan berkedip. Raga yang terbaring lemah itu bagai tak bernyawa."Leticia ...." Ray menelungkupkan tangan di pipi Leticia.Air mata Leticia mengalir lebih banyak mendengar suara lembut Ray, tetapi mulutnya seolah terku
Belum sempat Leticia menjawab pertanyaan Max, ponsel Dokter itu berdering. Max berdecak kesal saat Alex menghubunginya agar segera kembali ke kediaman Marco. Akhirnya Max pergi dengan raut wajah tak mengenakan.Ray baru saja kembali dari dapur, membawa secangkir espresso dan secangkir coklat panas untuk Leticia. Mata Leticia masih begitu sembab karena terlalu lama menangis. Ray duduk di samping Leticia sambil menyodorkan minuman."Nona Leticia, sekarang katakan kenapa kamu mencariku?" tanya Ray dengan ekspresi serius."Ayahku memintamu untuk menangani proyek pembangunan hotel, resort, dan … entahlah aku lupa lagi. Apa Tuan Ray bersedia?" Leticia balik bertanya penuh harap.Ray menaikkan alis, terh
"Apa kamu akan minum obat kontrasepsi darurat? Semalam kita tak pakai pengaman. Bagaimana kalau kamu hamil?"Ray berkata sangat hati-hati, tak ingin menyinggung Leticia. Namun, Leticia mengartikan lain, ekspresi wajahnya berubah kaku. Dia sadar bahwa Ray telah memiliki wanita, apa pria itu takut Leticia akan meminta pertanggung jawaban jika dia hamil?Pandangan Leticia tertuju pada kalender yang terpasang di dinding di belakang tubuh Ray. Jadwal menstruasinya selalu teratur dan akan datang dalam dua minggu."Tenanglah, Tuan. Semalam aku yang memaksamu melakukan itu padamu, aku tahu diri. Aku tidak akan meminta pertanggung jawaban darimu jika aku hamil," kata Leticia tegas."Bukan begitu maksu
Ray tertegun, untuk kesekian kalinya dia kembali terguncang dengan penuturan Leticia. Ray menghela napas panjang mengendalikan diri, wanita di sampingnya ini benar-benar menghantam telak mental Ray sebagai laki-laki."Leticia …." Suara Ray lirih saat menyentuh bahu Leticia yang memunggunginya. Leticia bergeming, dia terisak pilu.Ray melepas sabuk pengaman lalu mendekatkan tubuhnya, dia meraih pinggang Leticia memeluknya dari belakang."Leticia, maaf … aku tak tahu kau sangat kesulitan," kata Ray.Leticia mengangguk menyeka air mata sebelum menjawab dengan suara bindeng. "Ya, aku memaafkanmu."Apa yang bisa dia lakukan
Keesokan harinya.Setelah selesai sarapan, Ray bersiap mengantar Leticia ke Bandara. Wajah Leticia tampak berseri-seri setelah mendapat perlakuan lembut dan dimanjakan oleh Ray.Sepanjang pagi, Ray tak henti-hentinya memeluk Leticia. Seolah tak rela membiarkan wanita itu pergi. Ingin sekali rasanya Ray membawa Leticia kemana pun dia pergi. Seperti saat ini, Ray masih saja tak melepaskan Leticia yang duduk di atas pangkuannya di atas sofa."Ray, ayo pergi. Aku akan terlambat tiba di Ragusa jika kamu terus menahanku," kata Leticia merajuk."Tetap menetap bersamaku, bisa tidak?" Ray menghidu leher Leticia. Menghirup dalam-dalam aroma parfume apel yang menyegarkan dari tubuh wanita itu.