Saat Ray pulang bekerja malam hari, dia memarkirkan Audy S8 hitam di pelataran. Dari awal masuk gerbang, Ray sudah melihat mobil BMW milik Ayres sudah terparkir di sana. Pria itu menjadi sedikit cemas kala mengingat Nikita pasti ikut bersama. Gegas Ray mempercepat langkahnya sambil menggusur koper ke dalam rumah. Ketika dia tak melihat Leticia ikut berkumpul di ruang keluarga, Ray menjadi semakin gelisah."Bu, Istriku mana?" tanya Ray pada Mila yang sedang berbincang dengan Ayres, Nikita, dan Alfonso. Chery tentu saja sudah tinggal bersama Alex, suamimya. Sedangkan Chico, dia lebih memilih tinggal di apartemennya sendiri. masing-masing. "Dia sedang beristirahat. Sejak sore sudah masuk kamar," jawab Mila dengan lembut. Saat Ray akan menaiki tangga, Ayres tiba-tiba berkata dengan nada sedikit merajuk, "Kak Ray, kamu tidak menyapaku?"Ray melirik Nikita yang duduk di samping Ayres. Hingga saat ini, tak ada yang tahu bahwa Ray pernah menjalin hubungan dengan Nikita. Terutama Ayres, dia
Ray menghela napas panjang, dia menutup lembaran dokumen dan beranjak dari kursi di balik meja kerja. Air wajah Ray begitu dingin saat menghadapi Nikita. Dia berjalan dan membuka pintu lebih lebar. "Nikita, jaga batasanmu. Aku masih menghormatimu karena kamu adalah istri adikku. Sekarang cepat pergi, jangan sampai keluargaku salah paham," ucap Ray sambil berdiri di ambang pintu. Nikita tersenyum maut sebelum menyahut, "Ray, kita bisa mengulang hubungan kita diam-diam. Aku tahu kamu masih mencintaiku, lagi pula kamu dan Leticia menikah belum ...."Ucapan Nikita terhenti saat Ray menarik paksa tangannya. Saat Ray akan mendorong keluar, Nikita memutar tubuh dan melingkarkan tangan di leher Ray dan memeluk dengan erat. Wanita itu bahkan dengan berani mencium leher Ray. "Jalang!" bentak Ray sambil mendorong bahu Nikita hingga wanita itu hampir terjatuh. Ray langsung menutup pintu setelah berhasil mendorong Nikita keluar."Sialan," desis Nikita, jengkel. Saat dia memutar badan akan kemba
Leticia Lauretta Ricardo baru saja pulang bekerja. Jemari lentiknya menari lincah di atas setir seirama dengan alunan musik yang dia dengar. Sementara, cacing-cacing dalam perut kian meronta. Ketika Leticia keluar dari sedan hitamnya, bibir tipis merah jambu wanita itu tersenyum manis. Kafe di hadapannya terlihat bergemerlapan. Sangat kontras dengan pekatnya malam. Dengan anggunnya Leticia melangkahkan kaki jenjangnya yang berbalut stiletto hitam sepuluh senti. Perpaduan celana jeans, kemeja putih, dan blazer merah muda membuat penampilan wanita itu tampak elegan. Semerbak wangi beef steak favoritnya seperti menyambut di pintu masuk. Suara orang berbicara, tertawa, dan berteriak memenuhi rongga pendengaran. Bersahutan dengan denting piring dan sendok yang beradu. Netra biru Leticia beredar ke seantero kafe yang hiruk pikuk. Asap rokok mengepul, baunya menyengat hidung. Wanita itu duduk di dekat jendela, meletakkan hermes birkin hitam di sampingn
Leticia memalingkan wajah dari tatapan Max. Seketika gambaran Daniel muncul dalam benak wanita itu, bagaimana mungkin dia tidak mengingat siapa yang telah menganiayanya begitu kejam."Aku tidak bisa mengingatnya, Max." Leticia menggigit bibir seraya menelan ludah."Di mana kau mengalaminya? Kita bisa melacak CCTV di sekitar kejadian," tuntut Max."Tidak perlu, biarkan saja," tolak Leticia, "Max, apa luka di dadaku sangat dalam?" Leticia menyentuh perban yang tersemat di dadanya. Hatinya begitu sakit kala mengingat kejadian semalam.Max mengangguk seraya menggaruk kepala yang tak gatal. "Lumayan dalam dan cukup panjang," terangnya.Hening. Leticia ragu untuk membuka mulut, dia belum lama mengenal Max. Namun, dia tak punya pilihan selain meminta bantuan pada pria berambut pirang itu. Leticia menarik napas membulatkan tekad."Max ... aku butuh bantuanmu." Leticia memecah keheningan.
Tak terasa langit yang cerah berubah gelap. Namun, daun pintu bercat putih itu tak kunjung terbuka. Sebuah Maybach S560 hitam memasuki pelataran. David, sang Ayah baru saja tiba. Bahagia. Leticia tersenyum senang saat melepas sarung tangan yang berlumuran tanah. Wanita itu bergegas menghampiri mobil. Menyambut sang Ayah yang lama tak bertemu.Ketika David baru saja turun, Leticia terkejut melihat perubahan drastis sang ayah. Pria berusia 56 tahun itu lebih kurus, garis-garis di keningnya terlihat. Namun, dia masih tampak gagah dengan setelan kerja berwarna hitam.Air wajah David merah padam melihat Leticia berdiri di hadapannya. Tubuh pria itu gemetaran karena amarah yang memuncak, napasnya seolah bergemuruh.Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Leticia."Masih ingat aku? Masih berani menampakkan wajahmu? Masih berani menginjakkan kaki di rumah ini? Di mana kau meletakkan rasa malu mu,
Vanderson Raymondo, Dokter Maxwel, dan Marco tengah bersiap-siap untuk pergi ke Catania. Namun, Alex datang tergopoh-gopoh. Dia memberitahu Raymond agar segera menemui Tuan Ayres, pemilik proyek yang sedang ditangani Ray di kota itu. Akhirnya, Ray meminta Max dan Marco menunggu di Bandara. Sementara dia dan Alex akan pergi ke Viale resto untuk menemui Ayres.Saat dalam perjalanan, Ray menyandarkan tubuh di kursi samping kemudi. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Rindu. Ya, dia merindukan kekasihnya, Nikita. Wanita pekerja keras dan lugu. Banyak hal yang disukai Ray darinya. Wanitanya itu adalah seorang desainer perhiasan yang namanya meroket karena karya-karya luar biasa.Nikita tidak seperti wanita lain yang memikirkan materi. Sejak awal Ray memperkenalkan dirinya hidup sebatang kara dan dibesarkan di panti asuhan. Bukan tak memiliki orang tua, tetapi Ray tidak mengetahui siapa ayahnya. Entah kemana ibunya pergi sejak dia berusia lima tahun.
Leticia membuka mata di pagi buta. Wanita itu berkecimpung di dapur menyiapkan sarapan untuk sang Ayah. Tangannya begitu lincah seolah koki yang profesional. Dia memang pandai memasak.Gerakan tangan Leticia terhenti saat ekor matanya melirik setumpuk keju dan tepung gandum di lemari sudut dapur. Dia berpikir. David hanya memberinya sedikit uang. Haruskah dia membawa stok makanan untuk di Catania. Ya. Dia harus berhemat, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menemui Tuan Vanderson Raymondo.Beruntung jika semua berjalan lancar. Jika tidak? Memikirkan itu membuat Leticia bergidik dan menggeleng-geleng, dia tak ingin jadi gelandangan di kota orang. Akhirnya, dia mengemas beberapa bungkus kopi, coklat, keju, susu, dan tepung. Ckck.Di rumah mewah dan harta yang berlimpah merupakan suatu ironis saat dia melakukan hal itu. Namun, dia amat menyadari ini adalah hukuman yang pantas karena keegoisan
"Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Leticia menggosok-gosok kaki kanan yang terkilir. Matanya terbelalak saat cairan hangat mengalir di dada. Luka jahitan kembali terbuka. Tangannya refleks menekan luka yang semakin perih seraya menggigit bibir menahan sakit. Sayangnya, darah terlanjur menembus kaus merah muda yang dia pakai.Leticia menunduk hingga tak menyadari sosok pria bertubuh tinggi tengah memerhatikannya di ambang pintu. Wanita itu mengerjap tersadar setelah beberapa detik terkejut. Sekilas dia melirik pria yang mengenakan celana bahan hitam dan kaus putih panjang. Gorden apartemen yang tertutup membuat dia tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.___Vanderson Raymondo baru saja terbangun. Kepalanya begitu berat hingga keningnya terasa berdenyut-denyut. Dia membuka mata melihat ke balkon. "Sudah siang? Berapa lama aku tidur? Jam berapa ini?" Ray bergumam. Tubuhnya seolah enggan untuk bangkit dari ranjang.Membuka