CATALEYA
Fai mengantarku pulang. Tadi aku menemaninya tidak hanya ke apartemen tapi juga studio. Setelahnya kami makan siang, mengunjungi kantor manajemen model milik Alan, jalan-jalan berkeliling Jakarta, hingga terasa hari sudah sore. Aku tidak tahu entah kenapa waktu begitu cepat berlalu saat bersama Fai. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja karena keasyikan."Baru pulang kamu?"
Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku memasuki rumah lalu melintas di ruang tengah. "Iya, Ma," jawabku pada Mama Nuri, ibu mertuaku. Mama Nuri geleng-geleng kepala sembari melirik jam dinding. Aku ikut melempar mata ke arah yang sama. Baru jam lima sore tapi respon Mama Nuri seakan aku pulang jam dua belas malam. "Dari mana saja?" tanyanya lagi menginterogasi dengan tatapan tegasnya. "Dari kantor Alan, Ma." "Ngapain sih pakai keluyuran kalau nggak ada tujuan yang jelas?" "Tadi Alan meminta aku mengantar fotografer yang baru sekalian memberitahu dia mengenai pekerjaanya." Aku menjawab apa adanya. "Hanya mengantar sampai sore begini? Seingat Mama kamu pergi sudah dari pagi. Kenapa bisa selama itu?"Cara Mama Nuri bicara begitu menguji kesabaranku. Tapi tenang, selama enam bulan menjadi istri Alan aku sudah biasa menghadapinya walau dulu awalnya cukup kaget.
"Iya, Ma, soalnya dia baru di Jakarta jadi belum tahu banyak tempat di sini. Kasihan kalau nyasar."“Kamu kan bukan tour guide. Ngapain dia minta ditemani sama kamu? Emangnya nggak ada orang lain?”
Aku tidak menanggapi karena kutahu sifat mertuaku. Jika dilawan akan semakin panjang.
Diamnya aku membuat Mama Nuri mendengkus lalu berhenti bertanya. Tapi bukan berarti berhenti menguji kadar kesabaranku. "Kalian menikah sudah enam bulan, apa masih belum ada tanda-tanda?" Pertanyaan itu lagi. Hampir setiap hari aku mendengarnya. Berulang-ulang seperti mantra dan semakin hari kian intens. "Belum, Ma, maaf." Air muka mertuaku itu seketika mengeruh mendengar jawaban jujurku. Aku tahu dia kecewa berat. Tapi inilah keadaannya. Aku masih belum bisa memberikan dia cucu. Dan mungkin tidak akan pernah bisa. "Jadi kapan kamu akan hamil? Masa kalah dari anak teman Mama! Anak teman Mama baru dua minggu nikah tapi sudah hamil." Aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Alhasil aku hanya bisa diam. Sampai Mama Nuri mendengkus kesal kemudian berlalu dari hadapanku. Kupandangi punggungnya yang menjauh lalu ikut masuk ke kamar. Membaringkan tubuh, pikiranku mengembara sembari mereka ulang adegan demi adegan hari ini saat menghabiskan waktu bersama Fai. Fai orangnya menyenangkan. Dia tidak banyak bicara tapi entah kenapa membuatku betah bersamanya. Menurutku lagi dia tidak terlalu gagah seperti aktor-aktor tampan Hollywood, tapi dia manis. Kadar ketampanannya begitu pas, tidak berlebihan. Aku lebih suka cowok-cowok yang manis dari pada laki-laki berahang tegas dan berwajah mafia yang hampir sekujur tubuhnya dihiasi tato. "Lagi ngelamunin apa, Sayang?" Suara Alan membuat lamunanku mengenai Fai buyar seketika. Aku tidak mendengar dia membuka pintu lalu masuk. Atau mungkin ini karena lamunanku yang terlalu larut? "Nggak ngelamunin apa-apa." Aku bangun dari berbaring lalu duduk menyandarkan punggung di headboard.Alan duduk di pinggir ranjang. Tangannya naik membelai kepalaku. Tatapannya lekat di wajahku.
"Kalo nggak ngelamunin apa-apa kenapa mukanya bete gitu?" "Siapa yang bete? Nggak ada kok." Aku pura-pura tersenyum walau hatiku masih kesal saat ingat sikap mertua tadi. "Jangan bohong, Leya. Aku sudah hafal apapun ekspresi kamu. Kalo lagi cemberut gini pasti ada sesuatu. Mama nanya soal hamil lagi?" bidik Alan tepat sasaran. Aku terpaksa mengaku. Selama ini kehidupanku bersama Alan begitu harmonis. Satu-satunya masalah adalah mertuaku yang terus saja bertanya kapan aku hamil seolah aku adalah mesin produksi anak. Alan menghela napas panjang lalu melepaskan dengan berat. "Sabar ya. Namanya juga orang tua. Mama pasti kepengen punya cucu kayak ibu-ibu lain." "Aku udah lebih dari sabar, Lan. Aku nggak bisa sabar lagi kalo tiap hari ditanyain. Lama-lama aku bosan. Aku nggak tau gimana cara menjelaskannya kalo kamu—" "Nggak usah dijelaskan," sahut Alan memutus kata-kataku. Aku terdiam. Begitu pun dengan Alan. Selama beberapa jenak kami saling bertatapan dalam ketermanguan sampai kalimat itu tercetus dari mulutku. "Lan, gimana kalo besok kita ke dokter lagi?" "Kita kan udah coba ke sana, tapi nggak ada hasilnya." "Kita coba lagi, Lan. Never give up. Kita nggak boleh menyerah. Aku yakin lama-lama pasti ada hasilnya," ucapku optimis. "Apa kamu lupa sudah berapa banyak dokter yang kita kunjungi dalam enam bulan ini?" "Aku nggak lupa, Lan. Ini baru enam bulan, belum enam tahun, kita masih punya banyak waktu. Kita juga bisa berobat ke luar ne—" "Leya, Leya, stop!"Segera saja Alan membungkam mulutku yang membuatku terdiam dengan paksa. Selalu begitu setiap kali kami berdebat. Dia tidak mau membahasnya. Dia selalu menghindar. Dia membiarkan semua ini menggantung yang membuatku menjadi jengkel. Apa dia tidak mengerti perasaanku?
"Tadi Fai gimana?" Seperti yang sudah kuduga Alan akan mengalihkan topik. Huh, lagu lama. "Dia baik. Tadi aku ke kantor kamu tapi kamu lagi ke luar." "Terus kamu ke mana lagi sama dia?" "Keliling Jakarta. Nggak berasa udah sore. Tadi aku juga ada photoshoot sama Fai di studio." "Kamu yang jadi modelnya?" Aku anggukkan kepala lalu menunjukkan fotoku tadi yang terdapat di ponsel. Alan tersenyum melihat foto-fotoku. "Istriku cantik banget kayak udah pro," pujinya. "Bukan aku yang pro, tapi dia yang hebat. Fai tahu banget angle yang pas untuk aku." "Couldn't agree more. Dia memang keren. Kamu suka sama dia?" "Ya sukalah. Pilihanku ternyata nggak salah." Aku tidak akan menyesal sudah memutuskan Fai menjadi pengganti fotografer lama kami.Alan tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Pilihan kamu memang nggak pernah salah, Leya …”
***
FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K