CATALEYA
Pagi ini aku jalani tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Seperti yang kudengar dari kebanyakan orang, tinggal di rumah mertua senangnya hanya sementara. Sisanya adalah penyiksaan batin.
Seperti pagi ini. Saat aku bantu-bantu menyiapkan sarapan, Mama Nuri kembali menyinggung masalah kehamilan. Awalnya memang membahas masalah lain. Mulai dari rutinitas sehari-hari sampai pada makanan. Lalu entah mengapa topik obrolan bergeser begitu saja.
Aku hanya diam mendengarkan saat mertuaku itu berceramah. Tapi entah mengapa apapun sikap yang kutunjukkan selalu terkesan salah di matanya. Aku diam salah, menjawab kata-katanya lebih salah lagi.
“Jangan cuma diam, Leya! Mama sudah capek-capek bicara dari tadi, apa kamu nggak dengar?”
“Dengar, Ma,” jawabku pelan.
“Jangan cuma dengar, tapi lakukan apa yang Mama katakan. Sekali-sekali kamu yang harus agresif. Jangan cuma menerima. Mama malu semua teman Mama nanya kapan kamu akan hamil. Masa kalah dari orang yang baru nikah dua minggu!”
“Tapi hamil dan punya anak bukan perlombaan, Ma, nggak ada yang kalah ataupun menang di sini,” kataku memberi pengertian.
“Mama nggak bilang begitu. Tapi harusnya kamu khawatir kenapa masih belum hamil di saat orang-orang sudah punya anak. Lagian apa kamu nggak malu? Tubuh kamu bagus begini masa kalah dari orang yan badannya kayak papan penggilasan tapi bisa punya anak!” oceh Mama Nuri sembari memandangiku dari puncak kepala sampai ujung kaki.
“Ma, ini semua nggak ada hubungannya sama bentuk tubuh. Bukan berarti orang yang badannya bagus maka akan mudah punya anak dan sebaliknya,” kataku memberi pengertian.
Orang-orang bilang bentuk tubuhku sangat bagus. Bahkan kadang aku tidak percaya diri karena ukuran dadaku yang membusung. Meski sudah disamarkan di balik baju yang longgar, tapi tonjolannya tetap tidak bisa disembunyikan. Begitu pun dengan bokongku yang bulat dan padat berisi.
“Dikasih tahu baik-baik malah ngelawan,” dumel Mama Nuri lalu berdecak.
Aku meninggalkannya sendiri lalu masuk ke kamar daripada terus berdebat yang tidak ada gunanya.
Alan sudah selesai mandi saat aku masuk. Dia melirikku melalui kaca.
“Pagi-pagi udah cemberut aja?” komentarnya melihat mukaku ditekuk.
Aku mendengkus. Gimana aku nggak cemberut kalau selalu aku yang dihakimi atas hal yang bukan menjadi kesalahanku?
Melihatku tidak menjawab pertanyaannya, Alan bergerak dari tempatnya lalu melangkah mendekatiku.
“Ada masalah apa lagi?” tanyanya dengan tangan melingkariku dari belakang.
“Tanya sana sama Mama kamu,” jawabku jengkel.
“Oh …” Alan mengesah pelan bersama pelukannya yang melonggar di tubuhku. “Sabar ya, namanya juga orang tua. Kamu kasih Mama pengertian dulu.”
“Selalu itu yang kamu katakan!” sentakku sambil menepis kuat tangan Alan dari perutku lalu memutar tubuh menghadap padanya hingga kami bertatapan.
Alan tampak kaget atas reaksi yang kutunjukkan. Namun sedetik kemudian mengubah ekspresinya. Alan mengulurkan tangannya membelai pipiku.
Sekali lagi kusingkirkan tangannya. Kali ini aku tidak akan mempan dengan apapun bujuk rayunya. Aku lelah terus-terusan disuruh bersabar menghadapi ibunya yang selalu menyalahkanku padahal anak kesayangannya yang salah.
“Aku nggak sanggup nyembunyiin ini semua dari Mama kamu, Lan. Mending kita jujur mengenai keadaan yang sesungguhnya.”
“Jangan, Leya, Mama nggak boleh tahu. Aku nggak ingin Mama syok.”
“Kalau nggak mau Mama kamu syok makanya kita harus berobat, Lan!” ucapku gregetan.
“Kita kan sudah coba tapi hasilnya sia-sia kan?!” Alan ikut-ikutan menaikkan intonasi suaranya mendengarku emosi.
"Tapi kita nggak boleh menyerah. Masih ada seribu satu jalan yang bisa kita tempuh."
"Nggak, nggak, aku nggak mau buang-buang waktu. aku capek. Aku lelah. Kamu nggak akan ngerti perasaan aku. Semua ini nggak hanya buang-buang waktu tapi membuat aku sangat tertekan. Tolong mengertilah," suara Alan melunak meredakan perdebatan kami."Kenapa harus tertekan? Nggak akan ada orang yang menghina atau menertawakan kamu. Dokter pasti akan menjaga rahasia pasiennya baik-baik. Mereka itu punya kode etik, Lan."
"Sudahlah, Leya. Aku nggak mau kita bertengkar hanya karena membahas masalah ini. Jangan tambah lagi beban pikiranku. Sekarang mendingan kamu ke apartemen Fai, antar sarapan buat dia."
"Apa?" Aku mendelik heran mendengar ide yang dicetuskan suamiku ini. Aku memang sudah hafal kebiasaannya yang selalu suka mengalihkan topik setiap kali kami membicarakan hal penting. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau pengalihannya begitu konyol.
"Dia kan masih baru di sini, pastinya dia butuh waktu untuk beradaptasi. Lagian selama dia di sini kita harus kasih servis yang bagus biar dia betah," jawab Alan menyampaikan argumennya.
"Aku pikir servis kita untuk dia sudah sangat bagus, Lan. Kita sudah kasih dia apartemen sama mobil. Masa sampai perkara makanan kita juga yang urus," kataku tidak sepemikiran dengan Alan.
"Ayolah, Leya, jangan membantah. Lakukan saja apa salahnya." Alan terus memaksaku.
"Jadi aku harus kasih sarapan dia apa?"
"Apapun yang enak. Kamu pasti tahu tempat makanan enak di sini. Atau kalo kamu aja yang bikin juga nggak apa-apa."
"Aku mau bikin apa?"
"Apa aja. Nasi goreng, mie goreng atau apalah yang kamu bisa."
"Rempong banget," kataku tidak setuju.
"Kalo gitu beli aja ya. Nanti setelah sarapan kamu langsung ke sana. Hari ini kamu nggak usah ngantor dulu."
"Maksudnya apa aku nggak boleh ngantor?" Sehari-hari kegiatanku adalah ikut bantu-bantu Alan di kantornya. Kami mengelola usaha manajemen berdua.
"Bukannya nggak boleh, tapi khusus hari ini kamu temenin Fai aja dulu di studio. Ini kan hari pertamanya, aku rasa dia pasti masih canggung."
"Apaan sih, Lan, pake ditemenin segala?" kataku memprotes. Bukannya tidak suka, tapi kemarin aku sudah menemani Fai seharian. Apa masih belum cukup juga?"
Fai itu sudah dewasa. Nggak perlu diajari juga dia pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Ada banyak kru di studio. Dia bisa bertanya atau meminta bantuan jika membutuhkan sesuatu. Jadi aku rasa sikap Alan terlalu berlebihan.
"Ayolah, Sayang, nggak usah banyak protes. Sekarang kita sarapan yuk." Alan mengajakku keluar dari kamar sebelum aku menjawab.Muka masam mertuaku adalah hal yang kutemui saat kami tiba di ruang makan yang membuat selera makanku lenyap seketika.
“Lan, kamu sarapan aja duluan,” ucapku pada Alan.
“Kamu gimana?”
“Aku mau langsung ke apartemen Fai sekalian beliin dia sarapan.”
Alan memberi persetujuan. “Nanti kalo apartemennya berantakan kamu bantu beres-beres sekalian.”
Aku mendelik. Aku ini pembantunya Fai apa?
Tapi karena ingin cepat pergi aku menjawab, “Ya.”
Aku langsung ngacir. Biar jadi urusannya nanti untuk menjelaskan pada mamanya aku ke mana.
***FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K