Saat membawa nampan berisi piring kosong dari kamar Nyonya Rose ke dapur, Kinan terpaksa menghentikan langkahnya sebab mendengar ribut-ribut di ruang tamu. Ia meletakkan nampan terlebih dahulu di atas lemari buffet, kemudian mendekat ke arah pintu penghubung ruang tengah dan ruang tamu.
"Kamu kok berani sama saya? Dasar pembantu. Kamu nggak tahu siapa saya?" Suara seorang wanita terdengar menggelegar."Maaf, Nona ... tadi Tuan Shaka sungguh berpesan kalau hari ini beliau tidak ingin diganggu sama siapa-siapa." Kinan mendengar suara Atun."Aku ini calon istrinya Shaka. Kamu jangan macem-macem!"Kinan sepertinya tidak bisa membiarkan wanita itu berteriak-teriak dan malah akan membangunkan Nyonya Rose yang sedang tidur siang. Ia segera masuk ke ruang tamu menghampiri Atun dan seorang wanita cantik dengan penampilan yang cukup glamor. Semua yang menempel pada tubuh rampingnya adalah keluaran dari brand-brand ternama yang Kinan yakin harganya pasti fantastis. Wanita itu pasti bukan orang sembarangan. Buktinya ia juga berani membuat keributan di kediaman Adiwiguna."Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kinan pada wanita yang terlihat sangat kesal itu."Aku mau ketemu Shaka. Kamu siapa?" Wanita itu menatap Kinan sinis. Ia memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki."Saya ...." Ucapan Kinan terhenti saat tiba-tiba sebuah tangan kokoh merangkul bahu dan memeluknya dari samping."Calon istriku." Shaka yang tiba-tiba saja sudah berada di ruangan itu membuat semua orang terkejut. Terutama Kinan yang dirangkul oleh Shaka. "Cindy, kenalin, ini tunanganku, Kinan."Wanita yang dipanggil dengan nama Cindy itu terbelalak. "C-calon istri?" Ia tampak syok mendengar ucapan Shaka.Shaka tersenyum miring. Ia mencengkeram bahu Kinan kuat-kuat saat gadis itu hendak memberontak. "Diam! Jangan bicara apa pun!" bisiknya dengan suara penuh penekanan."Kamu udah mau menikah? Nggak mungkin. Kamu pasti bohong karena mau menghindar dari aku, kan?" wanita itu seperti tidak percaya."Ngapain aku bohong. Aku memang mau nikah sebentar lagi."Perempuan bernama Cindy itu menggeleng. Wajahnya merah padam menahan kesal. Namun, ia tetap tidak percaya dengan pernyataan Shaka. "Sejak kapan kamu suka perempuan ... kaya gini?" Ia menatap Kinan sinis. Rasanya tidak mungkin selera Shaka terhadap perempuan berubah drastis seperti ini. Tipe perempuan yang Shaka sukai jelas seperti dirinya. Bukan perempuan sederhana yang jika dibandingkan dengan dirinya yang cantik dan glamour, tentu bagai bumi dan langit."Terserah apa katamu, Cin. Yang jelas aku ngomong apa adanya. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi, ya?" Shaka memberi isyarat pada Atun untuk membuka pintu agar Cindy segera keluar dari rumah itu."Kamu tega banget sama aku, Shaka," ucap Cindy geram. "Kamu nggak bisa membuang aku seenaknya ķaya gini!"Shaka mengedikkan bahu. Cindy salah satu dari wanita-wanita yang pernah dekat dengannya. Bahkan Shaka baru memutuskan hubungan dengan perempuan itu sekitar tiga hari yang lalu. Cindy yang tidak terima, mendatanginya ke kantor beberapa kali, dan sekarang malah berani mendatanginya ke rumah.Cindy memang bukan perempuan sembarangan. Ia juga putri seorang pengusah kaya raya di kota ini. Itulah kenapa ia berani mendatangi Shaka hinggan ke kediaman keluarga Adiwiguna."Mau gimana lagi, dari awal aku sudah bilang kalau hubungan kita nggak serius. Udah, ya? Aku ada urusan sama calon istriku." Shaka menarik lengan Kinan dengan paksa dan membawa gadis itu menaiki tangga."Lepaskan saya!" Sampai di lantai atas, Kinan segera menarik tangannya dari cengkeraman Shaka. Pemuda itu terkekeh."Terimakasih atas bantuanmu, Kinan," ucap Shaka dengan senyum mengejek, lalu melenggang masuk ke dalam kamarnya. Kinan mendesis sebal. Dasar orang aneh, gerutunya dalam hati. Ia jadi lupa kalau dirinya harus pergi ke swalayan untuk membeli keperluan pribadinya.Kinan bergegas mengambil tas selempang di kamarnya lalu berniat untuk memesan taksi online. Kini ia berdiri di depan pintu gerbang untuk menunggu taksi yang ia pesan. Beberapa saat menunggu, ia harus menyingkir ke tepian karena pintu gerbang dibuka oleh satpam. Mobil sedan hitam mewah milik Shaka bergerak keluar. Namun, saat melewatinya, mobil itu berhenti dan kaca depan perlahan dibuka."Mau ke mana?" Si pengemudi, Shaka, bertanya seraya melempar senyum jahil padanya."Menunggu taksi." Kinan menjawab datar."Iya, yang aku tanya, kamu mau ke mana? Gitu aja nggak mudeng."Kinan mendesis. Apa maunya si tuan muda brengsek ini sebenarnya. "Swalayan."Shaka membuka pintu mobil dan turun menghampiri Kinan, membuat gadis itu keheranan. "Ayo, aku antar.""Oh, terimakasih, Tuan. Tidak usah. Saya sudah pesan taksi. Ah, itu sudah datang." Kinan menunjuk mobil minivan warna putih yang baru saja muncul."Udah, cancel aja. Kamu ikut mobilku!""Mana bisa begitu. Saya nggak bisa cancel, taksinya sudah di sini," protes Kinan. Namun Shaka malah mendekati taksi dan menyuruh sopir pergi setelah memberikan beberapa lembar uang seratusan ribu."Tuan, kenapa main cancel begitu?" ujar Kinan kesal. Nada suaranya bahkan ikut meninggi.Bukannya merasa bersalah, Shaka justru meloloskan tawanya. "Udah, ayo masuk," perintahnya.Kinan menggeleng. Untuk apa ikut ke dalam mobil si tuan muda menjengkelkan itu. Lebih baik ia pesan taksi kembali. Tetapi, ia terkejut bukan main saat Shaka tiba-tiba merebut ponsel di tangannya, lalu menarik paksa tangannya, dan sedikit diseret masuk ke dalam mobil."Saya bisa berangkat sendiri, Tuan," erang Kinan."Cerewet banget. Tinggal duduk, diam, aku anter ke swalayan. Aku juga kebetulan mau ke sana, mau beli sesuatu." Shaka dengan santainya mengemudikan mobil meningglkan kediaman Adiwiguna.Kinan menghela napas dalam-dalam. Apa mau dikata, ia terpaksa menurut saja. Benar-benar orang ini, sudah menyebalkan, tukang memaksa pula. Ia teringat dengan perempuan bernama Cindy yang beberapa saat lalu datang. Kinan pikir, bodoh sekali Cindy mengejar-ngejar laki-laki macam Shaka. Apa yang ia cari dalam diri pemuda itu. Sudahlah playboy, seenaknya sendiri, dan menyebalkan."Pikir apa kamu?" Suara Shaka membuyarkan lamunan Kinan. "Kamu mikir mesum, ya?""Hah?" Bisa-bisanya Shaka mengucapkan kata-kata itu. Ia hanya melongo, bingung hendak menanggapi apa."Udah biasa memang. Perempuan kalau dekat-dekat aku, mereka suka mikir mesum.""Maksud Tuan Shaka apa? Saya nggak mikir mesum sama sekali, ya. Saya sedang berpikir kok ada orang semenyebalkan anda!""Dari segi mana menyebalkannya? Bukannya kamu yang lebih menyebalkan?"Kinan hendak menjawab, pasalnya, rasa kesalnya sudah memuncak ke ubun-ubun. Tetapi, ia cepat sadar dengan siapa dirinya sedang berbicara. Ia pun berusaha mengendalikan diri dengan menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan, agar emosinya mereda. Salah apa dirinya sampai-sampai harus berurusan dengan lelaki macam Shaka. Dan salah apa juga dirinya sampai-sampai Shaka selalu saja mengganggunya.Kinan merasa sangat risih sebab Shaka dari tadi mengikutinya ke mana-mana di dalam swalayan. Namun tentu saja ia hanya diam tanpa berani untuk memprotes. Yang jelas Kinan berpikir kalau si tuan muda menyebalkan ini hanya ingin membuatnya kesal. Padahal ia bilang tadi dirinya juga ingin berbelanja. Bohong sekali. Mana mungkin seorang Shaka Adiwiguna mau berbelanja sendiri membeli kebutuhannya. "Semuanya jadi lima ratus dua puluh lima ribu, Kak," ucap seorang kasir saat selesai memasukkan barang belanjaan Kinan ke dalam kantong plastik besar. Saat Kinan hendak membuka dompet, Shaka sudah mengulurkan kartu debitnya pada kasir. "Tuan, biar saya bayar sendiri," cegah Kinan."Tidak usah protes!" sahut Shaka ketus dan memaksa si kasir untuk memproses pembayaran dengan kartu debitnya. Kinan menghela napas dalam-dalam. Ia lagi-lagi diam saja, hingga keduanya pun berada di dalam mobil kembali. Namun, Kinan merasa kalau Shaka mengemudikan mobilnya ke arah yang salah. Ini bukan jalan menuju ke
"Anak itu ...." Nyonya Rose memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Tentu saja Kinan panik. Ia terpaksa menceritakan tentang perbuatan Shaka padanya. Sebenarnya ia tidak berniat menceritakannya. Ia hanya mengatakan ingin mengundurkan diri saja dengan alasan yang dibuat-buat. Tetapi, Nyonya Rose terus mencecarnya. Karena wanita itu sangat yakin, kalau alasan Kinan mengundurkan diri pasti ada hubungannya dengan Shaka. "Nyonya, saya telepon dokter, ya?" ujar Kinan. Namun, Nyonya Rose menahan tangannya hingga ia urung meninggalkan kamar. Namun, keadaan Nyonya Rose bertambah parah. Wanita itu pingsan. Kinan yang panik pontang-panting mencari supir dan satpam untuk membantunya membawa wanita itu ke rumah sakit. Nyonya Rose dibawa ke rumah sakit, dan segera ditangani oleh dokter. Sementara Kinan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter mengabari kalau Nyonya Rose bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Ia bahkan tidak sempat memberitahu Shaka. Lagi pula, ia tidak tahu nomer ponsel pemu
Kinan benar-benar dalam dilema besar. Jika ia menolak permintaan Nyonya Rose, ia takut kesehatan wanita itu akan memburuk. Namun, apa iya dirinya harus menuruti permintaan majikannya itu. Menikah dengan si tuan muda brengsek. Astaga, hal itu bahkan tidak pernah terpikir olehnya sama sekali. Bahkan jika makhluk bernama Shaka itu adalah lelaki terakhir di dunia ini, lebih baik ia menjadi perawan tua. "Kamu wanita yang paling tepat untuk Shaka. Anak itu butuh pendamping yang baik agar bisa membimbingnya. Hidup anak itu kacau sekali. Perusahaan Adiwiguna akan jatuh kalau kelakuan Shaka masih seenaknya saja seperti itu." Begitu yang diucapkan Nyonya Rose saat Kinan mencoba bernegosiasi untuk menolak permintaannya. "Kamu tidak punya kekasih, kan?" Kinan menggeleng. Meskipun tidak punya kekasih, tapi ia juga tidak mau punya hubungan dengan pria macam Shaka. Ya Tuhan, bagaimana nasibnya jika ia benar-benar harus menikah dengan si menyebalkan itu? Kinan bergidik ngeri. "Nah, sempurna. Angga
Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat cantik dan elegan itu memasuki kediaman Adiwiguna dengan wajah masam. Ia membuka kacamata hitam brandednya saat berpapasan dengan Atun. "Selamat datang, Nyonya Rima," sapa gadis itu seraya membungkukkan badan memberi hormat pada wanita yang dipanggil dengan nama Rima itu. Ia adalah ibunda Shaka. Datang dari Surabaya untuk menemui mamanya, Nyonya Rose. "Nyonya Besar ada di kamarnya?" tanya Rima pada Atun. "Iya, Nyonya. Silahkan." Rima mengangguk dan melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Saat hendak masuk ke kamar Nyonya Rose, ia berpapasan dengan seorang gadis mudq yang membawa nampan berisi piring kotor. Dia menatap penuh selidik pada Kinan. Bahkan dia tidak membalas sama sekali senyuman gadis itu."Ma, apa-apaan sih kabar yang mama kasih tahu ke aku? Mama serius?" todongnya pada wanita tua yang sedang berkutat dengan buku. "Rima, baru datang bukannya tanya kabar mama." Nyonya Rose menggeleng pelan. Putrinya itu tidak berbeda jauh d
Ketegangan antara Nyonya Rose dan Rima terus terjadi. Rima terpaksa harus menginap beberapa hari. Ia tidak rela putra semata wayangnya menikah dengan perempuan yang tidak sederajat dengan keluarganya. Namun, saat Rima tetap bersikeras untuk membatalkan pernikahan, Nyonya Rose jatuh pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit lagi. "Ma, udah lah, ikuti saja kemauan Oma," bujuk Shaka saat menunggui Nyonya Rose. Ia merasa, kesehatan neneknya benar-benar tergantung dari pernikahannya dan Kinan. "Gadis itu sudah mempengaruhi Oma kamu." kesal Rima."Ya, apa pun itu, kesehatan Oma lebih penting, kan?" "Tapi, kenapa harus mengorbankan kamu? Mama tidak bisa menerima!"Shaka mengedikkan bahu. Sebenarnya, pernikahan itu hanya sekedar formalitas agar Nyonya Rose bahagia. Tentang kehidupan pernikahan yang akan ia jalani nantinya dengan Kinan, mereka sudah menyetujui adanya perjanjian, untuk tidak mengganggu urusan masing-masing. "Mama nggak rela kamu menikah dengan gadis yang tidak jelas asal u
"Mulai sekarang kalian satu kamar!""Mulai sekarang Kinan tidak boleh memanggil Shaka dengan sebutan Tuan. Panggil dengan sebutan Mas Shaka.""Mulai sekarang, kalian adalah suami istri, jadi bersikaplah seperti layaknya dua orang yang sudah menikah." Begitulah titah-titah Nyonya Rose setelah Kinan resmi menikah dengan Shaka. Dan malam itu adalah malam pertama Kinan pindah ke kamar Shaka. Awalnya, ia cukup tegang dan khawatir karena takut pria yang sudah berstatus resmi sebagai suaminya itu akan berbuat yang tidak-tidak padanya. Namun, Kinan merasa lega, karena tanpa sepengetahuan Nyonya Rose, Shaka pergi entah ke mana malam itu. Begitu lebih baik, pikir Kinan. Ia akan mengatur tempat tidurnya sendiri di kamar itu. Untungnya, kamar Shaka begitu luas dan ia bisa punya tempat sendiri, meskipun tidak jauh dari ranjang milik pemuda itu. Kinan anggap, Shaka hanya seseorang yang berbagi kamar dengannya, namun tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Setelah selesai berberes, Kinan me
"Kinan, kenapa wajahmu murung begitu?" tanya Nyonya Rose saat Kinan mengantar makan siang untuk wanita itu. Kinan sebenarnya ingin meminta untuk kembali menempati kamarnya yang dulu, tetapi dia masih ragu-ragu."Nyonya, sebenarnya saya ingin membicarakan sesuatu," ucap Kinan hati-hati."Kenapa kamu masih memanggilku Nyonya, Kinan? Panggil Oma mulai sekarang, ya?""Oh, i-iya, Oma." Rasanya cukup aneh memanggil wanita itu dengan sebutan Oma. Pasalnya, Kinan merasa dirinya masih bekerja pada Nyonya Rose. Meskipun statusnya kini adalah istri Shaka. Dan Nyonya Rose pun tidak keberatan saat Kinan mengatakan kalau dirinya akan tetap merawatnya seperti biasa. Wanita itu justru semakin menyukainya. Nyonya Rose tersenyum lembut. "Kamu mau membicarakan apa?" "Mmm, s-sebenarnya, saya mau meminta untuk menempati kamar saya yang dulu, Oma."Kening Nyonya Rose mengerut. "Maksudmu, kamu dan Shaka mau pindah ke kamar itu?" "Bukan, Oma. Hanya saya sendiri.""Maksudmu, kamu mau menempati kamar itu se
Seharian Kinan merasa gelisah karena memikirkan nanti malam dia harus tidur satu ranjang dengan Shaka. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya. Bahkan dulu dengan mantan kekasihnya, Kinan tidak pernah melakukan apa pun yang menjurus ke sana. Hanya sebatas pelukan saja. Namun kali ini dia harus siap dengan hal itu. "Mbak Kinan gelisah banget," ucap Atun yang keheranan sedari tadi Kinan tampak cemas. Duduk, berdiri, membantunnya memotong sayuran, lalu mondar-mandir. "Oh, nggak papa, Tun." Kinan berusaha mengulas senyum untuk menutupi kegelisahan hatinya. Dia tidak bisa seharian gelisah seperti ini. Mungkin sebaiknya dia berjalan-jalan keluar untuk sekedar mengalihkan pikirannya. Akhirnya, dia meminta izin pada Nyonya Rose untuk keluar rumah. Karena tidak punya banyak teman akrab untuk bisa diajak jalan-jalan, akhirnya Kinan memutuskan untuk menikmati suasana city walk untuk sekedar menghirup udara segar sambil minum kopi dan makan camilan, serta duduk-duduk di kursi taman dan memperha