Untuk sesaat, suasana hening karena Nero dan Patra masih terlalu syok mendengar suara Nerisa.Sampai Nerisa yang merasa tidak mendapat jawaban pun berteriak lagi. "Patra, kau mendengarku kan? Kami sedang melarikan diri dengan motor dan ada 2 mobil yang mengejar kami! Tolong kami! Beritahukan Nero untuk menolong kami!" teriak Nerisa lagi. Seketika Nero dan Patra pun langsung panik. Nero langsung menyambar ponsel Patra dan berbicara dengan Nerisa. "Nerisa! Nerisa! Kau benar Nerisa kan? Kau benar Nerisa kan?""Nero! Kau Nero kan? Nero ...." Nerisa langsung menangis senang dan haru. "Aku Nerisa! Aku dijebak oleh Brata dan disekap di hotel murahan! Dia mencoba melecehkanku tapi aku menusuk alat vitalnya dengan pecahan kaca! Aku tidak tahu bagaimana keadaannya tapi sekarang 2 mobil anak buahnya sedang mengejar kami dan terus berusaha menabrak kami!""Di mana kau sekarang? Katakan di mana posisimu? Zen!" Nero makin panik dan langsung berteriak memanggil Zen. "Aku ... Patrick, di mana ki
Cintya terus termenung sendirian di kamarnya setelah Patra dan pelayan keluar dari kamarnya. Mereka meninggalkan makanan di meja Cintya namun Cintya sama sekali tidak berminat untuk menyentuhnya. Cintya malah tertawa pelan di posisinya. "Aku sudah mendapatkan karmaku? Memangnya apa salahku? Apa aku orang yang berdosa?""Aku hanya melakukan apa yang memang seharusnya aku lakukan! Bukankah dunia ini memang keras? Untuk bertahan hidup di dunia yang kejam ini, tentu saja kau harus menjadi kuat! Dan aku belajar untuk menjadi kuat karena aku tau tidak akan ada yang bisa melindungiku selain diriku sendiri! Tidak ada juga yang bisa melindungi anak-anakku selain aku, ibunya!""Lalu di mana letak kesalahanku? Mengapa semua orang terus mengungkit tentang apa yang sudah aku lakukan seolah aku sudah melakukan dosa besar?""Apa kalian semua orang suci, hah? Apa kalian semua tidak pernah melakukan dosa? Dasar munafik! Dasar munafik semuanya! Kalian menuduh orang lain hanya agar kalian terlihat ben
"Kau tidak boleh menghina orang miskin karena orang miskin pun tetap manusia. Mereka punya hati bahkan hatinya lebih bersih dan lebih tulus daripada kita.""Dan ingatlah, suatu hari nanti, mungkin akan tiba saatnya di mana kita akan bergantung pada mereka.""Ya, suatu hari nanti. Mungkin saja orang yang saat ini kau hina dengan kejam, besok akan menjadi orang yang sangat berjasa bagimu."Ucapan Hadi mendadak muncul bagaikan kilatan petir di depan wajah Nerisa saat ia bertatapan dengan Patrick. "Aku memang orang miskin tapi aku masih punya hati nurani! Jadi naiklah sebelum aku berubah pikiran!"Detik itu juga tangisan Nerisa meledak. Antara senang, malu, dan sedih sekaligus. Perasaannya campur aduk namun ia memilih mengangguk dan langsung meraih tangan Patrick. Dengan cepat Patrick membantu Nerisa naik ke motor dan memboncengnya. Patrick pun melajukan motornya begitu cepat, namun sialnya para anak buah ada yang mengejar mereka dengan mobil. "Sial! Sebenarnya apa yang terjadi, Neris
"Besok aku baru akan kembali, kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi aku, Ayah!""Ayah tahu kau tidak bisa cuti terlalu lama, jangan pikirkan Ayah!""Hmm, baiklah, tidurlah lebih cepat!""Ayah tahu. Sudah Ayah tutup dulu teleponnya!"Patrick menunggu ayahnya menutup teleponnya sebelum ia sendiri menutup teleponnya. "Ah, sebenarnya aku juga tidak tega meninggalkan Ayah. Tapi untung saja keluarga Tante Una dan teman Kak Axel tidak keberatan menjaganya. Lagipula menurut Kak Patra, situasi sudah lebih aman untuk mereka karena sekarang Bu Cintya sudah bingung dengan urusannya sendiri.""Ck, aku masih tidak menyangka semuanya seperti ini. Wanita itu memang mengerikan!"Patrick terus bergumam sendiri dan bergidik saat mengingat cerita Patra. Patrick pun masih berpamitan dengan teman-temannya di depan sebuah cafe tempat mereka berkumpul saat seorang wanita dengan penampilan berantakan mendadak berlari kencang ke arah mereka."Patrick, menyingkir! Itu pasti orang gila!" pekik salah seorang t
Cintya terus bergerak gelisah dalam tidurnya karena lagi-lagi ia bertemu dengan Brata yang sedang berusaha menyakiti Nero dan Nerisa. Dan lagi-lagi Cintya hanya bisa berdiri mematung seolah terikat di posisinya sampai ia tidak bisa menolong anak-anaknya. Cintya terus berteriak frustasi dan ia sangat tersiksa dengan perasaan ini. Dengan sekuat tenaga, Cintya pun berteriak dan melawan Brata sampai ia berkeringat dalam tidurnya. Sampai tiba-tiba sekelibat bayangan muncul di depan matanya yang masih tertutup dan secara mengejutkan, Cintya pun membuka kedua matanya.Patra sempat tersentak kaget melihat Cintya menatapnya tajam, apalagi saat Cintya menggenggam erat tangan Patra. "Eh, Bu Cintya ... itu ...," kata Patra gugup. Namun, Cintya sama sekali tidak menanggapinya karena saat ini ia seolah melihat Brata di hadapannya. "Mati kau, Brata!" pekik Cintya sebelum ia bangkit dan menyerang Patra. "Aarrghh!" Patra pun langsung berteriak kencang saat mendadak Cintya mencekik lehernya. "
"Kami pergi dulu, Nero, Patra!" Juan dan Axel melambaikan tangannya sebelum mereka keluar dari apartemen dan berangkat ke kantor. Sedangkan Nero dan Patra juga mengantar mereka sampai ke pintu dan memandangi pintu apartemen yang sudah tertutup sebelum Nero memeluk Patra dari samping. "Jadi sekarang kita sudah berdua saja, Sayang." Nero menatap Patra dengan gemas. "Hmm, lalu kenapa kalau kita sudah berdua saja? Bukankah setiap hari kita juga berdua bahkan tidur berdua?"Nero tertawa pelan dan seketika terdiam. "Kau benar, Sayang. Beberapa waktu ini kita selalu bersama, bahkan kita melewatkan banyak waktu berdua saja dari pagi sampai malam. Tapi entah mengapa rasanya belum cukup untukku, Patra."Nero pun menatap Patra lekat-lekat dan melepaskan pelukannya lalu berdiri berhadapan dengan Patra. "Aku terus merasa kurang, Patra. Bersamamu tidak akan pernah cukup untukku. Kita berpisah terlalu lama, Patra ...." Nero menangkup kedua tangan Patra dan membawanya ke bibirnya lalu menciumnya