“Apa dia tidur?”
Pintu berwarna cokelat gelap itu terbuka lebar, memperlihatkan sosok pria bertubuh jangkung yang bersedekap bersandar di daun pintu. Tatapannya masih tertuju pada satu point di mana seorang pria lain tengah tertidur pulas di atas ranjang kamar pribadinya sendiri.
“Gue maksa dia tidur. Morgan bener-bener butuh waktu tidur beberapa menit.” Reynald membereskan peralatan dokternya ke dalam tas. Sebuah keberuntungan bahwa dirinya tidak pernah absen membawa peralatan dokter bahkan sewaktu memberikan vitamin untuk sahabatnya. “Gue masih harus tau berapa banyak obat tidur, kopi, dan rokok yang dia konsumsi selama ini.”
Reynald menutup pintu, membiarkan Morgan terlelap setelah mengkonsumsi suplemen darinya. Reynald tahu betul yang Morgan perlukan adalah istirahat secara alami, dan bukan hal yang mudah dilakukan oleh Reynald untuk memaksa Morgan istirahat di hari yang masih pagi, terlebih Morgan m
Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tubuhnya segera bangun tanpa diperintah, turun dari ranjang dan mengambil kunci mobil yang terletak sembarangan di atas meja.“Argh! Sial!” keluhnya saat tiba-tiba pandangannya terganggu dan kepalanya berputar. Morgan harus menyangga tubuhnya di sisi tembok jika tidak ingin tubuhnya merosot. Kondisinya yang sudah buruk semakin diperburuk dengan kekalutan yang tampak jelas di wajahnya.Reynald benar, Morgan-lah yang mengalami kekhawatiran lebih besar dibandingkan mamanya sendiri. Sebuah kemustahilan mengingat perilaku Morgan selama ini terhadap Bianca dan kini justru dirinya-lah yang tersiksa oleh perilakunya sendiri. Karma, huh?Morgan tidak tahu apakah karma sedang menjalankan tugasnya saat ini. Yang jelas, ini pertama kalinya Morgan merasakan suatu kekhawatiran menyesakkan yang menyusup hingga ke paru-parunya terlebih karena seorang gadis yang tidak pernah terpikir akan berpe
“Apa yang kamu lakukan di Jakarta pagi-pagi?”Sekaleng cola tersaji secara kasar di hadapan pria yang tengah membuka bungkus rokoknya tanpa perlu menjawab pertanyaan gadis mungil di hadapannya.Sementara si gadis mendengus dan langsung membuka jendela flat-nya lebar-lebar sebelum tercemar oleh asap rokok dari pria yang sangat tidak beruntung menjadi kakak kandungnya.“Ada urusan.” jawab si pria dan meneguk cola di hadapannya.“Kalau maksud kamu urusan untuk minta uang adikmu, maka kamu nggak akan dapat sepeserpun.”“Tenang, dek. Mulai hari ini aku nggak akan minta uangmu buat beli minumanku lagi.” Si pria tertawa seolah gadis di sebelahnya sedang melucu. “Lagian kupikir wanita tua itu belum ngirim uang bulan ini. Apa warungnya udah bangkrut?”“Jaga bicaramu, gila!”“Apa kamu juga diajarin mengumpat sama wanita tua itu? Menyedihkan!&rdq
“Kak Morgan! Bangun!”Bianca masih mengguncangkan bahu Morgan berharap pria itu akan membuka matanya yang tertutup rapat. Tidak berguna, Bianca beralih membangunkan pria itu dengan cara menepuk pelan pipi yang terasa hangat di tangan Bianca.Bianca mengedarkan pandangannya, berharap ada seseorang yang bisa membantunya untuk membawa tubuh lemah Morgan ke dalam mobil. Namun sayangnya kawasan pemakaman itu sangat sepi dan tidak ada seorangpun yang melintas.“Ya Tuhan!” Bianca menggumam gusar. Ia menggigit bibirnya kuat, merasakan kecemasan yang memenuhi rongga dadanya. Seharusnya Bianca sadar dari awal jika Morgan bukan sekedar tidak enak badan seperti yang pria itu katakan.Drrttt drrtt!Bianca merasakan ada getaran samar di kulitnya. Ia-pun segera memastikan dan menemukan getaran itu berasal dari saku celana Morgan. Meski awalnya ragu, pada akhirnya Bianca mengambil ponsel yang menyebabkan getaran itu d
Morgan sontak terbangun dari tidur panjangnya. Dahinya dipenuhi oleh peluh dan napasnya tersengal seolah ia baru menyelesaikan lari marathon.Mimpi itu benar-benar jelas. Suara merdu, bisikan angin, dan cahaya menyilaukan itu, Morgan seolah mengalami itu di dunia nyata. Dan diantara semua itu, yang paling diingat Morgan adalah saat ia menyadari suatu hal penting yang tidak perlu diragukan lagi.Rasa cintanya, terhadap Bianca.Mencari sesuatu, Morgan mengedarkan pandangannya diseluruh penjuru kamarnya. Tidak ada tanda-tanda Bianca berada di sana, ataupun benda milik Bianca yang menandakan Bianca masih di tempat yang sama dengannya.“Bianca!”Morgan menyingkap selimutnya, menarik selang infuse yang menancap di punggung tangannya dengan kasar, sedikitpun tidak perduli dengan luka dan tetesan darah yang ditimbulkan olehnya. Yang ada di pikirannya hanyalah satu. Bianca. Jangan sampai Bianca pergi sebelum Morgan mengung
“Kamu bisa ngerasain, kan?” Bianca mengangguk pelan. “Aku mau detakan gila ini masih bisa kamu rasakan di jantung kamu juga. Karenaku …”Bianca lantas mengangguk, tidak mampu mengeluarkan suara dari tenggorokannya. Semua terlalu tiba-tiba, tapi sangat melegakan hingga rasanya Bianca ingin mengingat hari ini sebagai hari paling indah untuknya.Morgan menarik Bianca dalam dekapannya. Erat, seolah tidak ingin Bianca menjauh satu jengkalpun darinya. Mengetahui Bianca masih menyimpan perasaan cinta untuknya, Morgan tidak tahu hal apa lagi yang membuatnya bisa sebahagia ini. Bianca membalas tidak kalah eratnya. Membuktikan bahwa ia menginginkan hal ini sejak lama. Mendapati Morgan membalas cintanya.“Makasih untuk tetap cinta sama pria bodoh sepertiku.”Morgan melepas pelukannya, beralih menarik tengkuk Bianca untuk menyatukan kening mereka. Saling berpandangan dalam jarak dekat, tidak peduli den
Morgan bergerak kecil sebelum matanya terbuka untuk bangun. Diliriknya jendela besar di sisi kiri, memperlihatkan langit yang sudah menggelap. Jam digital di meja nakasnya menunjukkan angka 19.02.Morgan mendudukkan tubuhnya. Tubuhnya sudah luar biasa baik, peningnya tak lagi tersisa, dan tenaganya terasa pulih setelah melewati masa penuh haru saat ia mengungkapkan perasaannya terhadap Bianca dan meluruhkan semuanya dengan tangisan bersama gadis yang kini resmi menjadi miliknya.Tadi, setelah saling menumpahkan tangisan di atas lantai dingin dapur, Bianca menarik Morgan untuk memakan makan siangnya berupa bubur ayam. Hanya 3 suapan, Morgan menyerah untuk lidahnya yang pahit. Selanjutnya gantian Morgan yang menarik Bianca untuk ke kamarnya. Membawa Bianca berbaring dan memasuki dekapannya, dengan dalih ia membutuhkan Bianca untuk menemaninya istirahat meski sejujurnya ia hanya ingin menikmati lagi detakan indah yang tercipta di jantungnya karena B
Jam silver di dinding ruangan menunjukkan pukul delapan pagi. Jika hari biasanya Morgan masih sibuk dengan kancing kemeja dan tautan dasi sebelum berangkat ke kantor demi mengumpulkan pundi-pundi uangnya, maka hari ini ia tidak melakukan hal serupa. Sosok Presiden Direktur itu nampak berbeda dari kesehariannya, terlihat dari penampilan khas bangun tidur lengkap dengan piyama dan wajah sembab. Jauh berbeda dari kesan angkuh dan maskulin yang seolah merekat kuat dalam dirinya.Oh, jangan lupakan senyuman cerahnya. Alasannya? Yang pertama, karena ia menikmati jadwal cuti paksa seperti yang sempat sekertarisnya katakan tadi malam.Awalnya Morgan berniat ke kantor karena kondisi tubuhnya memang tidak separah yang orang bayangkan karena jika ditilik lebih lanjut, sakitnya bukan dari fisik melainkan tekanan batin. Namun memiliki teman baik seorang dokter tidak selamanya menyenangkan. Terbukti dari perintah Reynald yang meminta Doni mengosongkan jadwal M
“Kak, aku mau beli kopi bentar.”“Kopi nggak baik buat kesehatan kamu, Bi.”Morgan –sok— bernasehat, meski beberapa hari belakangan kopi seolah menjadi temannya. Bianca yang tentunya masih ingat dengan penjelasan Jongin tentang kebiasaan Morgan selama ia pergi, hanya memutar bola matanya malas.“Aku tau. Tapi setidaknya aku nggak minum kopi berlebihan sampai pingsan di depan tempat pemakaman.” sindir Bianca dan menyebabkan sosok lain dalam mobil menoleh cepat kearahnya. Dengan segera mobil itu berhenti di depan sebuah café, di mana Morgan sering menemukan Bianca pergi ke sana atau mungkin sudah menjadi pelanggan tetap di sana.“Cepat ke sana, cuma lima menit.”Kontan saja Bianca bersorak dalam hati. “Kamu nggak mau?” tanyanya.“Nggak. Aku nggak mau pingsan saat menyetir.” Bianca terkekeh pelan, lalu mengecup singkat pipi kiri Mor