Satu menit, dua menit. Bianca dan Morgan masih bertatapan tajam sembari di kelilingi aura menegangkan. Mendapati Morgan bungkam tanpa merespon apa pun, Bianca melepaskan cengkraman Morgan di lengannya dengan pelan. Kemudian Bianca memasuki mobil cepat-cepat untuk mencegah Morgan menahannya kembali.
Dan nyatanya Morgan tidak menahan ataupun melarang, dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata-pun dari bibirnya.
“Jalan, Pak!”
Meninggalkan Morgan yang mematung dengan berbagai pikirannya sendiri. Bianca menganggap keterdiaman Morgan adalah bentuk kegembiraan Morgan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bianca ragu apakah keputusan ini tepat atau tidak, tapi mengingat Morgan yang tidak menginginkannya, akhirnya Bianca berniat untuk mengalah. Morgan berhak bahagia dan kebahagiaan Morgan adalah hidup bebas tanpa dirisaukan oleh keberadaan Bianca sebagai pendampingnya. Bianca tidak pantas untuk menghalangi kebahagiaan Morgan itu.
Bianca menarik napas dalam-dalam, memasok oksigen ke dalam paru-parunya yang sangat sesak. Air mata berlomba untuk turun dari mata rusa itu, Bianca menahannya hingga rasanya sangat sakit.
Kamu menang, Morgan. Ini kan yang kamu inginkan?
Di sisi lain Morgan masih terdiam layaknya orang bodoh. Otaknya mendadak lamban untuk memproses ucapan Bianca apakah itu adalah suatu kabar buruk atau sebaliknya. Yang jelas Morgan tidak merasakan euphoria itu, di mana Bianca telah menyerah dan tidak akan mengganggu hidup Morgan di kehidupan selanjutnya. Padahal ini adalah yang Morgan inginkan sejak lama, terlepas dari gadis manja dan kekanakan yang entah bagaimana bisa berubah terbalik menjadi dingin dalam hitungan hari.
***
Selama di dalam mobil, Bianca seperti kehilangan nyawanya. Ia memang tidak menangis, tapi juga tidak tersenyum ataupun mempertahankan keceriaan wajahnya. Bianca sudah kehilangan keceriaan itu, semenjak ia memutuskan untuk melepaskan Morgan sebagai hasil dari pemikirannya sepanjang malam. Memang terasa berat karena harus mengecewakan keinginan orangtuanya dan orang tua Morgan, dan lebih terasa berat untuk hati Bianca yang terlanjur menjadikan Morgan sebagai satu-satunya pria yang tersimpan di sana.
Tapi keputusan untuk melepaskan Morgan sudah bulat, Bianca tidak ingin hubungannya dengan Morgan justru menghambat kebahagiaan sejati yang telah Tuhan persiapkan untuk keduanya masing-masing. Bianca mungkin akan bahagia memilik Morgan, namun bagaimana dengan pria itu? Pria yang tidak mengharapkan sebuah hubungan dengan Bianca dan murni hanya sebagai bentuk pengorbanan anak kepada orangtuanya. Ditambah lagi, perkataan menyakitkan dari mulut Morgan masih membekas jelas di otak dan hati Bianca. Membuatnya perlu berpikir ulang untuk mempertahankan pria bermulut pedas sepertinya.
Bianca terkesiap tatkala mobilnya berhenti tepat di depan gerbang Universitas. Bianca menyiapkan diri sebelum turun dari mobil, memastikan bahwa penampilannya baik-baik saja.
“Jemput aku jam sebelas, Pak Yusuf!”
“Baik, Nona.”
Bianca melambai singkat kepada sopir pribadinya lalu bergegas memasuki halaman Universitas yang cukup luas. Ia berjalan santai, mengingat perkuliahan akan dimulai jam setengah sembilan. Masih ada waktu setengah jam yang bisa Bianca habiskan dengan bersantai mengitari halaman yang ditumbuhi bunga beraneka warna.
Berjalan kaki semakin membuat Bianca mengingat Morgan tanpa diperintah, mengingat pria itu menjemputnya sepulang kuliah di halaman ini. Ia akan berdiri bersandar di pintu mobil dan raut wajah yang sangat terpaksa. Sudah berulang kali Morgan menjemput Bianca, dan berulang kali pula Bianca mengetahui bahwa Morgan berdiri di sana hanya karena dorongan dari orangtua, tidak ada ketulusan di sana.
Bianca menghembuskan napas lelah. Ia ke kampus untuk berkuliah, namun pria tak berperasaan itu masih membayang di ingatan Bianca. Seolah Morgan memiliki tombol otomatis di kepala Bianca untuk memproses bayangan pria itu meski Bianca hanya menatap tempat yang biasanya digunakan Morgan untuk menunggunya.
Bianca memasuki ruang kelasnya yang cukup sepi. Hanya beberapa mahasiswi yang duduk di ujung belakang, sibuk bergossip seraya melihat-lihat majalah Fashion keluaran minggu ini. Bianca tidak terlibat di sana, tidak tertarik sekaligus tidak cukup dekat dengan teman satu kelasnya. Sekali lagi ia gadis yang pendiam, tidak akan berbicara jika tidak ada yang bertanya padanya.
Kecuali jika bersama Morgan, Bianca akan berubah menjadi Bianca si gadis ceria.
Bianca menghembuskan napas kasar, tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mengusir Morgan dari otaknya. Kenapa sangat mudah bagi Morgan untuk masuk ke dalam hidup Bianca, tetapi begitu sulit untuk pergi begitu saja? Jika begini caranya, Bianca ragu untuk melupakan Morgan dalam waktu singkat.
Bianca menghela napas lelah. Lelah, semuanya terlalu rumit dan sulit untuk diselesaikan menggunakan logika. Mungkin tidak akan serumit itu seandainya perasaan tidak terlibat di dalamnya. Tapi Bianca terlanjur menikmati perasaan cintanya pada Morgan dalam kurun waktu dua bulan belakangan. Meskipun sifat Morgan sangatlah jauh dari keinginan Bianca, nyatanya Bianca tetap mengharapkan Morgan berada di sekitarnya. Menjawab pertanyaan Bianca asal-asalan ataupun menghabiskan waktu dengan terpaksa.
Bianca tetap menyukai itu.
***
“Katakan berapa uang yang kamu mau, dan jauhi putraku!”
Dia wanita paruh baya, menunjukkan keangkuhan khas kalangan atas. Tangannya yang terawat menggeser selembar kertas berupa cek beserta bolpoin ke arah seorang gadis di hadapannya. Tangan gadis itu bergetar, namun ia menyembunyikan di bawah meja. Ia tidak berani mengangkat wajahnya.
“Kamu menolak uang sepuluh juta yang kuberi padamu kemarin. Itu kurang, kan? Jadi tulis berapa banyak uang yang kamu inginkan dan pergi sejauh mungkin dari putraku!”
Si gadis semakin menunduk dalam. Matanya memanas, ia ingin menangis namun tidak bisa. Ia sudah berjanji kepada putra dari wanita itu untuk tidak menangis, dan tidak menyerah menghadapi apa pun yang bisa mengganggu hubungan mereka. Walau bentakan dari wanita itu sungguh menyakiti hatinya. Ia memang gadis miskin, namun ia memiliki hati untuk tidak menukar sosok pria yang ia cintai dengan setumpuk uang. Uang tidak akan membuatnya bertemu dengan sosok pria lain yang bisa membuatnya jatuh cinta sangat dalam seperti sekarang, ia yakin itu.
Hanya dia, pria yang lahir dari rahim wanita kaya itu.
“Maaf, Nyonya. Saya nggak bisa.” Sang gadis memberanikan diri berucap dan mengangkat wajahnya sedikit. Bagaimanapun wanita di hadapannya adalah seorang yang lebih tua darinya yang patut ia hormati. Mata kecilnya mulai berkaca-kaca dan ia harus menahannya agar tidak jatuh. “Saya tidak mungkin melepas putra anda, Nyonya. Maafkan saya.”
Si wanita mendecih, melipat tangannya di depan dada dan membalas ucapan gadis itu dengan mulut tajamnya yang sepertinya sudah terlatih untuk menghina si gadis berwajah polos. “Kamu! Emangnya apa yang bisa kamu banggakan dari dirimu itu, hah? Kamu nggak punya apa pun dan kamu sama sekali nggak pantas bersanding dengan calon pewaris keluarga kami!”
Jangan dengarkan siapa pun. Cukup dengarkan kata hatimu dan percaya padaku, hm?
Ingatan itu menyeruak dan gadis itu memejamkan mata. Mencoba melakukan ucapan sang kekasih untuk tidak mendengarkan perkataan menyakitkan dari siapa pun. Ia tidak salah, hubungan mereka tidak salah. Takdir sedang bermain dan si gadis hanya cukup bertahan dari siapa pun itu.
“Paling tidak saya mencintai putra Anda dengan tulus.”
BRAK!
“Persetan dengan cinta!” Wanita itu memukul meja dengan keras, menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu bagi pengunjung café lain tempat mereka bertemu. Sang gadis semakin bergetar, sejujurnya ia sangat takut dibalik ketegarannya. Hatinya mengucap nama orang yang sama berulang kali, seolah mengirim pesan melalui telepati agar nama yang disebutnya itu bisa datang untuk membelanya.
“Aku nggak mau punya menantu sepertimu! Menjijikkan!” Si gadis hanya diam saat wanita paruh baya berdiri dan menunjuk wajahnya berulang kali dengan berang. “Kamu perempuan nggak tahu malu!”
Satu bulir air mata menetes tanpa bisa ditahan. Gadis itu merasa hatinya dicabik dengan kuat dan kakinya tidak mampu berdiri tegak. Harga dirinya sudah diinjak dibawah sepatu mahal wanita itu.
“Maafkan saya. Maaf.” Hanya kata maaf yang bisa ia ucapkan di saat kata pembelaan-pun dirasa percuma.
“Aku tidak butuh maafmu! Hanya pergi dari putraku! Lakukan atau-”
“Atau Anda yang pergi dari sini, Nyonya.”
Wanita itu menoleh dengan cepat, memberikan tatapan penuh tanya pada seorang lelaki yang menginterupsi ucapannya. Awalnya ia berfikir bahwa putranya yang datang, namun dugaannya salah karena yang datang adalah lelaki asing.
“Kami minta maaf tapi pelanggan lain merasa terganggu dengan kemarahan Anda, Nyonya.”
“Siapa kamu?!”
“Saya?” Lelaki itu menunjuk dirinya sendiri. “Saya Rafael, pemilik café tempat Anda membuat keributan. Karena saya tidak ingin pelanggan kami kabur, jadi, saya meminta Anda untuk meninggalkan tempat ini sekarang.”
“Kamu- mengusir pelangganmu?!” Wanita itu mendesis geram, seketika mengacuhkan si gadis yang mulai terisak parah dan beralih pada Rafael yang memasang ekspresi tenang.
“Maafkan kami. Tapi kami lebih memilih menciptakan ketenangan di café kami daripada kehilangan satu pelanggan.”
“Ya ampun! Kemana sopan santunmu, Anak muda?”
Kemudian si wanita melenggang pergi tanpa mengucap sepatah kata-pun. Ketukan sepatu hak tingginya terdengar saat ia keluar dari café dengan dongkol. Ia bahkan lupa dengan sesosok gadis mungil yang menjadi bahan caciannya selama ini dan ia tinggalkan di dalam.
“Kamu nggak papa?” Fokus Rafael teralih pada gadis yang terduduk lemah di kursi. Rafael mampu mendengar isakan yang keluar dibalik telapak tangan yang menutupi wajah gadis itu dan Rafael berinisiatif untuk memberikan segelas air putih untuknya.
“Kamu minum dulu.”
Gadis itu menurut dan meminum air putih satu teguk. Penampilannya sangatlah berantakan dengan wajah memerah, basah, dan tubuh bergetar.
“Wanita itu menakutkan! Kamu kenal sama beliau?” komentar Rafael berusaha mencairkan suasana. Ia menduduki kursi di samping gadis yang masih terisak meski telah berhenti menangis.
Rafael membiarkan si gadis terdiam dan kembali menunduk. Ia tidak merasa tersinggung meski tidak ada jawaban dari gadis itu. Toh sebenarnya Rafael sudah mendengar apa yang wanita paruh baya itu katakan, kendati Rafael tidak sengaja menguping dari balik meja kasir.
“Sudahlah, jangan takut lagi, wanita itu sudah pergi.” Rafael mengibaskan tangannya di antara kepala si gadis yang menunduk. Tentu saja si gadis melihat tangan itu dan mendongak. “Aku Rafael. Kamu?”
“K-karenina.”
Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.“NONA AWAS!!”BRUK!“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu
Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kamu egois! Kamu nggak pikirkan perasaan orangtuamu dan orangtuaku!” Morgan menaikkan nada suaranya. Membuat Bianca tersenyum remeh.“Lalu bagaimana dengan perasaanku?”Morgan kontan terdiam. Dan ... demi Tuhan! Morgan lebih memilih Bianca menangis keras daripada menunjukkan ekspresi datar seperti sekarang.Morgan benar-benar tidak mengenal Bianca akhir-akhir ini. Kemana perginya Bianca yang selama ini nampak di mata Morgan? Kenapa yang Morgan lihat hanyalah sosok gadis dingin yang terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik mata beningnya. Gadis itu tidak lagi banyak bicara seperi dulu, setidaknya untuk beberapa hari ini.Morgan tahu kesalahannya yang telah mencaci Bianca di belakang gadis itu. Morgan juga sadar bahwa tidak seharusnya ia mengatakan hinaan pada orangtua Bianca kala itu, dan ia sudah berusaha meminta maaf dengan tulus. Tapi apa mungkin Bianca berubah terbalik hanya karena hal itu?“I
“Aku selesai.”Bianca menyingkirkan piring bekas makannya yang tetap utuh dari hadapannya. Bianca sama sekali tidak tertarik dengan makanan apa pun sejak tiga hari belakangan. Nafsu makannya hilang, dan ia memasok energy dari minuman berkafein yang sangat tidak baik untuk tubuhnya. Itulah yang membuat tubuhnya sedikit lebih kurusan dalam waktu beberapa hari.“Sayang, kenapa nggak habis? Makanan Mama nggak enak ya?” tanya Mama Morgan setelah melihat di atas piring calon menantunya masih banyak makanan yang tertinggal.Bianca sontak menggeleng. “Enak banget kok, Ma! Bianca cuma em ... nggak nafsu makan.”Bianca mencoba menjelaskan dan syukurlah Mama Morgan tidak tersinggung. Lalu Bianca menunggu kedua orang tua di hadapannya itu menyelesaikan makan mereka sembari memikirkan kalimat paling tepat yang bisa ia ungkapkan.Setelah selesai makan siang, ketiganya beranjak ke depan ruang keluarga. Bi
Bianca terbangun saat merasakan tubuhnya lelah bukan main. Tubuhnya lemas, bahkan ia perlu bersusah payah untuk bangun dari kursi yang menjadi alasnya. Hal pertama yang ia lihat di sekelilingnya adalah cahaya bulan yang menembus jendela kaca, dan ia mulai menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ia ingat tadi ia sempat meminta Adian dan yang lain untuk istirahat terlebih dahulu, menyakinkan bahwa dirinya masih ingin berada di dekat mendiang Ayah dan Ibunya yang akan dimakamkan besok pagi.Semula Bianca hanya bermonolog, menumpahkan segala yang ada di pikirannya dan yakin kedua orang berharganya akan mendengarnya. Mendengar segala hal yang ia alami termasuk keputusannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Morgan. Bianca tahu Papa dan Mama di sana tidak menghendaki keputusan itu, apalagi Bianca belum sempat membicarakan alasan sebenarnya mengapa ia sampai hati memutuskan hal itu.Hingga Bianca tidak bisa menanggung kesedihan yang lama-kelamaan me
Satu minggu telah berlalu. Semuanya perlahan berjalan normal kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berusaha membahas kecelakaan tragis ataupun kematian dua orang yang berharga bagi seluruh penghuni rumah mewah itu. Semuanya selesai, tepat ketika prosesi pemakaman berlangsung dan berakhir khidmat dengan dua gundukan tanah basah. Segala kesedihan dan tangisan sudah ditumpahkan di sana, mengiringi pemakaman hingga berakhir dengan kelopak bunga mawar putih yang bertebaran di sekitar dua makam yang berdampingan.Adian sudah mulai masuk sekolah kembali dan Pak Utomo juga kembali bertugas untuk memberi instruksi kepada pelayan-pelayan lainnya seperti hari biasanya. Hampir semuanya berjalan normal, kecuali sesosok gadis bertubuh mungil yang keluar dari kamar dengan penampilan yang siap pergi tapi dihiasi dengan kantung mata tebal dan wajah mendung dari kamarnya dan menduduki kursi makan. Mengambil setangkup roti gandum dan segelas susu putih. Dua hari ini
“Apa dia tidur?”Pintu berwarna cokelat gelap itu terbuka lebar, memperlihatkan sosok pria bertubuh jangkung yang bersedekap bersandar di daun pintu. Tatapannya masih tertuju pada satu point di mana seorang pria lain tengah tertidur pulas di atas ranjang kamar pribadinya sendiri.“Gue maksa dia tidur. Morgan bener-bener butuh waktu tidur beberapa menit.” Reynald membereskan peralatan dokternya ke dalam tas. Sebuah keberuntungan bahwa dirinya tidak pernah absen membawa peralatan dokter bahkan sewaktu memberikan vitamin untuk sahabatnya. “Gue masih harus tau berapa banyak obat tidur, kopi, dan rokok yang dia konsumsi selama ini.”Reynald menutup pintu, membiarkan Morgan terlelap setelah mengkonsumsi suplemen darinya. Reynald tahu betul yang Morgan perlukan adalah istirahat secara alami, dan bukan hal yang mudah dilakukan oleh Reynald untuk memaksa Morgan istirahat di hari yang masih pagi, terlebih Morgan m
Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tubuhnya segera bangun tanpa diperintah, turun dari ranjang dan mengambil kunci mobil yang terletak sembarangan di atas meja.“Argh! Sial!” keluhnya saat tiba-tiba pandangannya terganggu dan kepalanya berputar. Morgan harus menyangga tubuhnya di sisi tembok jika tidak ingin tubuhnya merosot. Kondisinya yang sudah buruk semakin diperburuk dengan kekalutan yang tampak jelas di wajahnya.Reynald benar, Morgan-lah yang mengalami kekhawatiran lebih besar dibandingkan mamanya sendiri. Sebuah kemustahilan mengingat perilaku Morgan selama ini terhadap Bianca dan kini justru dirinya-lah yang tersiksa oleh perilakunya sendiri. Karma, huh?Morgan tidak tahu apakah karma sedang menjalankan tugasnya saat ini. Yang jelas, ini pertama kalinya Morgan merasakan suatu kekhawatiran menyesakkan yang menyusup hingga ke paru-parunya terlebih karena seorang gadis yang tidak pernah terpikir akan berpe