Bianca memasuki rumah yang tampak sepi. Orangtuanya masih belum pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan Adian sepertinya asyik di kamarnya. Bianca tidak berniat melihat adiknya seperti yang selalu ia lakukan setiap malam. Entah mengganggu Adian bermain game atau malah membantunya mengerjakan tugas sekolah.
Bianca merasakan kelelahan disekujur tubuhnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya dan mencoba memejamkan mata. Mencoba mengusir rasa sesak yang masih bersarang di paru-parunya.
Tapi tidak berhasil, selanjutnya Bianca justru mengubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan tangisan mulai memenuhi ruangan kamar luas itu.
“Mama … aku harus gimana? Hiks .…” gumamnya lirih.
Isakan mulai terdengar dan bahunya bergetar. Bianca tidak menyukai dirinya yang lemah, tapi mau bagaimana lagi? Hal yang membuatnya lemah hanyalah keluarganya dan Morgan.
Morgan … Bianca tidak habis pikir bagaimana bisa dirinya terjatuh begitu dalam pada lelaki tak berperasaan itu. Harusnya Bianca tidak selemah ini untuk menghabiskan air matanya demi lelaki yang tidak sedikitpun menaruh perhatian kepadanya.
Dan tiba-tiba Bianca menyesal kenapa perjodohan itu harus terjadi kepadanya. Seandainya dua bulan yang lalu tidak ada perjodohan, atau seandainya pria yang dijodohkan dengannya bukanlah Morgan, Bianca yakin dirinya tidak akan sesakit ini.
Morgan terlalu sulit untuk Bianca gapai meskipun dengan jalan perjodohan sekalipun.
Drrt … Drrt …
Seperti sebuah keajaiban, ponsel Bianca bergetar dan menampilkan nama sang Mama sebagai penelponnya. Bianca bergegas menghapus aliran air matanya dan mengatur suaranya sebaik mungkin agar sang Mama tidak mengetahui dirinya sedang menangis.
“Mama!” sapa Bianca dengan nada ceria dipaksakan.
“Bianca! Kamu nggak apa-apa?”
Jika seseorang pernah mengatakan bahwa ibu dan anak memiliki ikatan batin yang kuat, maka Bianca sangat menyetujuinya. Terbukti dari sang Mama yang tiba-tiba menelepon dan tanpa membalas sapaan Bianca langsung menanyakan kondisi Bianca. Membuat Bianca ingin menangis kembali, karena merasa bersyukur memiliki Mama, orang yang sebisa mungkin Bianca jaga perasaannya.
“Ng-nggak. Aku nggak apa-apa, Ma. Emangnya aku kenapa?”
“Syukurlah. Firasat Mama nggak enak, Mama takut terjadi sesuatu sama kamu.”
Jika saja Mama tahu bahwa Bianca juga merasakan firasat buruk yang menghinggapi sejak kemarin. Tapi Bianca tidak ingin membuat Mama-nya memikirkan hal buruk yang belum tentu terjadi. “Nggak kok. Mungkin cuman perasaan Mama saja.”
“Mungkin aja. Mama juga telepon Adian, dan adikmu bilang juga nggak apa-apa. Syukurlah!”
“Hmm.”
“Ya udah. Mama jadi lebih tenang sekarang.”
Bianca terdiam cukup lama sebelum memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Mulutnya gatal untuk bicara tetapi ia harus mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikannya kepada sang Mama. “Ma .…”
“Hm? Kenapa sayang?”
“Aku mau bilang sesuatu.” Bianca menghela napas. “Soal kak Morgan.”
“Oh ya!” Bianca mendengar Mama-nya memekik. “Gimana keadaan Morgan? Dia baik juga, kan? Apa hubungan kalian makin dekat?”
Bianca meringis membayangkan ekspresi yang tercetak di wajah Mama, mendengar suara antusiasnya saja membuat Bianca yakin Mama-nya tidak menginginkan perjodohan yang telah disepakati menjadi berakhir. Bianca tidak ingin Mama kecewa tapi Bianca juga sudah tidak bisa membiarkan perasaannya tersakiti oleh orang yang sama berulang kali.
Karena itulah, keinginan untuk mengakhiri hubungannya dengan Morgan terus menyeruak di akal sehatnya walaupun dengan konsekuensi yang Bianca tahu pasti apa itu.
“Bianca?”
Bianca terkesiap. Sang Mama terdiam di ujung telepon, menandakan bahwa dirinya menunggu ucapan Bianca selanjutnya. “B-bolehkah aku … akhiri saja?”
Mama terdiam cukup lama dan Bianca menunggu reaksi sang Mama dengan dada berdebar hebat. Apakah Mama akan menyetujui keputusannya, atau sebaliknya?
“Kenapa?” tanya Mama dengan nada lirih.
“A-aku … aku ngga cinta kak Morgan lagi, Ma.” Bianca mencoba berbohong meski tidak yakin Mama akan mempercayai ucapannya.
“Jangan bohongin Mama, Bianca! Kamu cinta banget sama Morgan. Bilang sejujurnya, hm?”
“Mama … hiks!” Bianca tahu dirinya tidak akan mampu membohongi Mama. Mama lebih mengerti Bianca daripada Bianca memahami dirinya sendiri. Bianca tidak sanggup menahan air matanya hingga ia kembali menangis. Tangisan Bianca seolah menjadi jawaban bagi Mama, bahwa putrinya mengalami kesedihan yang tidak bisa ia ungkapkan melalui telepon. Putrinya membutuhkan pelukan sayang sebagai kekuatan, dan hal itu tidak bisa Bianca dapatkan hanya melalui telepon.
“Udah udah, jangan nangis, hm? Besok Mama dan Papa pulang, dan Mama janji bakal dengerin cerita Bianca sampe selesai, okay?”
“Hmm .…” gumam Bianca dan ia sontak teringat orangtuanya akan pulang besok. Bianca terlalu larut dengan kesedihannya hingga lupa sumber kebahagiaannya yang sangat ia rindukan selama berminggu-minggu akan kembali ke rumah.
“Jangan terus mikirin itu ya? Simpan kerisauanmu sampe besok. Tidur yang nyenyak, jangan lupa makan dan masuk kuliah. Jangan lupa tanggung jawab kamu sebagai mahasiswi, hm?”
“I-iya ma.”
“Mama tutup, ya? Bye!”
“Oke. Titip salam untuk Papa, Ma!”
KLIK!
Bianca meletakkan kembali teleponnya dan mengubah posisinya menjadi telentang. Berbicara dengan Mama nyatanya mampu meringankan beban Bianca, dan itu sangat disyukuri oleh Bianca. Seperti biasa Mama selalu mengingatkan Bianca dengan tanggungjawabnya. Mama adalah seorang ibu yang lembut namun tegas, jika Bianca melepaskan tanggungjawabnya maka Bianca harus menyiapkan diri dari ketegasan sang Mama yang tidak main-main.
Apa yang kau maksud dengan tidak mendidikku dengan benar, Morgan?
***
'Dan kalaupun aku bunuh diri, aku nggak bakal biarin mayatku ngerepotin kamu. Aku bakal minta pada siapa pun, sebelum aku mati, kalau aku nggak akan ngijinin kamu liat mayatku sedetikpun!'
Morgan membalikkan tubuhnya berulang kali, mencari posisi yang paling pas untuk menyambut mimpi, dan lampu disisinya juga sudah dimatikan. Seharusnya ia bisa lebih cepat terlelap akibat rasa lelahnya bekerja, tapi entah kenapa otaknya yang bekerja seharian tetap bekerja hingga sekarang. Bagaimana caranya terlelap jika otaknya tanpa perintah masih memproses kejadian yang ia alami hari ini, termasuk kedatangan Bianca yang tiba-tiba dan menumpahkan amarah.
“ARGGHH! SIALAN!”
Morgan melemparkan selimutnya dengan kasar. Badannya terduduk dan ia tidak memiliki nafsu untuk tidur sedikitpun. Bayangan Bianca dengan ekspresi kecewa itu tergambar jelas di kepala Morgan, dan Morgan tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mengenyahkan gadis itu dari pikirannya. Bahkan suara bergetar Bianca masih bisa Morgan dengar dengan jelas.
Apa gadis itu tidak lelah terus berputar di pikiran Morgan sejak tadi siang?
Morgan menggeram kesal, bangkit dari ranjang dan beranjak menuju dapur. Ia memerlukan setidaknya satu gelas air mineral untuk menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba merasuki rongga dadanya. Morgan merasakan itu, rasa bersalah yang belum pernah Morgan rasakan selama ia mengenal Bianca. Padahal selama ini Morgan sering melakukan tindakan yang lebih dari ucapan tajam, tapi detik ini Morgan merasakan bersalah setelah melihat genangan air mata Bianca dari ekor matanya.
“Oh, Mas Morgan.” Seorang pelayan memergoki Morgan di dapur tengah malam. Pelayan wanita itu lalu menunduk dan berniat meninggalkan Morgan sebelum Morgan menahannya dengan kalimat perintahnya.
“Buatkan aku susu hangat. Antar ke kamarku.”
“Baik, Mas.”
Morgan lantas pergi menuju kamarnya kembali. Dan beberapa menit kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarnya untuk memberikan segelas susu hangat sesuai perintahnya. Morgan menghabiskan susu itu dalam waktu singkat, dan berupaya untuk menggapai mimpinya kembali. Berharap agar susu hangat bisa membawanya tertidur tanpa perlu menenggak obat tidur. Morgan tidak memerlukannya. Setidaknya untuk sekarang.
'Kalau kamu nggak lupa, kita belum akhiri semuanya. Akhiri dulu, dan kamu bisa kencan sepuasmu!'
Dan berikutnya tetaplah sama. Dan kini Morgan semakin menyadari kebodohannya akibat ucapannya tadi di restoran. Bukannya meminta maaf telah menghina orangtua Bianca, Morgan justru menambah kesalahannya dengan bantuan mulut tajamnya. Entah apa yang membuat Morgan memberanikan diri untuk mendatangi Bianca dan menumpahkan kekesalannya yang tak beralasan. Morgan merasakan kakinya bergerak menuju Bianca tanpa sadar kala itu, tepat saat Bianca duduk berdua dengan lelaki yang tidak Morgan kenali.
“Arrghh!” Morgan kembali mengerang, merasakan kepalanya berdenyut seolah melarangnya untuk jatuh tertidur dan berujung menyiksa Morgan tanpa sadar. “Sebenarnya apa yang kau lakukan padaku, Bianca?!”
***
Esoknya Bianca kembali beraktivitas seperti biasa. Ia masih tidak bersemangat dan matanya masih nampak sembab, membuktikan bahwa Bianca tidak menuruti perintah Mama untuk tidur dengan nyenyak.
“Sudah siap, Nona?” tanya sang sopir saat melihat Bianca keluar dari rumah lengkap dengan pakaian sopan dan tas kuliahnya.
“Hm.” Bianca menjawab seadanya dan bergegas memasuki mobil sebelum seseorang mencegat lengannya. Mata Bianca membulat, lalu kembali memasang ekspresi datar.
“Kenapa, Morgan?”
Tanpa sadar tangan Morgan mengepal di kedua sisi tubuhnya. Telinganya merasa asing saat Bianca mengucap nama Morgan tanpa panggilan kak dalam nada datar. Nada yang persis saat Bianca berada di kantornya kemarin siang.
“Aku mau minta maaf soal ucapanku kemarin,” ucap Morgan dengan kesungguhan di kedua matanya. Ia sungguh merasa bersalah, dan keinginan untuk meminta maaf ini murni dari hati dan otaknya yang tetap bekerja sepanjang malam dan melarangnya untuk tidur hingga pukul empat pagi. Tanpa paksaan dari orang tua Morgan yang memang tidak mengetahui masalah ini.
Bianca jelas menemukan binar kesungguhan di mata Morgan, tapi saat melihat pria itu Bianca kembali merasakan hatinya berdenyut di samping jantungnya yang berdetak cepat. Ucapan tajam pria itu masih memenuhi pikiran Bianca.
“Kamu nggak perlu minta maaf padaku, tapi pada orangtua-”
“Bukan cuman soal orangtuamu, tapi juga tentangmu. Aku minta maaf.” Morgan menyela.
Bianca tersenyum mengejek. Terus terang hatinya sedikit melambung mendengar permintaan maaf tulus Morgan. Tapi hal itu tidak berlaku lama karena Bianca tidak mau terlalu berharap Morgan meminta maaf karena memiliki perasaan lain untuknya.
“Ya. Aku maafin kamu,” ucap Bianca. “Kamu sabarlah, aku bakal bujuk Mama dan Papaku lalu aku akan datengin orangtuamu.”
Ucapan Bianca sontak membuat Morgan terkejut. “Untuk?”
“Udah jelas, kan? Selesaikan urusan kita, atau lebih jelasnya akhiri perjodohan bodoh kita berdua.”
Satu menit, dua menit. Bianca dan Morgan masih bertatapan tajam sembari di kelilingi aura menegangkan. Mendapati Morgan bungkam tanpa merespon apa pun, Bianca melepaskan cengkraman Morgan di lengannya dengan pelan. Kemudian Bianca memasuki mobil cepat-cepat untuk mencegah Morgan menahannya kembali. Dan nyatanya Morgan tidak menahan ataupun melarang, dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata-pun dari bibirnya. “Jalan, Pak!” Meninggalkan Morgan yang mematung dengan berbagai pikirannya sendiri. Bianca menganggap keterdiaman Morgan adalah bentuk kegembiraan Morgan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bianca ragu apakah keputusan ini tepat atau tidak, tapi mengingat Morgan yang tidak menginginkannya, akhirnya Bianca berniat untuk mengalah. Morgan berhak bahagia dan kebahagiaan Morgan adalah hidup bebas tanpa dirisaukan oleh keberadaan Bianca sebagai pendampingnya. Bianca tidak pantas untuk menghalangi kebahagiaan Morgan itu.
Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.“NONA AWAS!!”BRUK!“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu
Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kamu egois! Kamu nggak pikirkan perasaan orangtuamu dan orangtuaku!” Morgan menaikkan nada suaranya. Membuat Bianca tersenyum remeh.“Lalu bagaimana dengan perasaanku?”Morgan kontan terdiam. Dan ... demi Tuhan! Morgan lebih memilih Bianca menangis keras daripada menunjukkan ekspresi datar seperti sekarang.Morgan benar-benar tidak mengenal Bianca akhir-akhir ini. Kemana perginya Bianca yang selama ini nampak di mata Morgan? Kenapa yang Morgan lihat hanyalah sosok gadis dingin yang terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik mata beningnya. Gadis itu tidak lagi banyak bicara seperi dulu, setidaknya untuk beberapa hari ini.Morgan tahu kesalahannya yang telah mencaci Bianca di belakang gadis itu. Morgan juga sadar bahwa tidak seharusnya ia mengatakan hinaan pada orangtua Bianca kala itu, dan ia sudah berusaha meminta maaf dengan tulus. Tapi apa mungkin Bianca berubah terbalik hanya karena hal itu?“I
“Aku selesai.”Bianca menyingkirkan piring bekas makannya yang tetap utuh dari hadapannya. Bianca sama sekali tidak tertarik dengan makanan apa pun sejak tiga hari belakangan. Nafsu makannya hilang, dan ia memasok energy dari minuman berkafein yang sangat tidak baik untuk tubuhnya. Itulah yang membuat tubuhnya sedikit lebih kurusan dalam waktu beberapa hari.“Sayang, kenapa nggak habis? Makanan Mama nggak enak ya?” tanya Mama Morgan setelah melihat di atas piring calon menantunya masih banyak makanan yang tertinggal.Bianca sontak menggeleng. “Enak banget kok, Ma! Bianca cuma em ... nggak nafsu makan.”Bianca mencoba menjelaskan dan syukurlah Mama Morgan tidak tersinggung. Lalu Bianca menunggu kedua orang tua di hadapannya itu menyelesaikan makan mereka sembari memikirkan kalimat paling tepat yang bisa ia ungkapkan.Setelah selesai makan siang, ketiganya beranjak ke depan ruang keluarga. Bi
Bianca terbangun saat merasakan tubuhnya lelah bukan main. Tubuhnya lemas, bahkan ia perlu bersusah payah untuk bangun dari kursi yang menjadi alasnya. Hal pertama yang ia lihat di sekelilingnya adalah cahaya bulan yang menembus jendela kaca, dan ia mulai menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ia ingat tadi ia sempat meminta Adian dan yang lain untuk istirahat terlebih dahulu, menyakinkan bahwa dirinya masih ingin berada di dekat mendiang Ayah dan Ibunya yang akan dimakamkan besok pagi.Semula Bianca hanya bermonolog, menumpahkan segala yang ada di pikirannya dan yakin kedua orang berharganya akan mendengarnya. Mendengar segala hal yang ia alami termasuk keputusannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Morgan. Bianca tahu Papa dan Mama di sana tidak menghendaki keputusan itu, apalagi Bianca belum sempat membicarakan alasan sebenarnya mengapa ia sampai hati memutuskan hal itu.Hingga Bianca tidak bisa menanggung kesedihan yang lama-kelamaan me
Satu minggu telah berlalu. Semuanya perlahan berjalan normal kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berusaha membahas kecelakaan tragis ataupun kematian dua orang yang berharga bagi seluruh penghuni rumah mewah itu. Semuanya selesai, tepat ketika prosesi pemakaman berlangsung dan berakhir khidmat dengan dua gundukan tanah basah. Segala kesedihan dan tangisan sudah ditumpahkan di sana, mengiringi pemakaman hingga berakhir dengan kelopak bunga mawar putih yang bertebaran di sekitar dua makam yang berdampingan.Adian sudah mulai masuk sekolah kembali dan Pak Utomo juga kembali bertugas untuk memberi instruksi kepada pelayan-pelayan lainnya seperti hari biasanya. Hampir semuanya berjalan normal, kecuali sesosok gadis bertubuh mungil yang keluar dari kamar dengan penampilan yang siap pergi tapi dihiasi dengan kantung mata tebal dan wajah mendung dari kamarnya dan menduduki kursi makan. Mengambil setangkup roti gandum dan segelas susu putih. Dua hari ini
“Apa dia tidur?”Pintu berwarna cokelat gelap itu terbuka lebar, memperlihatkan sosok pria bertubuh jangkung yang bersedekap bersandar di daun pintu. Tatapannya masih tertuju pada satu point di mana seorang pria lain tengah tertidur pulas di atas ranjang kamar pribadinya sendiri.“Gue maksa dia tidur. Morgan bener-bener butuh waktu tidur beberapa menit.” Reynald membereskan peralatan dokternya ke dalam tas. Sebuah keberuntungan bahwa dirinya tidak pernah absen membawa peralatan dokter bahkan sewaktu memberikan vitamin untuk sahabatnya. “Gue masih harus tau berapa banyak obat tidur, kopi, dan rokok yang dia konsumsi selama ini.”Reynald menutup pintu, membiarkan Morgan terlelap setelah mengkonsumsi suplemen darinya. Reynald tahu betul yang Morgan perlukan adalah istirahat secara alami, dan bukan hal yang mudah dilakukan oleh Reynald untuk memaksa Morgan istirahat di hari yang masih pagi, terlebih Morgan m