❬ GD LKING ❭
Sena :→ Forwarded | Kill me, please!→ Forwarded
| Gue pulang bareng dia! Banu :| Oh my... Tara :| Juna, kan? Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!! Sena :| @Juna Klarifikasi sendiri lo sini!"Iya gue, puas lo semua?!"Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu :"A—"
Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin!
Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam tidak lagi mendapat vitamin untuk hari ini, dan mungkin besok? Atau besoknya lagi? Semesta 'kan tidak pernah mengucap janji untuk selalu mempertemukan manusia dengan seseorang yang diinginkannya. Segalanya selalu jadi teka-teki.
Pukul 09:58 malam, Juna berkemas. Apron di badannya ia lepas. Menyisakan kaos kelabu tanpa lengan yang dibalut kemeja polos senada. Dengan raut tertekuk ia raih sebuah tas satu tali di bawah meja, lalu menyilangkannya di tubuh.
"Juna, buru-buru ya?"
Suara wanita terdengar setelah pintu utama kafe terbuka. Tidak-tidak, bukan gadis yang tadi sudah datang. Kali ini seorang wanita yang lebih tua dari Juna, pekerja paruh waktu selanjutnya. Dia mengucap tanya demikian sebab melihat si adam sudah bersiap pulang. Biasanya ketika gadis itu datang, Juna masih duduk di kasir, mungkin juga sibuk memeriksa barang atau lain sebagainya.
"Iya," Juna menjawab. 'Mungkin bisa ketemu! Maafin gue, Kak Oliv...' lanjutnya dalam pikiran.
"Oke, kamu bisa pulang," kata perempuan itu.
"Thanks!"
Juna membalas singkat, lalu melangkah cepat untuk keluar. Begitu menginjak trotoar, ia berlari. Mengandalkan putaran memori di kepala, seingat Juna gadis yang dicarinya mengambil arah yang sama dengan jalur kepulangan si adam. Jika saja nanti dapat bertemu, ada basa-basi tentang arah pulang mereka yang sama. Meskipun... ya, ada tujuan khusus. Ada keinginan menjawab kuriositas cowok itu.
Hampir-hampir Juna menyerah. Sekian menit tidak nampak tanda-tanda keberuntungan. Di ujung jalan sebelum penyeberangan, ia berhenti. Napasnya berembus tidak teratur. Sementara badannya menjura, meletakkan kedua telapak tangan di lutut.
Kiri, kanan, atau lurus ke depan? Sial sekali harus ada pilihan. Dua mata Juna bergantian menatap jalan yang masing-masing ada kemungkinan dilalui Arin.
'Ck, give up! Toh, cuma jalan pulang, Juna!'
Helai surai hitamnya ia acak sendiri. Frustasi dengan kondisi. Kala lampu hijau pejalan kaki menyala, Juna melangkah untuk sampai ke seberang. Sekarang tujuannya hanya ke indekos. Istirahat dari segala kepenatan pikiran dan perasaan. Segalanya membuat ia merasa gila. Terutama gadis itu—sosok yang berdiri di halte bus saat itu juga.
Juna melihatnya! Dia menemukannya! Bebaju ivory dan berbandana. Jari-jarinya memeluk erat gelas kopi di depan tubuh. Sementara pandangannya menyebar, khas orang menanti datangnya kendaraan.
Kamu kira Juna akan berbungah terang-terangan lantas mendekati Arin begitu saja? Eih, itu tidak keren katanya. Jadi sembari menggigit jari dan memutar ide, Juna mencari cara untuk membuat pertemuan itu terkesan natural. Semesta yang mempertemukannya, valid, biar Arin menganggapnya begitu.
Sebelum sampai pada menit kesatu, juga sebelum mesin merah itu datang, Juna menjentikkan jari. Ia meraih ponsel dan mulai melangkah ke halte. Ibu jarinya bergerak acak ke beragam aplikasi, sedangkan matanya terus tertuju pada layar.
"Oh, Arjuna?"
Nah! Setelah sapaan yang dinanti Juna mengudara, barulah lelaki itu mendongak untuk menatap si hawa. Yang pertama ia lihat adalah raut terkejut Arin. Ah, hatinya sangat gembira. Berdegup kencang di balik dada.
"Oh..."
"Kenapa di sini?" tanya Arin kemudian.
Masuk kategori kalimat retoris. Jika itu Juna yang ucapkan pasti akan memaki diri sendiri dalam hati. Seperti saat di dalam kafe tadi. Tetapi kali ini dikatakan Arin, maka Juna tak tahu apa yang kemudian gadis itu batin. Entah sungguhan ingin tahu, atau malah menyesal sebab sadar jawabannya sudah jelas kentara.
"Mau naik bus. Kamu... juga?"
'Oh shit, canggung manggil aku-kamu.'
Nah kan, tiap sela ucapan ada saja yang diumpatkan dalam batin. Hobi benar si Juna itu.
Anggukan Arin pun menjadi balasan. "Iya," imbuhnya sembari sedikit bergeser untuk memberikan ruang di bawah atap kepada si adam. "Ah, waktu itu kita bertemu di halte. Apa rumah kita searah?"
Juna memasukkan ponsel ke saku lantas menapakkan kaki untuk mengisi ruang di samping Arin. "Em... mungkin? Indekosku tidak jauh dari halte itu," jawab Juna. Tidak masalah untuk mulai memperkenalkan secuil identitasnya. Itu hal baik malah, supaya ada perkembangan.
Sekali lagi Arin mengangguk sembari bergumam tanda paham. "Oh, itu busnya," katanya seraya menunjuk mesin merah hitam dengan telunjuk. Juna lantas mengikuti arah pandang gadis itu.
Beberapa penumpang masuk, dan Juna mempersilakan Arin untuk lebih dulu naik. Usai masing-masing membayar, mereka mencari tempat. Arin yang melangkah di depan pun duluan mendapatkannya. Ia memilih kursi sepasang dan duduk di dekat jendela. Sebutlah Juna bingung, harus ikut dengan Arin atau tetap pada singgasananya di ujung belakang?
"Arjuna."
Dilema pemuda itu terjawab. Arin memanggil dan menepuk kursi di sebelahnya—memberi tanda agar Juna duduk di sana. Dengan amat senang hati Arjuna Abisatya setuju. Tubuhnya berakhir di sisi seorang jelmaan malaikat, seperti kata Sena.
"Bapak itu hampir marah," bisik Arin. Dengan tangan yang menutup salah satu sisi wajahnya, ia mendekat pada Juna untuk mengatakan itu. Arin terkekeh mendapati si taruna yang baru sadar ternyata tadi ia menghalangi jalan. Jika begini Juna jadi sulit menerawang alasan lain dari tawaran Arin untuk duduk di sebelahnya.
Misalnya, ketertarika—'Tidak! Belum waktunya berharap, Juna!'
-: ✤ :-"Jadi, di mana rumahmu?"Kira-kira sepuluh menit perjalanan dengan bus untuk sampai di daerah tempat tinggal Juna. Di halte yang... penuh kenangan? Sebuah tempat yang menjadi latar pertama pertemuan lelaki itu dengan Arin, kini mereka turun. Sedang mesin berpolusi dengan suara tak begitu bersahabat itu melaju pergi. Menerbangkan debu-debu halus dan menyisakan bau bahan bakar yang cukup menyengat indera penciuman.
Di bawah penerangan seadanya itu, Arin kembali mengenakan tas kecilnya di punggung, sementara Juna menyelipkan kedua tangan di saku celana. Udara dingin. Ia dibuat bertanya-tanya apakah gadis di depannya tidak kedinginan dengan rok gelap selutut itu. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah pertanyaan di mana rumah Arin.
"Masih jauh, harus naik BRT lagi," jelas sang puan.
"Eh? Serius?" Kedua alis Juna sudah terangkat sempurna.
Ekspresi terkejut si adam lagi-lagi membuat Arin tertawa. Di matanya, Juna itu kaku dan lucu pada saat yang sama. Padahal pertemuan pertama dan kedua, Arin sedikit was-was. Sebab... ya, macam bad boy memang. Ditebaknya Juna itu kasar, mungkin juga angkuh, maybe loves cigarettes or alcohol, dan tipikal anak nakal lainnya.
Bahkan ketika Arin menginjakkan kaki di kafe lalu melihat keberadaan Juna, ia masih merasa gelisah, meski tak nampak dari luar. Sembari memilah menu, otaknya mengulas pertemuan sebelumnya ketika Juna membantunya, menanyakan keadaan pula, lalu si adam itu adalah teman Sena—yang sudah Arin kenal lebih dulu. Dan ia pikir Sena yang kalem akan punya teman yang baik juga.
Setelah melihat Juna meminta maaf karena tak fokus bekerja, kemudian air muka bersalah usai menjadi penghalang jalan di bus, makin ke sini Arin pikir Juna bukan orang yang patut dijauhi pun atau diwaspadai.
Lihat saja, dia punya sisi menggemaskan di depan perempuan.
"Iya, kenapa?" Arin dengan sisa kekehannya menjawab Juna.
"Very very far away?" tanya si pemuda.
"Nggak. Tujuh sampai sepuluh menit naik bus. Kalau jalan kaki mungkin... dua puluh menit?" Arin menelengkan kepala, tak begitu yakin dengan waktu-waktu perjalanan, baik dengan kendaraan ataupun manual.
"Mau kupanggilkan taksi?" tawar Juna tiba-tiba. Bukannya modus, menurut ponselnya ini sudah menginjak 10:20 malam. Takut saja jika bus terakhir sudah lewat.
"Nggak perlu, bentar lagi mungkin busnya datang."
Juna akhirnya mengiyakan. Ia hendak pulang, tapi itu bukan keputusan yang bagus. Tidak mungkin 'kan ia tinggalkan doi-nya sendirian di halte, malam-malam pula. Tidak etis. Jadi Juna menetap meski gemetar jika nanti ditanya 'kenapa masih di sini?' atau kalimat interogatif yang meresahkan lainnya.
"Di mana indekos kamu?"
Ah, Juna ingin meneriakkan syukur karena pertanyaan Arin ada di level mudah untuk dijawab.
"Di sana, di rumah itu," balasnya seraya mengudarakan jari ke arah sebuah bangunan di sebelah jalan tanjakan.
"Warna putih itu?"
"Iya. Ma—"
Oh tidak! Dia hampir melukiskan sikap anehnya lagi dengan sebuah ajakan untuk singgah.
Arin masih menunggu kelanjutan dari ucapan Juna. Keadaan sekitar mereka sepi, jadi segala yang keluar dari bibir dapat terdengar.
"Itu busnya," kata si taruna saat mendengar deru mesin raksasa dari belakang telinga. Benar saja busnya datang. Penyelamat.
Arin pun memutar tubuh untuk menghadap bulevar. Menyiapkan diri guna naik ke kendaraan itu. "Aku duluan, Juna," pamitnya.
Yang disebut nama panggilan malah mematung dengan tatapan tak beralih dari Arin. "O-oh... oke," ucapannya mengiringi langkah perempuan itu memasuki bus.
»»----- ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas