Share

05. A cup of heart

'Jadi ... penampilan gue, huh?'

Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak.  Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja. 

Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna. 

Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belakang dominan rumah warga juga indekos yang bertebaran. 

Satu embusan napas panjang keluar bersamaan dengan tubuh yang meluruh untuk duduk. Juna mengeluarkan ponsel, berniat bertemu crush-nya untuk menaikkan level. Tetapi sekejap kemudian ia ingat harus memeriksa tanggal kadaluarsa dari beberapa persediaan bahan makanan dan minuman. Benda pipih nan persegi itu kembali masuk ke saku celana. Masih robek pula di bagian lututnya. Jelas saja, dia belum sempat pulang setelah kuliah—setelah mendapat pencerahan dari Sena. Entahlah bisa disebut saran pamungkas atau tidak. 

Sekitar 40 menit sebelum jatah kerjanya habis, Juna pun melangkahkan kaki ke arah tumpukan keranjang dan meraihnya satu. Lalu penyortiran dimulai dari rak penyimpanan paling ujung. Tentu tidak semua barang harus ia periksa hari ini. Hanya beberapa jenis yang sudah cukup lama tidak diperbarui. 

Sembari menatap deret angka hitam kecil-kecil itu, bibir Juna juga komat-kamit melantunkan apa yang ia lihat.  Belum sempat mendapat barang basi, lonceng di pintu menginterupsi aktivitas Juna. 

"Selamat da...tang..."

Mungkin sudah bisa ditebak pengunjung macam apa yang masuk. Pastinya cukup mengejutkan sebab suara Juna jadi terputus-putus seperti itu. Kesekian kalinya untuk malam ini tubuhnya terpaku di tempat. Pupilnya pun demikian—terfokus pada satu objek yang masih berdiri di dekat pintu kaca. 

Berbaju ivory dengan bandana senada, presensi itu membuat Juna tak habis pikir sebab keinginannya semalam terkabulkan. 

"Oh... Arjuna?" sapa si pemilik senyum manis itu. Bahkan sekarang juga tengah terlukis di wajahnya. 

'Lord, dia ingat gue?'

Masih dengan bibir sedikit terbuka, si adam membatin. Beruntung kesadarannya bisa pulih. Bagaimanapun juga ia harus membalas ucapan gadis itu. 

"Arin, kenapa di sini?"

'Goddammit! Pertanyaan gue bodoh banget, asli!'

Jika saja Juna bisa menghentikan waktu barang sedetik, ia sangat ingin menampar pipinya sendiri. Tolong, Juna mau jadi butiran debu saja. 

Ketika dia merutuki diri sendiri, Arin berhenti di depan meja barrier dan mendongak untuk menatap menu yang tertulis estetik di papan. Nampak tengah mencari apa yang ingin ia santap malam ini. 

"Aku akan membeli sesuatu," balas puan itu kemudian. Ia pun sedikit bergeser untuk melihat lebih jelas lajur makanan dan minuman yang tertera. Suasananya terkesan dingin memang. Selain tidak begitu kenal, Arin juga sedang fokus pada tujuan. Sementara Juna—jangan ditanya bagaimana gelagatnya. 

Dengan santai si gadis mengalihkan pandang memeriksa daftar menu yang lebih lengkap di kertas. Tidak tahu saja jika di ruangan itu, tepat dihadapannya, ada yang ribut minta ampun. Detak jantung. Jelasnya itu punya si adam, sebab kondisi Arin terlihat tenang-tenang saja. Sedang sibuk memilih apa yang ingin ia cecap sembari pulang dalam balutan gulita yang tenang. 

"Arjuna?"

Secepat kilat yang dipanggil sadar dari lamunan dan meraih pena serta kertas di meja. Anggap saja itu memang refleks dari tubuhnya. Biasanya 'kan memang suka gerak cepat si Juna itu. Masalah fisik sih, jangan diingat soal hati. 

"Ya?" tanyanya ketika mengarahkan obsidian pada Arin. 

"Jadinya berapa?" Gadis bersurai jelaga itu pun berucap. 

"Ah, iya, jadi—" Entah kenapa Juna jadi kikuk dan otaknya kosong seketika. Antara lupa atau tidak dengar, tapi perasaan Arin belum memesan. Ia jadi bingung apa yang harus dihitung. "Maaf, kamu pesan apa?"

Melihat pemandangan semacam itu, Arin malah tertawa pelan. Alasannya satu, Juna terlihat lucu dengan gerak pupil yang kebingungan sebelum melempar kata maaf. Dan tawa kecil Arin tambah membuat si adam ingin melompat dari kumpulan awan.

"Kenapa?" ucap Juna.

"Kita seumuran, kan?"

Juna bingung, tapi mengangguk saja. Sementara Arin masih menatap gestur pemuda di depannya. Yang dipandang sudah salah tingkah pangkat kuadrat. Juna menggigit bibir dalamnya sembari sedikit menoleh ke kiri, menyembunyikan deret logam kecil di daun telinga—teringat pesan dari Sena.

'Penampilan luar selalu jadi yang pertama masuk ke mata orang.'

"Aku nggak tahu kamu kerja di sini." Akhirnya Arin memecah keheningan beberapa saat lalu. Jika tidak, bisa mati berdiri si Juna sebab tidak tahu hendak bicara apa. 

'Kita baru dipertemukan kemarin. Selanjutnya boleh nggak sering ketemu?'

"Iya, daripada bosan."

Apa yang dibatin kontras dengan apa yang keluar dari mulut. Juna memilih untuk menjawab secara normal saja. Sekuat apapun paksaan hati, otaknya juga masih berfungsi. Banyak hal harus dipertimbangkan dalam bertindak, yes or yes? 

Arin mengangguk ketika menanggapi ucapan Juna. "Aku pesan caffe latte hangat." Gadis itu mengulurkan telunjuk pada satu nama minuman di kertas menu. 

"Ah, oke." Juna menyahut kemudian segera pergi ke mesin untuk meracik kopi. Diikuti pandangan Arin yang nampak tertarik melihat proses pembuatan minuman kesukaannya itu. 

Tak perlu waktu lama, dengan skill yang sudah cukup Juna kuasai, caffe latte masuk dalam gelas dengan tutup bundar yang direkatkan. Juna lantas kembali ke hadapan Arin untuk menyerahkan pesanan. Tak lupa ia juga menyebutkan nominal yang harus gadis itu bayarkan. "Langsung pulang?" tanya Juna sembari menunggu sang puan merogoh rupiah di tas kecilnya. 

"Iya, sudah malam," kata Arin tanpa membalas tatapan lelaki itu. Barulah ketika ia menyerahkan uang, manik mereka saling bersua. "Terima kasih," katanya sembari tersenyum manis. 

Benar-benar... kalau begini Juna tidak bisa tidur nyenyak nanti malam, sebab kecanduan dan tak sabar dengan ketetapan semesta untuk mempertemukan mereka lagi. 

Arin berbalik, sementara Juna menoleh pada jam besar di dinding. Pukul 09:53 malam. Tujuh menit sebelum jam kerjanya habis. 'Agh! Gue pengen pulang sekarang!' pekik Juna dalam hatinya. 

"A—"

'No, Juna, no! Lo aneh kalau tiba-tiba ngajak pulang bareng.' Pemuda itu masih perang batin rupanya. 

Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna.

-: ✤ :-

Juna :

Kill me, please! |

Terkirim pada kontak bertajuk Sena, namun pesan yang masuk kemudian malah dalam ruang obrolan berlima. 

❬GD LKING❭

Sena :

→ Forwarded 

| Kill me, please!

"What a fudge! Sena Mahatma sialan!"

»»-----  ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status