Share

Bab 3 – Cemburu?

“Apa kamu nggak keterlaluan? Dia perempuan. Tubuhnya akan kelelahan kalau terus bekerja sekeras itu,” ucap Lintang setelah menjelaskan pekerjaan yang sudah berhasil diselesaikan Ziana dalam waktu singkat.

“Aku hanya ingin minta penjelasan. Apa susahnya?” Mahanta mendengus cuek.

“Lalu setelah kamu dengar penjelasannya, mau apa? Kamu sadar nggak, sejak awal hubungan kalian__”

“Kamu mau bilang apa? Mau ngingetin lagi soal taruhan itu? Iya?”

“Maksudku, hubungan kalian itu banyak banget halangannya. Dan__” Lagi-lagi ucapan Lintang terhenti karena gangguan dari ponsel Mahanta yang tergeletak di atas meja. Nama Sherena terpampang sangat jelas disana. Lintang menunjuk ponsel Mahanta, “__ dia salah satu penghalang itu.”

“Jangan banyak bicara.”

Mahanta tidak lantas mengangkat telepon dari Sherena. Sekali panggilannya tidak dijawab, Sherena menelpon sekali lagi, membuat Mahanta terpaksa menjawabnya. Wanita itu sangat keras kepala dan Mahanta baru menyadari hal itu sekarang.

“Ada apa?” tanya Mahanta dingin.

[“Maha, apa kau sudah makan malam? Aku kangen makan masakanmu.”] Suara Sherena terdengar lembut dan menenangkan seperti kolam yang tenang. Tapi sesungguhnya ada buaya yang sedang menunggu untuk menggigit mangsanya.

“Aku bukan kokimu!”

[“IIh, Maha. Kamu yakin nggak mau ke apartemenku? Kita bisa masak sambil ngobrol kayak dulu. Kayaknya aku ngidam deh.”]

“Anak siapa lagi kali ini?” tanya Mahanta dingin.

[“Sayang, kamu kok gitu sih?”]

Saat Mahanta masih mendengarkan ocehan Sherena, Ziana mengetuk pintu ruangan itu. Lintang membukakan pintu lalu bicara dengan Ziana.

“Maaf, Pak. Apa saya sudah boleh pulang? Pekerjaan saya hari ini sudah selesai,” pinta Ziana dengan wajah pucat dan tubuh yang sudah gemetar kelelahan.

Lintang melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mereka bahkan melewatkan makan malam karena ulah Mahanta. “Sebentar ya.”

Ziana tetap berdiri di tempatnya saat Lintang kembali mendekati meja kerja Mahanta. Kedua netranya sudah hampir terpejam lantaran sangat lelah dan lapar. Sebelum pulang, Ziana ingin sekali makan lalapan langganannya. Saat kesadarannya mulai menurun, Ziana terhuyung ke depan dan menabrak dada seseorang di depannya.

Sontak Ziana mendongak, terkejut menyadari dada itu milik Mahanta. Ia buru-buru menegakkan tubuhnya dan berpegangan pada pintu di belakangnya. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” ucapnya formal.

“Kamu mau pulang?”

“Iya, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai. Saya janji besok saya akan datang lebih pagi,” sahut Ziana menahan rasa kantuknya.

“Pergilah.”

Ziana mengangguk ke arah Mahanta dan Lintang lalu berjalan menuju lift. Ia menekan tombol lift yang langsung terbuka di depannya. Baru saja hendak menekan tombol untuk menutup pintu, Mahanta menahan pintu lift dan ikut masuk bersama Lintang. Pria itu tampak bicara dengan seseorang di telepon.

“Aku tahu, Sherena. Aku akan pulang sekarang. Sampai jumpa,” ucap Mahanta lalu menutup teleponnya.

Ziana yang mendengar nama Sherena disebut, seketika merasa sesak di dadanya. Sherena. Nama wanita itu tidak akan pernah Ziana lupakan seumur hidupnya. Sherena adalah kekasih Mahanta, saat pria itu merayunya dan memintanya menjadi pacar Mahanta. Ziana tidak mengetahui kebenaran itu dan terjerat pesona Mahanta begitu saja.

Ziana menghela nafas pelan, sambil bersandar pada dinding lift yang dingin. Seharusnya ia tidak bereaksi seperti ini. Tiga tahun sudah cukup baginya untuk melupakan masa lalu yang kelam. Tapi rupanya hati Ziana tidak benar-benar mengiklaskan kejadian itu.

“...na? Ziana?!”

Ziana tersentak saat Lintang mengguncang bahunya pelan. Dia menatap Lintang dan Mahanta bergantian lalu menegakkan tubuhnya kembali. “A-ada apa, Pak?”

“Aku tanya dari tadi. Kamu turun di lobby atau basement? Kamu kenapa? Sakit?”

Ziana menggeleng pelan sambil tersenyum tipis, “Di basement, Pak. Motor saya parkir disana,” sahutnya lalu mendongak melihat posisi lantai saat ini.

“Apa tidak sebaiknya kamu naik ojek? Kamu yakin berkendara disaat seperti ini?” Lintang melirik Mahanta yang sudah menatapnya dingin. Menggoda Mahanta akan menjadi hobi barunya sekarang.

“Nggak apa-apa, Pak. Saya akan hati-hati. Terima kasih.”

Lift itu terus meluncur sampai ke basement gedung. Mahanta keluar lebih dulu disusul Lintang dan Ziana. Mereka berpisah jalan karena arah parkiran motor dan parkiran mobil CEO berbeda arah. Situasi di basement itu cukup sepi, tapi tingkat keamanannya yang tinggi membuat semua karyawan yang bekerja lembur, bisa merasa tenang saat sendirian.

Setelah memakai atribut untuk berkendara, Ziana pun menjalankan motornya menuju pintu keluar. Ia menekan kartu pegawainya ke sensor yang ada di palang pintu hingga terbuka. Setelah motor Ziana melewati palang pintu itu, mobil Mahanta juga menyusul di belakangnya.

“Ikuti dia. Jangan sampai ketahuan,” titah Mahanta.

“Kenapa nggak nawarin nganterin kalau khawatir?”

Mahanta tidak menjawab karena fokus melihat bagian belakang motor Ziana yang berbaur dengan beberapa pengendara di jalan. Tak lama, Ziana berhenti di depan warung lalapan dan masuk kesana.

“Sepertinya dia lapar. Ngomong-ngomong, kita tadi belum makan malam, bos,” ucap Lintang.

“Kenapa kamu nggak ngomong?!” omel Mahanta sambil memukul pundak Lintang.

“Sudah, bos. Tapi dalam hati.” Lintang kembali menoleh ke depan mobil. “Loh, kok dia keluar lagi nggak bawa apa-apa.”

Atensi keduanya kembali fokus pada Ziana yang terpekur kecewa sambil mengusap perutnya yang lapar. Lalapan yang diinginkan Ziana sudah habis. Sambil menahan rasa lapar, Ziana kembali menjalankan motornya sampai di depan pintu gerbang rumahnya.

“Ini rumah Ziana?” tanya Mahanta sambil memperhatikan ukuran rumah yang tidak lebih besar dari kamarnya.

“Sepertinya iya. Buktinya dia masuk kesana.”

“Cepat pesan makanan. Antarkan kesini.” Pandangannya tidak lepas dari Ziana yang sudah masuk ke dalam rumahnya.

“Untuk kita, bos?” tanya Lintang yang mendapat lirikan tajam ke arahnya.

Lintang segera memesan makanan lewat aplikasi, dan tak lama kemudian, pintu gerbang rumah itu diketuk seseorang. Ziana mengintip keluar dan melihat beberapa ojol memakai jaket berwarna hijau berdiri di depan pintu gerbang rumahnya.

“Siapa yang pesan makanan?” gumamnya lalu keluar dari rumah. “Ada apa, Pak?”

“Atas nama Ziana? Pesanannya sudah sampai, kak.” Salah satu ojol menyodorkan tas plastik yang dibawanya.

“Tapi saya nggak pesan apa-apa, Pak. Salah alamat ya?” Ziana kebingungan dengan situasi yang sedang dihadapinya.

“Alamatnya benar disini kok. Nama kakak juga Ziana ‘kan? Jadi gimana, kak?”

Mendengar salah satu rekan sesama ojol sedikit berdebat dengan Ziana, membuat ojol lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka tidak mau dirugikan karena orderan fiktif. Desakan mereka membuat Ziana menerima salah satu bungkusan makanan itu.

Setelah semua pesanan makanan itu berpindah tangan ke Ziana, ia mengucapkan terima kasih dan berbalik menuju pintu kamarnya. Saat itu, salah satu ojol itu memanggilnya.

“Kak, pesanannya belum dibayar.”

“Apa?!”

Ziana berbalik cepat dengan wajah pucat dan mata melotot. Dia sangat kesal pada orang yang tidak bertanggung jawab memesan makanan dengan mengatasnamanya dirinya. Puncaknya setelah selesai membayar semuanya, Ziana terpekur sedih melihat saldo di rekeningnya yang nyaris kosong.

“Kenapa hari ini aku sial sekali?!” seru Ziana yang bisa didengar Mahanta dan Lintang dari dalam mobil. Mahanta menatap punggung Ziana yang melangkah masuk kembali ke dalam rumahnya. Setelah pintu tertutup, pria itu menendang kursi Lintang dengan keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status