Setelah sepuluh menit, Ziana terpaksa keluar dengan tubuh berbalut handuk saja. Ia terkejut melihat Mahanta berdiri di dekat jendela besar di dalam ruangan itu. Baru saja Ziana berbalik hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, Mahanta memanggilnya.
“Ziana, apa kau ingin menggodaku?”
Ziana memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh, lalu berkata lirih, “Toh Bapak sudah lihat semuanya. Saya hanya meminjam handuk ini sampai pakaian saya kering. Kalau tidak boleh juga, ijinkan saya meminjam kamar mandi Bapak lima menit lagi.”
“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini, Ziana?”
Ziana berbalik menatap Mahanta dengan air mata membasahi pipinya. Dia benci menangis di depan Mahanta, memperlihatkan kelemahannya hingga memberi celah pada pria itu untuk menghinanya lagi. Ziana bahkan tidak tahu apa kesalahannya pada Mahanta hingga membuat pria itu tega mempermainkan perasaannya.
“Apa maumu, Maha? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah membuatmu sakit hati? Apa aku pernah melukai orang yang kamu cintai? Apa yang membuatmu tega melukai hati dan tubuhku?”
Ziana menengadah mencoba menghentikan air mata yang terus membanjiri pipinya. Suaranya sudah tercekat, tapi Ziana berusaha mati-matian mengontrolnya. Nafasnya pun mulai sesak menahan gejolak emosi yang selama ini ia pendam sendiri.
“Kamu tahu, Maha, butuh waktu satu tahun sampai aku bisa berhenti menyalahkan diriku atas apa yang terjadi.” Ziana mengacungkan jari telunjuknya, lalu menaikkan jari tengahnya.
“Tahun berikutnya, aku mulai menerimanya sebagai pelajaran yang sangat berharga. Jangan pernah percaya 100% pada siapapun. Menginjak tahun ketiga, aku menyibukkan diri menyelesaikan kuliahku dan berharap bisa bekerja di sebuah perusahaan besar.”
Usai menunjukan tiga jarinya, Ziana mengusap kasar pipinya yang basah, lalu menyedot kuat ingusnya hingga membuat Mahanta menarik sudut bibirnya. Reaksi Mahanta membuat Ziana tersenyum sinis padanya.
“Maafkan aku yang terlalu banyak bicara. Pasti bagimu ini hanyalah lelucon. Apa artinya perjuanganku jika dibandingkan privilege yang kau dapatkan sejak di dalam kandungan. Baru lahir saja kau sudah mendapatkan uang, fasilitas mewah, bahkan... (Ziana merentangkan tangannya ke atas lalu mengarahkannya pada Mahanta) ...jabatan CEO. Wow!”
Ziana bertepuk tangan untuk mengakhiri pidatonya yang membosankan. Tentu saja, karena pendengarnya adalah seorang Mahanta. Sekali lagi Ziana tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya ke arah Mahanta.
“Sekarang ijinkan saya pergi, Pak CEO yang terhormat. Saya sudah dipecat dan saya cukup tahu diri kalau kehadiran saya disini tidak diharapkan. Sekian yang dapat saya sampaikan, anggap saja iklan yang membosankan. Saya permisi.”
Ziana hampir berbalik, tapi kembali menghadap ke arah Mahanta. “Saya ijin untuk meminjam kamar mandi Pak CEO lima menit saja.”
“Berhenti, Ziana. Kau tidak diijinkan untuk pergi kemana-mana sebelum aku mendengar penjelasanmu. Kenapa kau pergi?”
Ziana berbalik dan melangkah cepat mendekati Mahanta dengan tatapan mengancam. Telunjuknya menekan keras dada bidang Mahanta. Butuh waktu baginya untuk kembali bicara setelah penutupan yang menurutnya cukup.
“Aku pergi karena aku sadar diri. Kita... (Ziana menunjuk dirinya dan Mahanta berulang kali) “...maaf, maksudnya aku, hanya ingin menempatkan diriku di tempat yang sepantasnya. Seharusnya aku sudah sadar sebelum kita melakukannya, tapi aku justru menyerahkan semuanya untukmu. Penjelasan seperti itu ‘kan yang ingin kau dengar? Kenapa? Apa kau merasa bersalah?”
Mahanta hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Ziana. Dari ekspresi wajahnya, Ziana sudah bisa menebak kalau semua ini memang permainan Mahanta agar bisa mencicipi tubuhnya lagi.
“Katakan sesuatu, Maha. Aku ingin tahu, berapa harga keperawananku bagimu? Jangan katakan angka yang dulu. Berapa ya? Sebentar kuingat dulu.” Ziana mengetuk keningnya dengan jari telunjuknya, tampak mengingat sesuatu.
“Seratus juta? Seharusnya nilainya sudah menjadi lima ratus juta lebih sekarang ya. Apa kau akan membaginya denganku?”
“Hentikan, Ziana.” Ekspresi wajah Mahanta mengeras pertanda pria itu mulai kesal dan marah.
“Kenapa? Salahku dimana kalau minta sharing profit? Aku lupa kalau kemarin kita juga melakukannya. Jadi nilainya dua kali lipat dong. Satu miliar lebih. Aku kasih diskon deh, satu miliar saja. Nomor rekeningku ada di Pak Lintang.”
Mahanta memegang lengan Ziana dan menatapnya dalam, “Aku tidak pernah menerima uang itu, Ziana.”
“Rugi sekali. Sudah dapat perawan, tapi uangnya malah nggak kau ambil.” Ziana bahkan tidak peduli lagi dengan harga dirinya. Toh dihadapan Mahanta, dia bukan siapa-siapa.
“Bisakah kau berhenti merendahkan dirimu seperti itu? Aku hanya minta penjelasan, Ziana. Kenapa kau pergi begitu saja setelah kita melewati malam yang indah?”
Suara lembut Mahanta membuat tubuh Ziana merinding. Bulu kuduknya sampai berdiri hingga Mahanta bisa melihatnya. Tapi perempuan itu sudah benar-benar muak pada Mahanta.
“Kamu belum sadar juga? Ok, aku akan membantumu. Pertama, kau tidak jujur padaku tentang hubunganmu dengan Sherena, hingga aku dicap sebagai pelakor.” Ziana menjeda ucapannya sejenak demi mengatur nafasnya yang tersengal.
“Kedua, aku adalah bahan kegabutanmu dengan teman-teman itu ‘kan? Hingga kalian membuatku sebagai bahan taruhan dengan imbalan uang seratus juta.” Ziana kembali berhenti sambil mengusap pipinya yang basah. Bicara sambil menangis membuatnya kesulitan.
“Ketiga, kau yang bilang sendiri kalau aku hanya seorang gadis bodoh yang tidak pantas mengharapkanmu, padahal kau yang mengejarku lebih dulu. Jadi aku membuatnya lebih mudah bagimu. Aku pergi, menghilang dari kehidupanmu.”
Kali ini Ziana kembali meninggikan suaranya. “Seharusnya kau senang ‘kan?! Atau kau belum puas menghancurkan aku?! Belum puas menjadikanku bahan kegabutan kalian?! Bilang saja aku harus apa?! Melayani teman-temanmu juga?!”
“ZIANA!”
Ziana tercekat mendengar bentakan Mahanta yang sangat keras di depan wajahnya. Cengkeraman tangan Mahanta semakin kuat hinggamembuat Ziana sadar kalau dia sudah terlalu banyak bicara. Perlahan ia mundur berusaha menjaga jarak dari Mahanta.
Saat Mahanta bergerak mendekat lagi, Ziana mengangkat tangannya. “Sudah cukup. Aku benar-benar harus pergi sekarang.”
Ziana bergerak ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung yang tidak tahu arah. Kedua tangannya terus memegang kepala dan wajahnya. Mahanta bisa melihat bagaimana Ziana kehilangan ketenangannya. Perempuan itu kembali panik hingga Mahanta harus mendekatinya lagi.
“Ziana, ganti bajumu dulu dengan ini.” Mahanta menyodorkan paper bag ke tangan Ziana, lalu menuntun perempuan itu menuju kamar mandi. “Tenanglah. Kau bebas memakai kamar mandi ini. Bahkan kamar ini. Aku tidak akan mengganggumu. Take your time.”
Setelah pintu kamar mandi kembali tertutup, Ziana membuka kran wastafel dan mencuci wajahnya dengan cepat. Ia nyaris kehabisan nafas dan baru berhenti saat hampir tidak sadarkan diri. Tubuh Ziana merosot ke lantai dan kembali terisak dengan sangat memilukan.
Butuh waktu setengah jam untuknya menenangkan diri dan memakai pakaian yang Mahanta berikan. Ia menatap penampilannya di cermin wastafel. Pakaian itu sangat pas di tubuhnya dan terlihat sangat indah. Tapi Ziana sama sekali tidak bahagia. Kedua matanya sangat bengkak dan sulit disembunyikan bahkan dengan make up.
“Bagaimana aku bisa keluar seperti ini? Orang-orang akan berpikir kalau mataku habis disengat tawon.”
Ziana menghela nafas panjang sekali lagi, sebelum keluar dari kamar mandi. Ia melihat nampan berisi makanan dan minuman diatas meja. Bahkan tas tangannya juga ada disana. Satu hal yang membuat Ziana tertegun adalah kompres es batu yang dibalut handuk kecil. Sebuah note tertulis disana.
{“Makanlah dulu sebelum pulang. Kompres juga matamu. Saat kau keluar nanti, tidak akan ada orang yang melihatmu. Mahanta.”}
“Masih punya hati juga, Pak. Apa ini pengganti pesangonku ya?” gumam Ziana lirih.
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar