Prang.Suara nampan berbahan stainless steel jatuh bersama piring kaca. Sedetik piring itu pecah berkeping-keping di lantai, menyebabkan makanan di atasnya berhamburan bersama pecahan-pecahan. Setiap hari, rumah Arum penuh dengan keributan antara dirinya dan sang anak, Vika."Vika, tolong jangan terus seperti ini," kata Arum dengan suara yang tertahan."Kenapa aku tidak bisa mati saja, Bu? Mengapa aku harus menanggung balasan dari kesalahanmu?" seru Vika tanpa ampun.Seperti biasa, Vika menolak untuk makan makanan yang sangat ibu bawakan padanya. "Ini ujian, Vika," ucap Arum, mencoba menahan perasaannya."Jangan bicara tentang ujian, Bu. Ibu dengan sengaja merebut suami orang. Tidak usah sok suci!" Vika menghardik tanpa mempedulikan efek dari perkataannya terhadap ibunya. Kekecewaannya telah melampaui batas yang bisa dikendalikan."Vika, dia adalah ayahmu. Ayah kandungmu, semuanya sudah berlalu. Kita bisa melupakan masa lalu," usaha Arum mencoba membujuk."Melupakan dosa, Bu? Bagaima
“Terimakasih, Sayang.” ucap Bastian sesat menaikkan celananya kembali.Dia memandang sayang sang istri yang berantakan karena ulahnya. Usai dengan dirinya, Bastian membantu menaikkan resleting baju terusan sang istri. Pria itu juga mengusap rambut panjang sang wanita sedikit merapikannya.“Harusnya kita tidak melakukannya, Biang kerok.” ucap sang istri.Tangan pria itu berhenti dan menariknya cepat dari rambut sang istri. Kalimat itu seakan-akan membuat harga diri Bastian tersakiti. Ya, mungkin saja Cilla merasa menyesal telah bercinta dengannya.“Jadi kamu tidak menginginkan aku?” jawab Bastian menatap tajam sang istri yang masih merapikan bajunya.“Bukan…” kalimat Cilla terhenti saat sang suami menyela ucapannya yang belum lengkap.“Apa sebegitu tidak inginnya kamu sama aku, Kopi? Sudah aku duga. Kamu tertarik dengan pria pemilik restoran itu!” ujar Bastian emosi.Cilla tertegun mendengarnya. Wanita itu menyipitkan matanya menatap sang suami yang sudah dalam keadaan emosi. Sebenarny
“Mas gak ke Mbak Cilla?” tanya Vika sesaat sampai rumah.Bastian hanya diam tidak menjawab perkataan sang adik. Vika pagi ini berlatih berjalan sendirian hingga ke rumah Bastian. Jika biasanya dirinya menggunakan dua kruk, kini ia mencoba menggunakan satu kruk saja.“Mas tuh gak boleh tauk diamin istri sendiri. Apa gak pengen bikin keponakan lagi buat aku?” goda Vika membuat Bastian berdecak kesal.“Ck, apa sih Ubi Cilembu! Harusnya aku yang tanya, kamu kan habis ketemu keluarganya Danilo. Gimana rencana pernikahan kalian?”Vika menyipitkan mata, seakan tahu dengan jelas. Bastian mengalihkan pembicaraan.“Gak usah ngalihin topik deh, Mas.”“Ubi, aku cuma gak mau bahas kopi. Dia benar-benar gak mau sama aku. Bahkan sekarang lagi dekat sama pengusaha restoran itu.”“Oh, masalahnya cemburu nih?” tebak Vika tepat. “Astaghfirullah Mas Bas, Mas sama mbak Cilla tuh udah dewasa kalik. Masa iya kayak anak ABG labil gitu.”“Aku ngomong kenyataan, dia lagi pdkt sama pemilik restoran yang di deka
“Aku senang kamu dateng. Aku kesepian setiap hari tanpa kamu. Ini rumah kamu juga. Kenapa harus ke rumah ibu?” kata Bastian pelan dalam pelukannya bersama Cilla.Cilla terdiam menikmati harum tubuh sang suami. Aroma kayu dan perpaduan bau badan Bastian diam-diam menjadi favorit Cilla. Kalau bisa jujur, Cilla juga sangat merindukan sang suami. Namun, bibirnya terlalu berat untuk mengakuinya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengutarakan isi hatinya.“Kopi, kamu dengar apa yang aku katakan?” tanya Bastian seraya mengurai pelukan.Mata sipitnya yang basah oleh air mata menatap wajah sang istri yang menunduk. Dia mencoba mencari jawaban dari sana.“Iya, dengar.” jawab wanita itu menyembunyikan wajahnya.“Kenapa kamu gak mau tinggal di sini aja?” tanya pria itu lagi.“Aku, aku harus nemenin ibu, Tian. Aku juga sebenarnya masih gak bisa ketemu bapak. Hatiku masih begitu sakit.” kata Cilla. Lantas dirinya berbicara di dalam hati. “Aku juga sebel kalau lihat kamu sama Elka. Masih saja kalia
“Kamu gak punya malu ya, Mbak Elka. Dasar ulat bulu!” geram Vika pada Elka.Iya, tamu yang datang adalah Elka. Vika tentu merasa kesal dengan kata-kata yang tidak pantas didengarkan itu.“Jangan ikut campur Vika. Kamu hanya anak haram di sini. Ah, apa kamu sedang berusaha mengambil hatinya Cilla supaya kamu diterima begitu?”Vika kini merasakan kemarahan menekan hatinya secara cepat. Tangannya memegang selang dengan kuat, ia sangat terlihat menahan emosinya. Kalimat Elka memang memprovokasi dirinya.“Nah, diam lebih baik. Dan kamu Cilla, kapan sih kamu ninggalin Bastian? Bukannya sudah beberapa bulan ini kamu tega biarin dia sendirian? Sekarang, justru kamu balik lagi.” kata Elka dengan mata yang tajam, seakan akan keluar dari tempatnya.“Elka, dia suamiku. Mau aku datang, tinggal di sini ataupun aku mau apapun itu sesuka hatiku. Kamu, tidak perlu repot-repot bertanya.” balas Cilla santai.Dia adalah nyonya di rumah ini. Tentu itu tidak akan tergantikan siapapun juga. Apalagi, posisin
“Dasar singa lapar!” ejek Cilla seraya mencium rambut berantakan sang suami. Pria itu mengernyitkan dahinya sesaat membuka matanya sedikit. Bastian masih saja tidur meskipun siang hari telah datang. Pria itu menggeram saat terganggu tidurnya.“Hmm, Kopi!” keluhnya dengan mata yang masih terpejam.Cilla tersenyum melihat sang suami terbangun. Ia menatap penuh wajah lelah pria itu. Rambutnya yang berantakan sedikit menutup dahinya itu disuap olehnya.“Kamu gak lapar?” tanya wanita itu seraya merapikan rambut sang suami yang berantakan.Hari yang indah tanpa sebuah perdebatan atau pertengkaran dari mereka berdua. Mungkin, ini adalah titik di mana seharusnya mereka bersikap. Ataukah, justru ini hanyalah sementara? Sebuah rindu yang menyatu dan terobati dengan kebersamaan membuat mereka tampak akur.“Emmmh, lapar tapi aku ngantuk, Kopi.” jawab sang suami dengan suara serak khas orang bangun tidur.“Dasar, yaudah tidur satu jam lagi ya. Udah Dzuhur, bangun jam satu nanti ya.” bisik Cilla
Prakk"Aku benci sama kamu, Tian!" pekik Cilla usai memukul pemuda itu dengan sebuah balok kayu.Cilla sangat marah sebab pemuda itu menekan jerawatnya di dahi hingga luka. Sebelumnya, mereka berdebat seperti hari-hari biasanya. Tian, Bastian si pemuda jangkung dengan rambut lurus itu memegangi telinganya. Tak lama tangan pemuda itu basah oleh darah akibat luka yang timbul dari pukulan Cilla.Tak hanya hari ini, semenjak mereka masuk di bangku sekolah menengah pertama. Bastian dan Cilla sering terlibat pertengkaran. Kribo, jerawatan, dan kopi adalah sederet kalimat ejekan Cilla yang dilontarkan oleh Bastian."Ahhh..." rintih Bastian masih menekan telinganya yang seakan berdengung.Sesaat Cilla berubah menjadi khawatir. Apakah dirinya keterlaluan memukul Bastian? Tangan lentik gadis itu menyentuh tangan Bastian yang berlumuran darah. Ia segera menarik pemuda itu untuk ke UKS sekolah.***Bastian Hananta, pemuda jangkung dengan mata hitam legam itu memandang lalu lalang motor yang lewat
Mata bulan sabit itu tengah fokus pada layar ponsel yang ia genggam. Alisnya terangkat satu saat melihat sebuah foto yang baru saja muncul di media sosialnya. Tangan kokohnya meletakkan ponsel itu dan nampak menghembuskan nafasnya panjang. Ia beralih berdiri di jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Matanya memandang jauh ke seberang jalan. Di mana rumah bercat hijau tosca itu berada. Tak lama penghuni rumah itu keluar. Dengan kaos putih tulang dan celana pendek, gadis itu sedang menyiram tanaman di depan rumahnya. Seperti sebuah kebetulan, gadis yang ia lihat di ponselnya membagikan fotonya dengan sang kekasih. Kini ada di depan sana.Bastian beralih turun ke lantai satu ia menuju jendela yang ada di dekat pintu.Sang nenek melihat cucunya itu menatap keluar jendela sudah paham. Siapa yang dilihat cucunya itu? Bastian melihat gadis itu yang tengah menyiram tanaman di halaman rumahnya. Bibirnya terangkat membentuk kurva. Binar matanya seolah mengatakan bahwa ia sangat menyukai