Dasar gadis ini sok jual mahal! Membuat kesabaranku habis saja!"pekik Juragan Bani murka.
"Tahan emosi Anda, Tuan Bani!!" Ettan mencegah Juragan Bani yang hendak menyakiti gadis itu.
Inara terperanjat kaget.
"Bagaimana Inara, kau memilihnya atau memilihku?" tukas Harshil, membuat konsentrasinya terpecah.
Inara memandang abahnya, kedua netranya tampak berkaca-kaca.
"Bagaimana, Bah?" bisik Inara di telinga sang abah.
"Nak, jawablah sesuai yang ada di hatimu. Abah akan mendukungnya. Abah selalu berdoa kebaikan untukmu."
Inara mengangguk.
"Baik, Tuan. Saya bersedia menikah dengan Anda. Tapi jangan tuntut saya," sahut Inara gugup dan tertekan. Entah apa yang terjadi nanti, akan ia pikirkan belakangan. Untuk sementara ini dia hanya ingin terlepas dari jerat Juragan Bani yang mencekiknya dengan alasan utang.
Harshil tersenyum simpul.
"Hei Inara! Kau tak bisa menikah dengannya! Abahmu masih punya hutang denganku!" tukas Juragan Bani, emosi. Pria hidung belang itu tak percaya kalau Inara justru memilih seorang pria yang lumpuh dari pada dirinya yang sempurna, segar-bugar bahkan dengan stamina yang masih kuat.
"Berapa total hutangnya?" tanya Harshil meremehkan.
"Hutang pokok sekaligus bunga total 30 juta."
"Hanya segitu? Kau sudah ribut?" tanya Harshil kembali.
Juragan Bani mendelik ke arahnya. Ia baru menemukan seorang yang lebih sombong dari dirinya.
"Apa, Juragan? Kok jadi banyak banget? Kami kan hanya meminjam 5 juta saja itu pun dengan menggadaikan sawah!"
"Hei, Abah Suma! Kau hutang tuh dari tahun kapan gak dibayar-bayar?! Bunganya setiap hari naik terus! Jadi jangan banyak protes!! Sini uang 30 juta beserta uang gadai sawah bila sawahmu ingin kembali, 50 juta. Jadi total 80 juta!"
Abah Suma dan Inara sangat kaget saat mendengar jumlah hutang yang harus ditebusnya.
"Bah, sebanyak itu kita tidak mungkin melunasinya," bisik Inara lemah.
Abah pun hanya mengangguk pasrah. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Bila harus nyawanya yang dikorbankan, ia pun rela melakukannya, asalkan putrinya tidak merasa tersakiti.
"Ettan, siapkan cek untuk Bapak Juragan yang terhormat ini! Lunasi semua hutang-hutang abah dan tebus kembali sawah itu!" titah Harshil, tegas.
"Baik, Tuan Muda."
Harshil memberikan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya, 80 juta rupiah.
"Terima ini, kau bisa mencairkan dimana saja dan kapan saja!"
Juragan Bani mengambil kertas dari tangan Harshil lalu tersenyum penuh kemenangan.
"Ingatlah, kau tak perlu mengganggunya lagi. Mereka sudah tak ada sangkut pautnya lagi denganmu."
Juragan Bani hanya menyeringai, lalu pergi. "Tak dapat Inara, 80 juta pun tak apa," lirihnya sembari mencium cek yang ada di tangannya.
Inara dan Abah merasa tak enak hati karena harus melibatkan orang lain dalam masalahnya.
"Tuan--"
Harshil mengangkat tangannya, tak ingin mendengar bantahan dari mereka.
"Inara, besok bersiap-siaplah!"
Setelah mengatakan hal itu Harshil langsung pergi.
"Besok? Ma-maksud, Tuan?" tanya Inara yang makin tak mengerti.
"Besok Ettan akan datang kesini menjemputmu. Kita harus melakukan fitting baju pengantin yang sesuai dengan ukuranmu."
"Fitting baju?"
Tak ada sahutan dari pria dingin itu. Seketika tubuh Inara melemas. Ia bahkan tak diberi kesempatan untuk menjelaskannya lagi.
"Nak, maafin Abah. Ini semua salah Abah. Abah tak berdaya, kamu justru terjebak dalam situasi yang rumit seperti ini."
Inara memeluk tubuh renta di hadapannya, lalu menggeleng pelan. Dukungan dari abahnya cukup membuatnya kuat.
"Tidak apa-apa, Bah. Ini sudah jalan hidup yang harus kulalui. Insyaallah Inara ikhlas. Insyaallah, Inara akan menerima dan menjalaninya dengan hati yang lapang," ucapnya sambil tersenyum.
Inara harus mengalah, ia tak ingin menambah beban pikiran untuk abahnya. Mungkin inilah yang terbaik untuknya saat ini. Dari pada harus diperistri oleh Juragan Bani dan tinggal bersama dua istrinya yang lain yang cerewet dan gila harta, rasanya tak sanggup. Pasti disana ia akan menjadi bulan-bulanan. Meskipun yang ia pilih saat ini tak tahu bagaimana nasib ke depannya. Bagaimana keadaan keluarganya yang dirasa cukup pelik itu. Setidaknya ia hanya menjadi satu-satunya seorang istri. Dan lagi, lelaki itu bilang kalau hanya akan menikahinya selama enam bulan. Itu cukup singkat untuk sebuah perjanjian pernikahan. Entahlah apakah ini dosa? Ia hanya bisa menjalankan saja, untuk hasilnya ia pasrahkan pada Allah Sang Maha Pencipta.
Mungkin pertemuannya dengan seseorang bernama Harshil sudah suratan takdir yang Maha Kuasa. Ia pun cukup lega karena hutang-hutang abahnya sudah lunas. Sawahnya pun sudah kembali menjadi hak milik abahnya.
Inara akan lakukan apapun untuk Abah, karena hanya dia satu-satunya keluarga yang tersisa. Ibunya meninggal saat usianya dua tahun, dan sejak saat itu, abahnya lah yang merawatnya, membesarkannya, memberikan kasih sayang tulus, tanpa jeda, tanpa tapi. Semua abah lakukan sendiri demi memenuhi kebutuhan hidup putrinya, memeras peluh di bawah terik mentari. Begitu pula pendidikannya, abah berusaha menyekolahkannya meskipun hanya bisa sampai tamat SMA saja, tapi Inara sangat bersyukur, karena setidaknya ia tidak buta huruf, kecerdasannya pun di atas rata-rata. Hanya saja, nasibnya tak seberuntung yang lain. Tapi tak apa, demi orang yang tersayang, Inara rela berkorban, walaupun sebelah hatinya terasa begitu berat. Ia ingin berbakti kepada abahnya tercinta.
"Bah, doakan Inara, semoga ini pilihan yang terbaik."
"Aamiin, bahagia selalu, Nak."
***
Sore itu, Ettan datang lagi ke rumah. Ia membawa berkas-berkas.
"Abah, ini surat-surat sawahnya. Disimpan baik-baik ya," ucap pria itu dengan sopan.
"Terima kasih, Tuan."
"Jangan panggil saya Tuan, Bah. Panggil aja Ettan."
Abah Suma hanya mengangguk sungkan.
"Dan Non Inara, ini berkas-berkas yang harus Non pelajari."
"Menikah pun harus mempelajari berkas?" tanya Inara polos.
Ettan tersenyum menanggapinya. "Iya, Non, ini silsilah keluarga Tuan Muda, jadi Anda harus mempelajarinya, menghafal nama-nama mereka. Dan ini tentang berkas perjanjian nikahnya, tugas apa saja yang harus Non Inara lakukan pasca menikah nanti."
Inara menelan salivanya sendiri, dia harus membaca kertas berlembar-lembar itu dan menghafalnya satu persatu?
"Nanti akan ada waktu Non Inara dikenalkan dengan keluarga besar Tuan Muda. Jadi ini buat pegangan dulu, biar Non Inara tahu."
Inara mengangguk walaupun tak sepenuhnya mengerti.
"Non, ini beberapa pasang baju, sepatu dan tas dari Tuan Harshil. Tuan ingin besok Non memakainya. Dia tadi sengaja mampir ke Butik langganannya untuk membeli ini semua. Dan ini beberapa kemeja untuk Abah," ujar Ettan sembari menyerahkan beberapa tas belanja.
Inara sampai bingung dibuatnya, baru kali ini ada yang membelikan barang sebanyak ini.
"Sampaikan salam terima kasih untuk Tuan Harshil ya, Tuan," sahut Inara kikuk.
"Jangan panggil saya Tuan, Non. Panggil saja, Ettan."
Inara mengangguk sambil tersenyum canggung.
Setelah mengantarkan maksudnya, Ettan menelepon sang majikannya bahwa tugasnya telah selesai.
"Bah, bukankah ini sangat berlebihan? Kenapa dia kirim barang sebanyak ini? Padahal tadi uangnya sudah habis banyak buat bayarin hutang kita."
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi