Adit terdiam sesaat. Sorot matanya memudar, seolah terhisap kembali ke masa yang sangat jauh, ke lorong waktu gelap yang jarang ia sentuh, apalagi ia buka untuk siapa pun.Sarah menatapnya dalam diam. Dari wajah Adit yang memucat perlahan, dari napasnya yang mulai pendek-pendek, dari bagaimana matanya berkedip lambat sambil menghindari tatapannya.Sarah tahu. Apa pun itu, pasti sangat berat. Atau bahkan … mungkin sangat menyakitkan.Dengan pelan, Sarah mengangkat tangan dan mengusap rambut Adit yang sedikit gondrong dan berombak lembut, jari-jarinya menyisir helai-helai yang sudah mulai lembap oleh keringat dingin. Wajah Adit adalah perpaduan misterius antara aktor Nicholas Saputra dan El Rumi. Adit terlihat begitu tenang di luar, tapi Sarah tahu, dalamnya bergejolak.“Aku di sini, Dit,” bisiknya. “Kamu gak sendirian.”Adit menghembuskan napas pelan. Suaranya tertahan di tenggorokan. Tapi untuk pertama kalinya malam itu, ia mulai membuka pintu rahasia kelamnya.“Aku … dulu tinggal di
"Dia emosi waktu itu, Dit. Aku nggak mau cari pembenaran buat dia, tapi ... mungkin Hardian juga nggak cerita karena dia bingung. Serba salah. Karena walau bagaimana pun, Damar itu papanya kan.”Adit terdiam. Ia mengatupkan rahangnya, menahan amarah yang menggelegak di dadanya. Tapi ia tahu Sarah benar. Di satu sisi, Damar adalah sosok yang semakin membingungkan. Di sisi lain, Hardian tetaplah anak dari pria itu. Posisi Hardian sungguh tidak mudah. Jadi Adit berusaha mengerti.Adit menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Lalu ia kembali berbaring, menatap Sarah. "Kalau dia ... sampai nyakitin kamu lagi, kamu janji sama aku, kamu langsung kasih tahu aku. Jangan tutupin apa pun, oke?"Sarah menatap Adit lekat. Ada haru yang menggantung di pelupuk matanya. "Aku janji."Adit tersenyum tipis, lalu menarik wajah Sarah mendekat. Mereka kembali berciuman, kali ini lebih pelan, lebih penuh rasa sayang yang mendalam. Tak terburu-buru. Tak tergesa-gesa. Hanya ingin memastikan bahwa satu s
Adit memosisikan tubuh Sarah untuk sedikit menungging.Ia pun mengatur posisi yang pas untuk tongkat ajaibnya tenggelam dalam lembah. Sarah kembali mendesah ketika ia merasakan bagian paling rahasia dan pribadi pada tubuhnya itu telah dimasuki sesuatu yang kekar, besar dan panjang. Sampai ia sendiri merasa penuh."Adit ...," pekik Sarah lirih. Suara itu serasa seperti keluar begitu saja tanpa terencana."Apaan sih ...?" sahut Adit dengan suara gemetar. Sembari bermain dengan pinggulnya yang maju mundur, tangan kanan Adit meraih sebelah bukit dari belakang dan meremasnya lembut. Sedangkan tangan kirinya, menepuk-nepuk bokong Sarah yang kecil tapi penuh dan bulat.Beberapa waktu kemudian, setelah semua hasrat dan rindu tuntas mereka bayar dengan pelukan dan ciuman yang penuh kejujuran, Sarah menyandarkan kepalanya di bahu Adit. Jemarinya menggambar lingkaran kecil di dada pria itu, seolah mencari ketenangan dalam gerakan yang berulang.“Aku sayang banget sama kamu,” ucap Adit pada Sara
Adit mengangkat Sarah ke dalam pelukannya, tubuh perempuan itu ringan seolah memang hanya ditakdirkan untuk berada di dalam genggamannya. Sarah tertawa kecil, lalu menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Adit. Aroma parfum dari kulit Adit dan kehangatan tubuhnya membungkus Sarah dengan rasa aman yang sudah lama ia rindukan.Adit meletakkan Sarah perlahan di atas ranjang, lalu menyusul berbaring di sampingnya. Mereka tak langsung bicara. Hanya menatap satu sama lain dalam diam yang nyaman, tangan saling menggenggam dan wajah hanya berjarak beberapa jari. Tak butuh kata, karena rindu mereka sudah menjelaskan segalanya.Sarah melingkarkan lengannya di sepanjang leher Adit yang berada di atasnya. Mereka bertatapan dengan penuh makna.Lalu Adit mendaratkan bibirnya di atas kening Sarah yang licin. Usia Sarah memang terpaut 14 tahun darinya. Namun wajah Sarah seperti teman sebaya. Tanpa kerut-kerutan halus. Dia benar-benar awet muda.Sarah seperti selalu berendam dengan formalin. Bibir A
"Kenapa belum ada kabar juga sih, Sarah …," gumam Adit pelan, nyaris seperti keluhan yang ditujukan ke dinding kosong. "Udah hampir dua jam loh. Apa dia kejebak? Apa Damar tahu?" Ia kembali membuka layar ponselnya, menatap kolom percakapan mereka. Pesan terakhir dari Sarah masih tertulis di sana: “Dit, maaf. Aku masih usaha cari celah bisa keluar. Tunggu aku ya, aku pasti datang. Kita janjian di lobi Five Hotel. Jamnya nanti aku kabari lagi.” Adit lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan, bersandar ke dinding. Rasanya seperti sedang menunggu kabar hidup dan mati. Campuran cemas, rindu, dan rasa bersalah berputar-putar dalam dadanya seperti arus pusaran air yang tak pernah memberi ruang untuk napas panjang. Dan saat ia membuka mata lagi, layar ponselnya menyala. Getaran pendek menyertai notifikasi yang muncul di atas layar. Sarah: Sekarang ya Dit. Aku udah pesen kamar incognito. Kamar nomer 82. Kalau kamu duluan yang datang ke sana, bilang saja sama resepsionisnya. Ambil saja
Di ruang tengah, Damar tengah duduk sambil membaca tablet. Tampilannya santai, tapi ekspresinya tidak sepenuhnya lepas. Ia terlihat awas—siaga, seolah tahu kapan pun Sarah bisa membuat langkah berani lagi.Meri masuk dengan langkah ringan, tapi wajahnya dibuat sedikit tegang. Ia berhenti beberapa meter dari tempat Damar duduk.“Mar,” panggilnya pelan. Memanggil santai dan akrab karena memang Meri juga sudah kenal lama dengan suaminya Sarah itu.Damar mengangkat kepala. “Hmm?”“Aku ... aku mau minta tolong. Sarah bisa temenin aku gak? Aku harus ke rumah sakit,” ucap Meri, mencoba terdengar sungguh-sungguh.Damar mengernyit. “Kenapa ke rumah sakit? Kamu sakit?”Meri menggigit bibir bawahnya, lalu menunduk, seolah malu.“Kayaknya aku ... aku hamil.”Damar langsung membeku. Tablet di tangannya ia letakkan perlahan ke meja. Wajahnya sulit dibaca. Antara bingung, kaget, dan sinis.“Kamu ... hamil?” ulang Damar perlahan.Meri mengangguk kecil. “Iya. Aku belum pasti sih. Tapi aku telat cukup