Adit terjebak dalam pesona Sarah—ibu sahabatnya sendiri—yang seharusnya tak boleh ia inginkan. Di balik pertemuan-pertemuan terlarang, batas moral kian memudar, sementara suami Sarah dan Hardian bisa menghancurkan segalanya jika rahasia ini terbongkar. Semakin ia berusaha menjauh, semakin ia tenggelam dalam daya tarik yang tak bisa dilawan. Tapi seberapa lama api ini bisa disembunyikan sebelum semuanya terbakar?
View More“Ah ....”
Seketika langkah Adit terhenti di depan pintu kamar yang tertutup.
Malam ini Adit menginap di rumah Hardian. Ia dan Hardian adalah teman satu jurusan di Universitas yang sama. Beberapa bulan belakangan ini mereka menjadi teman karib karena merasa klop dan cocok satu sama lain.
Beberapa kali pula, Adit yang merupakan anak rantau di Jakarta, menginap di rumah Hardian.
Dari numpang makan, menghindari omelan ibu kos yang menagih tunggakan.
Tapi dari beberapa kali menginap, baru kali ini ia mendengar suara desau aneh yang membuat penasaran. Suara yang ia dengar terdengar manja tapi seperti butuh pertolongan. Susah menjelaskannya.
Akhirnya niat ingin buang air kecil di malam hari, berubah menjadi acara ‘mengintip’.
Suara menggoda itu kembali terdengar. Membuat jantung Adit semakin berdebar.
‘Papanya Hardi udah pulang dari luar kota kali ya?’ tanyanya di dalam hati.
Adit berdiri terpaku di depan pintu kamar itu, mencoba menenangkan dirinya. Suara aneh yang baru saja ia dengar membuatnya bimbang.
Tapi suara itu … suara itu seolah terus memanggilnya.
Ia pun mendekatkan telinganya ke pintu, mendengar dengan lebih saksama. Lagi-lagi suara desahan itu terdengar, kali ini sedikit berbeda, lebih intens.
Jantung Adit berdebar semakin cepat. Tangannya mulai bergerak menuju kenop pintu, meskipun otaknya berusaha menahan.
Tubuhnya seakan bergerak di luar kendali. Dengan ragu, ia memutar kenop pintu perlahan. Pintu itu ternyata tidak terkunci.
Perlahan, Adit membuka pintu sedikit demi sedikit, cukup untuk mengintip ke dalam kamar tanpa menarik perhatian.
Adit membelalakkan matanya. Sarah, yang ia tahu adalah mamanya Hardi itu tengah berada di sana, tetapi bukan dalam situasi yang ia bayangkan sebelumnya.
Sebelumnya, ia pikir mama dan papanya Hardian sedang bermain panas. Namun, dugaan Adit salah.
Di hadapannya, Sarah membiarkan malam menyelimutinya, jari-jarinya menari dalam sunyi, seakan mencari sesuatu yang tak bernama namun begitu akrab.
Adit menelan ludah. Pandangannya tetap terfokus pada tubuh Sarah yang bergerak pelan di atas kasur, bermain bersama 'mainannya'.
Wanita cantik berusia tiga puluh tujuh tahun itu, mengikuti ritme yang ia ciptakan sendiri.
Adit seharusnya menutup pintu dan pergi, tapi kakinya terpaku. Ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya untuk berpaling.
Ia mulai merasa tubuhnya memanas, seiring dengan setiap detik yang ia habiskan menyaksikan pemandangan yang tak seharusnya dilihat.
Sekilas senyum muncul di wajahnya. ‘Ini gila!’ tegasnya pada diri sendiri. ‘Cepat pergi, tolol!’
Jantung Adit semakin berdetak lebih cepat tatkala Sarah semakin tenggelam dalam permainannya sendiri. Sepasang kaki Adit gemetar dan mulutnya ternganga. Ia benar-benar terhipnotis pada apa yang ia lihat saat ini.
Namun, tiba-tiba, Sarah berhenti.
“Eh …”
Adit menahan napas, takut jika pergerakannya atau deru nafasnya yang tak terkendali telah menarik perhatian Sarah. Ia takut Sarah menoleh!
Tapi bukan itu. Sarah, masih dalam posisinya.
Adit kembali menghembuskan nafas pelan. Lega keberadaannya tidak diketahui.
Namun Sarah tiba-tiba merasa seolah ada yang memperhatikannya. Seperti ada sesuatu yang tak beres. Ia menoleh ke arah pintu, matanya menyapu ruangan dengan cepat.
Adit panik.
Ia segera menarik kembali tubuhnya dari celah pintu, menutupnya dengan cepat, namun cukup pelan agar tidak menimbulkan suara mencolok.
Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi dahinya. 'Sial ... Mamanya Hardian ngeliat aku nggak ya?!’ serunya bertanya pada diri sendiri.
Ia menunggu beberapa detik dalam keheningan, mendengarkan apakah ada suara dari dalam kamar. Namun, tak ada. Kamar itu kembali hening.
Adit menghela napas lega, meski tubuhnya masih gemetar akibat apa yang baru saja ia lakukan. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan debaran jantungnya.
Kepalanya dipenuhi oleh rasa bersalah dan campuran emosi yang membingungkan. Di satu sisi, ia merasa perbuatannya tadi salah, sangat salah.
Namun di sisi lain, ada perasaan yang tak ia pahami yang membuatnya tersenyum tipis, mengingat kembali apa yang baru saja dilihatnya tadi.
Adit masih menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan degup jantung yang tak kunjung mereda. Otaknya berkecamuk antara perasaan bersalah dan kenikmatan terlarang dari apa yang baru saja dilihat oleh kedua matanya.
"Adit! Ngapain di sini malam-malam?"
Udara di ruangan itu mendadak semakin berat. Sarah bisa merasakan bulu kuduknya berdiri, seakan hawa dingin dari AC bercampur dengan tekanan yang tak kasat mata.Bondan melirik Sarah, seolah memberi kode untuk berhati-hati dalam menjawab. Tapi sebelum ia sempat bicara, Sarah sudah lebih dulu membuka suara.“Punya,” ucapnya cepat.Kompol Sambo mengangkat wajahnya, tatapannya menusuk. “Ya sudah, mana?” suaranya tegas, mengandung nada perintah.Sarah menelan ludah. “Tidak saya bawa, Pak. Ada di handphone Adit.”Sejenak suasana hening. Sambo mengetuk meja dengan jarinya, satu, dua kali. Bondan segera maju selangkah, mengambil alih.“Kami juga menginginkan Adit dibebaskan, Pak Sambo. Kenapa pelapor malah ditahan? Apa-apaan ini? Klien saya datang untuk mencari keadilan, malah diperlakukan seperti tersangka. Tidak masuk akal.”Sambo menoleh perlahan, menimbang kata-kata Bondan dengan wajah tanpa ekspresi.Bondan tak berhenti di situ. “Dan satu lagi. Saya ingin Anda memperlihatkan rekaman CCT
Suasana ruang tunggu kembali terasa berat, seperti udara yang mengendap di antara dinding tebal kantor polisi. Denting jam dinding terdengar lebih jelas, setiap detiknya seakan menghantam dada Sarah. Ia menggenggam erat ujung blazer yang dikenakan, mencoba menahan kegelisahan yang mendidih.Bripka Surya akhirnya mengembuskan napas keras. Ia berdiri, tangannya bertumpu di meja seakan menyalurkan sisa wibawa yang masih ia genggam. “Baik,” ucapnya singkat, suara dalamnya terdengar agak bergetar. “Saya akan antar kalian menghadap atasan saya. Tapi kalian tunggu di sini dulu. Jangan buat keributan.”Bondan menautkan alisnya, menilai tiap kata dengan hati-hati. “Baik, kami tunggu,” jawabnya tenang, meski sorot matanya menusuk.Surya hanya mengangguk kaku, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Suara langkah sepatunya menggema di koridor panjang yang menuju ruang pimpinan. Pintu kayu berlapis kaca buram bergoyang pelan ketika ia melewatinya, lalu hening kembali.Sarah menoleh cepat ke arah Bond
Satu setengah jam kemudian, suasana ruang tunggu kantor polisi masih panas. Sarah berdiri kaku, air matanya mulai kering, berganti dengan keteguhan hati. Beberapa polisi yang tadinya ikut menahan Adit kini kembali ke meja mereka, namun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan.Di tengah ketegangan itu, pintu depan terbuka. Seorang pria tinggi berkacamata, dengan jas hitam sederhana, masuk sambil membawa map cokelat di tangannya. Wajahnya tegas, langkahnya mantap. Dialah Bondan, pengacara yang sekaligus sahabat lama Sarah.“Sarah!” panggilnya, nada suaranya cemas. Ia segera menghampiri. “Kamu nggak apa-apa? Aku dapat teleponmu barusan, langsung ke sini.”Sarah mengangguk cepat. “Aku nggak apa-apa, Dan. Tapi Adit … mereka jeblosin dia ke sel tanpa alasan jelas. Semua gara-gara laporan kita yang dihilangkan. Yang tadi udah aku ceritain di telepon!”Bondan menatap sekeliling dengan pandangan tajam, lalu menancapkan matanya pada Bripka Surya. “Jadi kamu yang namanya Surya?” tanyanya, suarany
Pagi menjelang siang, jalanan menuju kantor polisi mulai ramai. Motor-motor berdesakan, mobil saling klakson, dan suara pedagang kaki lima bersahutan. Namun di balik hiruk pikuk itu, langkah Adit dan Sarah justru berat.Mereka memasuki gedung kantor polisi yang berbau khas, campuran kertas, kopi, dan aroma rokok yang samar. Beberapa petugas tampak sibuk di meja resepsionis, mengetik laporan, atau sekadar bercanda sesama rekan kerja.Adit menggenggam erat ponselnya. Di dalam ponsel itu, ia masih menyimpan salinan video bukti yang dulu mereka serahkan. Tapi hatinya tidak tenang. Dari awal ada firasat buruk, seolah laporan mereka sengaja dilenyapkan.Sarah menyikut lengan Adit pelan. “Tenang, Dit. Kita tinggal minta kejelasan. Nggak ada salahnya kita datang lagi.” Adit mengangguk singkat. “Iya. Semoga memang cuma salah administrasi.”Mereka mendekati meja seorang petugas muda berseragam lengkap, namanya tertera jelas di dada: Ahmad. Wajahnya teduh, matanya jernih, berbeda dari bayangan
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lewat tirai tipis ruang makan. Meja besar dari kayu jati dipenuhi piring, gelas, dan aroma kopi hangat. Namun kehangatan yang biasanya menyelimuti rumah justru berganti dengan hawa dingin menusuk.Damar duduk di ujung meja, tampak rapi dengan kemeja biru muda dan celana bahan biru tua, pakaian yang serasi. Rambutnya rapi bahkan bisa disebut klimis, dasinya terikat sempurna. Ia terlihat tenang, seolah malam sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa. Wajahnya datar, tapi matanya tajam penuh perhitungan.Sarah duduk di sisi kanan meja. Pakaian santainya masih kusut, rambutnya belum sempat disisir rapi. Wajahnya pucat, jelas masih digelayuti sisa ketegangan. Ia mencoba menunduk, menyibukkan diri dengan memutar sendok di dalam cangkir teh yang bahkan belum disentuh.Di sisi lain, Adit duduk dengan pakaian yang sama seperti semalam. Kaos hitamnya lusuh, ada sedikit noda darah kering di bagian kerah akibat luka bibirnya. Namun sorot matanya tidak lagi penuh gen
Pistol di tangan Sarah bergetar hebat. Matanya terpaku pada Damar, tapi jemarinya sudah siap menekan pelatuk. Detik itu terasa berjalan lambat. Napas Adit tersengal, tubuhnya bersiap untuk melompat jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi.Namun, sebelum suara letusan itu sempat memenuhi ruangan, terdengar suara lain.Suara bariton sarat keterkejutan. “Mama … apa yang Mama lakukan?”Sarah sontak membeku. Pandangannya beralih ke arah sumber suara. Di ambang pintu kamar, tampak Hardian duduk di kursi rodanya. Wajahnya masih pucat, rambutnya sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Ia baru saja mendorong kursi roda keluar sendirian. Nyatanya, kondisi Hardian memang semakin membaik. Bahkan ia sudah bisa berpindah duduk tanpa bantuan.Semua orang di ruangan itu seakan dipaku oleh kemunculannya.“Har … di …,” lirih Sarah, suara tercekat. Tangannya makin gemetar, pistol nyaris terlepas dari genggaman.Adit menoleh cepat. Matanya melebar melihat sahabatnya yang menatap penuh tanya pad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments