Chapter: Menggerebek markas Damar Ketukan di pintu itu terdengar lagi — dua kali, cepat, seperti peringatan.Sarah langsung menjauh, matanya membulat panik. Adit juga refleks melepas genggamannya, nafas mereka masih saling bersentuhan di udara yang kini terasa jauh lebih panas daripada sebelumnya.“Ya Tuhan …,” bisik Sarah sambil buru-buru merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang seperti gendang perang.Adit ikut menarik kerah bajunya, berusaha menutupi noda lipstik samar di bawah rahangnya.Belum sempat mereka berkata apa-apa, pintu terbuka perlahan. “Sarah,” suara berat itu terdengar duluan, sebelum sosok Indra muncul bersama Arif Pratama.Keduanya berdiri di ambang pintu, pandangan Arif cepat menyapu keadaan ruangan. Sementara Indra menatap Adit dan Sarah bergantian dengan tatapan sulit dijelaskan — antara lega dan canggung.Sarah segera berdiri tegak. “Hai …,” ucapnya cepat, berusaha menutupi kegugupan. “Ada apa? Kok masuknya tiba-tiba?”Indra menghel
Terakhir Diperbarui: 2025-10-12
Chapter: Ciuman di selHujan baru saja reda, tapi udara di ruang khusus itu masih menyimpan dingin. Suara tetesan air di luar jendela terdengar samar, bersahut dengan detak jam di dinding. Lampu neon di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke wajah Adit yang tampak lebih pucat dari terakhir kali Sarah melihatnya.“Aku hampir nggak percaya kamu benar-benar di sini,” ucap Sarah pelan. Suaranya bergetar, seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama ditahan.Adit tersenyum tipis. “Aku juga nggak yakin ini nyata,” jawabnya lirih. “Setiap malam aku cuma bisa bayangin kamu datang … dan sekarang kamu beneran datang. Aku pikir, setelah aku keluar dari sel dan menjadi tahanan Kota sementara, aku nggak akan kembali ke sini lagi. Tapi nyatanya ….”Sarah melangkah mendekat, pelan-pelan, seolah takut kalau gerakan terlalu cepat akan membuat Adit lenyap. Bau antiseptik dan lembap ruangan itu seketika kalah oleh aroma samar parfum Sarah yang menenangkan.Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan Adit, menatap waja
Terakhir Diperbarui: 2025-10-11
Chapter: Cari amanSuara dering telepon memecah kesunyian ruang kerja Damar yang remang. Jarum jam dinding menunjukkan nyaris pagi hari. Di luar, hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menyengat. Damar duduk di kursi kulit hitamnya, masih mengenakan kemeja yang belum sempat dibuka kancing atasnya. Matanya tajam menatap layar ponsel yang terus bergetar. Nama yang muncul di sana membuat rahangnya mengeras — Sambo.Ia menarik napas panjang sebelum menekan tombol hijau. “Sudah selesai?” suaranya rendah tapi menusuk. Di seberang sana, Sambo tidak langsung menjawab. Hanya terdengar helaan napas berat dan suara gesekan korek api.“Jawab, Sambo. Adit sudah dihabisi atau belum?” tanya Damar lebih tegas, suaranya naik setingkat.Hening beberapa detik. Sambo akhirnya berkata pelan, “Belum.” Damar menegakkan tubuh, matanya langsung membulat. “Belum? Maksudmu apa belum?” “Rencana tadi gagal.”“GAGAL?!” Damar membentak, suaranya menggelegar di ruangan. Ia bangkit berdiri, menepis gelas kop
Terakhir Diperbarui: 2025-10-11
Chapter: Janji pembusukanRuang kerja Kompol Sambo dipenuhi asap rokok yang menebal. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, tapi matanya masih tajam, menatap layar monitor CCTV di depannya. Ada lima tampilan kamera yang menunjukkan berbagai sudut lapas sektor barat. Salah satunya menampilkan sel tempat Adit sempat ditahan.Pintu ruangan terbuka cepat. Seorang pria berseragam masuk dengan langkah tergesa. “Izin melapor, Komandan!”Sambo menoleh tajam. “Cepat bicara. Ada apa?”“Barusan saya dapat laporan langsung dari lapas, Komandan. Ada pejabat dari pusat datang malam ini. Pangkatnya AKBP. Namanya Arif Pratama.”Nama itu membuat Sambo langsung menegakkan tubuh. “Arif Pratama?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan marah. “Apa katanya dia datang di dini hari hanya buat inspeksi biasa?”“Tidak, Komandan,” jawab anak buahnya cepat. “Beliau langsung menuju ke ruang sel di mana tahanan bernama Adit ditempatkan. Katanya, dia memarahi sipir karena lalai hingga terjadi perkelahian antar napi.”Sambo mengerutka
Terakhir Diperbarui: 2025-10-10
Chapter: Putra yang hampir hilang lagiLangkah sepatu hitam terdengar mantap di koridor panjang yang redup. Sosok berseragam dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) di dada melangkah cepat mendekati sel. Cahaya lampu neon di atas kepala memantul di papan nama kecil di dadanya—ARIF PRATAMA.“Buka pintunya,” perintahnya tajam, suaranya dalam dan tegas.Dua sipir saling pandang, ragu. Salah satunya mencoba bicara, “Pak … tapi perintah Kompol Sambo—”“Saya bilang buka, sekarang juga!” potong Arif tanpa memberi ruang debat. Suaranya bergema di lorong.Besi pintu sel terdengar berderit berat. Dua sipir akhirnya membuka dan menarik paksa pria bertato keluar. Pria itu meludah ke lantai sambil menatap Adit penuh kebencian. “Kita belum selesai, bocah. Belum,” desisnya sebelum dibawa pergi.Adit berdiri tegak, napasnya berat. Matanya menatap Arif waspada, tubuhnya masih menegang. Ia tidak tahu siapa pria berpangkat tinggi ini. Bisa jadi jebakan lain.Arif melangkah mendekat pelan, berhenti tepat di hadapan Adit. Lalu dengan
Terakhir Diperbarui: 2025-10-09
Chapter: Malam yang seharusnya tak terjadiIndra menginjak pedal gas lebih dalam, matanya fokus pada jalanan kosong. Ponselnya bergetar di dasbor. Ia menekan tombol speaker tanpa melepas pandangan dari jalan. “Sarah?” suaranya parau tapi lugas. “Ndra … aku di rumah, tapi aku nggak bisa diam. Aku mau nyusul ke kantor polisi,” jawab Sarah cepat, terdengar dari seberang. “Jangan ke tempat lain. Kita ketemu langsung di kantor polisi,” tegas Indra. “Aku juga udah telepon orang dalam yang lebih tinggi pangkatnya ketimbang Sambo. Aku mau pastikan Adit tidak akan terluka sedikit pun!” Sarah menarik napas panjang. “Oke. Aku berangkat sekarang. Semoga saja kita tidak terlambat. Aku sungguh tidak tenang …,” ucapnya dengan suara gemetar. Panggilan terputus. Dalam sekejap, Sarah berlari menuju ruang tamu, meraih jaket dan kunci mobil. Tapi langkahnya terhenti ketika suara berat terdengar dari arah selasar. “Mama?” Sarah menoleh cepat. Ia sedikit mendongak melihat tepian selasar di lantai dua, Hardian berdiri di sana. Wajahnya pucat,
Terakhir Diperbarui: 2025-10-09
Chapter: Mina memberitahu Rina!“Yakin kamu mau bantu aku? Cari ART itu agak ribet juga loh. Aku nggak mau ngerepotin kamu. Beneran ….”“Yakin. Aku punya kenalan agen ART resmi, dekat sini malah.”Rina akhirnya tersenyum tipis. “Aku gak tahu harus mulai dari mana kalau gak ada kamu.”“Tenang aja, aku kan ‘rekan darurat’ kamu,” candanya.Rina yang masih berwajah sedih karena ucapan Ervan barusan, kini terkekeh kecil. “Rekan darurat, ya?”“Iya. Fungsinya muncul cuma pas kamu butuh.”“Berarti kamu kayak ambulans dong?”Fahmi tertawa lirih. “Ya semacamnya lah, cuma bedanya aku gak punya sirine. Tapi aku punya cinta.”Tawa Rina nyaris pecah. Untung saja ia masih ingat saat ini berada di rumah sakit, jadi ia buru-buru menahan tawa itu.Rona merah di wajahnya menahan tawa, membuat Fahmi menjadi semakin cinta dan begitu terpesona. Rina begitu cantik dan manis dengan raut muka ceria seperti itu.***Setelah menitipkan Ratih pada perawat jaga, Fahmi dan Rina keluar dari rumah sakit. Hujan sudah reda sepenuhnya, menyisakan sis
Terakhir Diperbarui: 2025-10-12
Chapter: Semakin memupuk“Kopi kamu udah benar-benar dingin, Rin.” Suara Fahmi pelan, tapi cukup membuat Rina mendongak dari lamunan.Sudah dua puluh menit Rina duduk membisu setelah kembali dari ruang observasi. Jika sebelumnya ia dipanggil ke ruang dokter spesialis kejiwaan, kali ini giliran dokter penyakit dalam yang ingin bicara dengannya tentang kondisi sang ibu.Wajah Rina tampak lelah. Rambutnya sedikit berantakan, dan mata yang biasanya lembut kini kosong, seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang padam. Ia menarik napas panjang, mengambil gelas kopi di tangan Fahmi tanpa berkata apa pun, lalu meneguknya cepat.Fahmi hanya diam, memperhatikan. Ia tahu bukan saatnya memaksa Rina bicara. Perempuan itu terlihat rapuh, seolah satu kata saja bisa membuatnya pecah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang canggung. Suara langkah dokter dan roda brankar di lorong rumah sakit terdengar samar, bercampur dengan bunyi mesin infus dari kamar sebelah. Di antara mereka hanya tersisa aroma kopi yang menua—pahit,
Terakhir Diperbarui: 2025-10-11
Chapter: Mengakui masih menjadi suami orangFahmi duduk di kursi ruang tunggu dengan kedua tangan menutupi wajah. Aroma kopi yang ditinggalkan Rina masih terendus di hidungnya. Tapi kopi itu tak lagi terasa hangat, melainkan getir. “Kenapa susah banget buat jujur, Mi?” gumamnya pelan, menatap layar ponsel yang masih gelap. “Kamu pengecut banget.” Meyakinkan diri untuk menyalakan kembali handphonenya itu.Ia menekan tombol power. Layar menyala, dan dalam hitungan detik, puluhan notifikasi muncul. Pesan dari Aqila. Beberapa panggilan tak terjawab. Suara hati yang terus menuntut penjelasan.Aqila: “Mi, kamu di mana sih? Kekey nyariin kamu.” Aqila: “Aku tahu kamu sibuk, tapi setidaknya kasih kabar.” Aqila: “Fahmi, aku gak mau berantem. Aku cuma pengen kamu jawab pesanku!”Rentetan pesan Aqila menerornya. Fahmi memejamkan mata. Hatinya mencelos. Satu sisi dirinya ingin menekan tombol “call back”, tapi sisi lain merasa belum siap menghadapi kenyataan yang harus ia buka. Ia tahu, setiap menit yang ia diamkan hanya membuat semuanya
Terakhir Diperbarui: 2025-10-09
Chapter: KejujuranRina memejamkan mata, suaranya bergetar halus. “Kamu tahu … semakin lama kita membiarkan perasaan kita larut semakin dalam, kelak kita sendiri yang akan kesulitan.”“Iya,” jawab Fahmi cepat. “Tapi rasa ini juga nyata.”Ia menunduk sedikit, mencari tatapan Rina yang masih menghindar. “Aku gak minta kamu balas, aku cuma pengen kamu tau kalau aku memang jatuh cinta sama kamu. Bahkan pada pandangan pertama aku melihat kamu ... Malam-malam berenang di kolam renang itu ...."Rina sedikit terkejut. "Jadi malam-malam aku berenang telanjang itu, kamu lihat?"Fahmi mengangguk. "Iya. Aku pikir ... Siapa orang gila yang berenang di tengah malam begini?"Rina tertawa. "Dasar ...."Fahmi ikut tertawa renyah. "Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, Rin. Perempuan aneh yang unik. Cantik dan rapuh ... Tapi aku suka ...."“Mi …,” bisik Rina. “Kalau kamu terus ngomong gitu, aku gak tau bisa sejauh apa aku kuat nahan diri.”“Berarti kamu juga ngerasa hal yang sama?” tanya Fahmi, separuh berbisik, separuh
Terakhir Diperbarui: 2025-10-08
Chapter: Harus ingat batasan di perasaanFahmi menatap layar ponselnya seperti menatap bara api yang siap membakar hidupnya kapan saja. Nama Aqila — Video Call berkedip terang di tengah layar, disertai getaran halus yang terasa seperti palu godam di dada.Ia menelan ludah. Napasnya pendek, cepat, tak beraturan. “Jangan sekarang, please jangan sekarang …,” gumamnya pelan, hampir seperti doa.Di luar rumah sakit, hujan kembali mengguyur deras, menampar kaca jendela rumah sakit dengan ritme yang membuat pikirannya semakin bising. Bau kopi hangat yang dibawa Rina dari vending machine seharusnya menenangkan, tapi bagi Fahmi, justru menambah tekanan di dadanya.Ia menatap layar yang terus bergetar itu. Jempolnya melayang di atas tombol “decline”, namun tak juga menekan. Detik terasa seperti menit. Ketika panggilan itu akhirnya berhenti, ia sempat menarik napas lega, tapi hanya dua detik.Ponselnya kembali bergetar. Aqila — Video Call (lagi).“Ya Tuhan …,” desisnya, memejamkan mata dan menahan napas.“Mi?” suara Rina terdengar sem
Terakhir Diperbarui: 2025-10-07
Chapter: Nasehat dari kawanFahmi berdiri mematung di depan dispenser, ponsel masih digenggam erat. Di kepalanya, suara Aqila, suara Rina dan tangisan kecil Kekey terus bergema bergantian. Bagaimana ia bisa berada di dua tempat sekaligus — menepati janji pada Rina dan tetap jadi ayah yang baik untuk anaknya?Belum sempat menemukan jawaban, ponselnya kembali bergetar di tangan. Kali ini bukan dari Aqila. Nama yang muncul di layar membuat alisnya berkerut: Yogi.“Tumben banget dia nelpon,” gumamnya pelan. Biasanya Yogi hanya mengirim pesan pendek. Kalau menelepon langsung, pasti ada hal penting.Ia mengusap wajahnya cepat, menarik napas panjang, lalu menekan tombol hijau. “Halo, Gi? Ada apa?”Suara di seberang terdengar berat dan hati-hati. “Halo, Mi. Kamu lagi sibuk gak?”“Lumayan,” jawab Fahmi, berusaha terdengar tenang. “Tapi kenapa? Kayaknya penting banget sampe kamu nelepon.”Hening sejenak. Di seberang, terdengar helaan napas panjang. “Boleh aku nanya sesuatu?”Fahmi menegakkan badan, merasa aneh dengan na
Terakhir Diperbarui: 2025-10-06