Aron menunggu sampai langit terang. Pagi sekali, ia sudah membersihkan diri, mengenakan pakaian rapi. Jemarinya bermain di atas meja sangking bosannya. Jarinya mulai menekan tombol membuka jendela. Pemandangan di depannya masih tidak berubah. Andai saja ia bisa mempercepat latihan tapi Aron sudah meminta durasi waktu yang cukup cepat.
Ia mengambil ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Max. Bodyguard itu tak menjelaskan melalui ponsel. Semenit kemudian pria itu menghampirinya tentu saja tak sendiri."Tuan Aron, saya datang," sapa Max membelakangi Leo.Aron tersenyum lugu. Sudah diduga ayahnya akan ikut Max. Kakinya berjalan menuju kasur dan melempar diri. "Bukannya hari ini ayah ada tugas?""Apa maksudmu soal pernikahan Max dengan Nona Angela?" tanyanya balik menjerumus inti pembahasan."Haruskah itu menjadi persoalan bagi ayah?" Bola mata Aron melirik ke arah Max. "Aku hanya membantu kak Max untuk menikahi gadis idamannya. Apa itu salah?" Aron tidak meninggikan intonasi suaranya.Tentu saja Max tidak bisa membiarkan Aron beradu pendapat dengan Leo. Ia membungkukkan badan. "Tolong jangan salahkan Tuan Aron—""Aku tidak mempersalahkannya. Tapi, apa kau tidak tahu siapa Nona Angela itu?" sosornya menghentikan pembicaraan.Aron santai menanggapi pertanyaan itu. Ia kembali bangkit lalu berdiri di depan Leo. Kepalanya mengangguk. "Tentu saja dia anak dari Samuel Jons, dia bernama Angela Melodi Jons. Aku tidak percaya kalau Luxury akan membuang mutiaranya," pungkasnya.Deg. Max mendengar pernyataan yang dikatakan Aron tidak tahu jika gadis yang ditaksirnya itu merupakan orang penting. Tentu saja itu adalah pilihan sulit. Melamar seorang yang memiliki status terpandang di kota Luxury. Ia hampir bingung dengan perasaannya sendiri. Keraguan perlahan menggerogoti kepercayaan dirinya.Max kembali ke posisi awal. Topik pembahasan kali ini lebih berat daripada sebelumnya. Tetapi, rasa penasaran yang membuatnya tidak tenang harus segera dituntaskan. Namun, ia tidak percaya bila Angela akan menerima perasaan cinta Max.Ia merasa tidak pantas tapi ia masih mengharapkan Angela adalah jodohnya. Ditengah pembicaraan, semua kebahagiaannya disangkut pautkan antara misi yang sedang dijalani Aron. Pria disampingnya itu marah besar."Apa yang kau inginkan?" Leo menatap tajam. "Dengar, jangan pernah berfikir jika kau akan menangkap para baj*ngan sebelum lolos dari ujianku. Kau tidak lupa soal tantanganmu, bukan?"Bibirnya tersenyum tipis. 'Pria di depanku ini sungguh luar biasa. Dia bahkan bisa membaca taktikku.' Ia menepuk bahu sang ayah. "Tentu saja aku tidak sabar. Jika aku harus melakukannya, apa ayah akan memberiku izin?"Leo tak menjawab yang menandakan tidak memberikan setuju kepada Aron. Tanyanya mengacak-acak rambut Aron yang tersisir rapi. "Kau ingin kapan digelar pernikahan mereka?"Ia tersenyum kemenangan. "Kalau bisa secepatnya, lebih baik bukan? Lagipula kak Max sudah tidak sabaran." Aron membumbui pendapatnya itu. Untungnya sang bodyguard bisa memahami emosional Aron.Leo menahan tahan tawa mendengar kalimat terakhir yang disebut Aron. Dari pandangan mata Max memang begitu jelas. Pria itu mencintai sekaligus mengagumi Angela. Kini perasaan sedikit tenang karena rasa penasarannya kini sudah terjawab.Sebagai pria yang bertanggungjawab, Leo memberikan izin untuk pernikahan Max. Mulai sekarang, ia hanya melihat sebagaimana alur cerita yang diinginkan sang anak."Ya, sesuai keinginanmu, Tuan Aron. Hahaha...." Leo yang menirukan dialog Max. "Baiklah, kalian tidak usah bingung akan hal ini. Aku ucapkan selamat kepadamu Max.""Terima kasih, Tuan." Sembari membungkukkan badannya. Walau pernyataan yang dikatakan Leo hampir benar, tetap saja perasaannya tidak bisa diganggu gugat. Sangking bahagianya ia memeluk Leo yang menghadap ke arahnya.Menonton adegan menggembirakan itu, Aron tersenyum. Perlahan sang ayah membalas pelukan Max. Walaupun Max hanya seorang bodyguard, Aron selalu menganggap pria itu sebagai kakaknya."Wah-wah, kenapa jadi ayah yang tak sabar?" sindirnya yang membuat pelukan itu buyar selang dua menit."Ya sudah, aku akan menemuimu lagi, Aron. Jangan lupa untuk latihan hari ini." Setelah menyampaikan peringatan latihan, Leo meninggalkan ruangan itu.Klak! Pintu tertutup seperti semula. Keduanya saling bertatapan. Dirasa Leo sudah jauh, barulah Aron kembali membahas rencananya dengan Max. Dalam hal ini Max terlalu menurutinya. Ketika Max di fase bahagia, ia mendadak bod*h tapi masih waras untuk mengendalikan dirinya sendiri.Disisi lain, Max penasaran apakah pertanyaan yang diajukan Leo untuk menyelamatkan Luxury adalah benar? Mulanya ia ragu untuk memulai pembicaraan dengan membahas topik yang berulang. Namun, Aron tak menyembunyikan kebenarannya."Yang katakan ayah itu benar." Seraya duduk di atas kasur. "Aku memanfaatkan kesempatan ini agar Luxury terbebas dari rantai kejahatan di sana. Aku minta maaf, Max.""Mengapa anda jadi menyalahkan diri sendiri, Tuan?" Max duduk disampingnya tanpa disuruh. "Ini pilihan saya. Jadi, jangan menyalahkan diri anda sendiri."Kepala Aron menggeleng. "Tidak, Max. Kau salah besar. Setelah pernikahanmu nantinya aku akan memberikan hadiah untuk istrimu sebuah modal usaha produk parfum terkini. Tentu saja, Angela ikut serta dalam menyelamatkan kotanya sendiri.""Selama tujuan anda dalam kebaikan, maka Tuhan memberikan jalan yang tidak terduga. Percayalah semua ini sudah direncanakan oleh Tuhan. Jadi, anda berhentilah menyalahkan diri anda sendiri," ucapnya dengan intonasi lembut dan tegas.Aron mencoba mencerna kalimat itu. Bila dipikirkan lagi, memang seperti itulah kenyataannya. Tuhan sudah mengatur segalanya bahkan apa yang dikhawatirkan sebelumnya. Ia bersyukur akan ketulusan yang dilakukan Max kepadanya.Raut wajahnya berseri. Aron nampak bersemangat setelah mendapat nasihat dari Max. Ia membenarkan kalau Tuhan memberinya sebuah jalan untuk kebaikan. Namun, ia masih tidak mengerti saat dewa langit meminta membunuh para pahlawan.Max bisa merasakan suasana hati Aron membaik membuatnya merasa sedikit tenang. Lalu pikiran mengenai Angela terlintas. Ia tersenyum sendiri bak orang gila.Aron menyenggolnya agar Max terbangun dari lamunannya itu. "Apa kau baik-baik saja, Max?" Ia mengayunkan tangan kanannya."Eh, Tuan. Ma–maaf," sahutnya gelagapan. Rona pipinya langsung timbul begitu saja karena bertindak konyol."Kau kepikiran gadis itu ya?" tebaknya mendapat respon anggukan. "Kita punya mutiara untuk mengembalikan kota Luxury. Ini pilihan sekaligus keputusanmu, itu artinya kau sudah siap jika nantinya akan berpisah. Aku tidak keberatan akan hal itu, bagaimana denganmu?""Pertanyaan anda seperti kalimat perpisahan saja. Padahal saya masih ingin berada—""Kau tidak bisa melakukannya bahkan tidak perlu. Hahaha ..., aku ini bukan anak kecil lagi, Max," selanya.Bibir Max mengembang. Yang dikatakan Aron memanglah benar, setelah kontrak menjaga Aron selesai maka ia akan beralih ke tugas lain."Tapi, untuk misi tersembunyi ini kau harus bertahan. Kota Luxury membutuhkan pemimpin yang sepertimu." Aron memamerkan senyumannya. Ia tahu kalau Max akan mendengarkan pendapatnya dan Angela juga tidak keberatan untuk mendukung Max merebut kota Luxury. 'Dengan begini, aku bisa mempercayakan semua kepada Max. Lalu, aku akan tahu siapa dalang problem ini.'***Aron tertegun sejenak, mencoba mencerna semua ingatan yang tiba-tiba membanjiri pikirannya. Gambaran-gambaran masa lalu yang sebelumnya kabur, kini menjadi jelas seperti film yang diputar ulang. Ia melihat dirinya sebagai sosok yang jauh lebih besar, lebih kuat, dan lebih tua dari yang pernah ia bayangkan. Dewa Perang. Itulah identitas sejatinya. Namun, mengapa ia terlahir kembali sebagai manusia? Mengapa ia harus melalui semua penderitaan ini? Dewa, yang masih berdiri di sampingnya, seolah membaca pikiran Aron. "Kau pasti bertanya-tanya mengapa semua ini terjadi, bukan?" ujarnya dengan suara tenang namun penuh makna. "Ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar, Aron. Kau tidak hanya sekadar dewa yang terlahir kembali, tapi kau adalah kunci untuk menyeimbangkan dunia ini," jelasnya. Aron mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata Dewa. Rasa penasarannya memuncak. "Kunci? Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini?" Ia memperhatikan wajah Dewa tanpa menge
Aron menghela napas lega, seolah beban berat yang selama ini menekan bahunya akhirnya terangkat. Namun, meski sudah merasa lega, ada sesuatu yang masih mengganjal di dalam hati. Dendam yang membara, yang seharusnya sudah mereda, malah semakin menyala. Ia menatap telapak tangan yang penuh dengan bekas luka, setiap goresan menceritakan kisah perjuangannya, setiap lekukan mengingatkan akan penderitaan yang pernah dialaminya.Ada sesuatu yang masih belum selesai, sebuah bab dalam hidupnya yang tidak bisa ia tutup begitu saja. Meski musuhnya sudah tiada, rasa kekesalan yang menyelubungi jantungnya tak kunjung hilang. Perasaan itu seolah-olah telah mengakar dalam jiwa, menjadi bagian dari dirinya yang sulit untuk dilepaskan.Firasatnya, yang selalu tajam, berbisik kepadanya bahwa perang besar yang baru saja usai tersebut belum sepenuhnya berakhir. Mungkin ini adalah tanda bahwa pertempuran masih belum selesai, dan dia tidak bisa begitu saja melupakan semua yang telah terjadi. Namun, seiring
Ledakan besar menghancurkan dataran negara Neon, tak satupun anggota bagian Orlando yang selamat dari ledakan bom itu. Tubuh Sora juga ikut terkubur reruntuhan bangunan. Usahanya untuk menyelamatkan diri tak bisa dilakukannya. Kelopak mata setengah terbuka. Pemandangan yang begitu berantakan. Di sela-sela momen itu Sora mencoba mengangkat tumpukan bangunan yang menimbun bagian tubuhnya. Sesekali ia mencari-cari oksigen. "Bila bukan si tua bangka itu, aku tidak akan susah seperti ini," decaknya mencoba keluar.Nahas, kepalanya yang baru saja nampak di permukaan menjadi sasaran tembakan Betabot. Kali ini ia benar-benar kehilangan kesadaran. Arwah Sora menolak untuk mati, sementara tubuhnya tak bisa bertahan lama. "Sialan harusnya aku hidup lebih lama," ucapnya dalam hati. Kepalanya terus mengalirkan darah segar. Hanya dalam tiga detik Sora menghembuskan napas terakhirnya.Mendengar kabar peperangan besar sengit antara Orlando dan musuhnya, menimbulkan perseteruan dari devisi yang ber
Awalnya Orlando mengira ia akan mendapatkan kemenangan besar. Melihat musuhnya tanpa senjata dan juga sendirian membuat kepercayaan dirinya semakin tinggi. Sayangnya tembakan tadi meleset tak mengenai musuhnya. "Apa?!" Kepalanya memanas menyaksikan Aron yang masih berdiri tegak. Orlando pun segera mengganti isian peluru yang ada di dalam pistolnya. "Arahkan senjata kalian padanya!" teriaknya memerintahkan seluruh pengikutnya.Serangan itu memang diterima oleh Aron. Ia mengubah elemen senjata yang diarahkannya menjadi tameng pelindung untuk mengatasi serangan bertubi-tubi. Menghilangkan rasa belas kasihan, Aron mengandalkan kebenciannya terhadap Orlando. Dendamnya begitu membara. Langkahnya maju mendekati musuhnya, belum menyerang balik mereka berjalan perlahan mundur. Dari balik gedung asap tembakan mulai menyebar. Aron memasang tatapan sinis. Emosinya dilihatkan secara terbuka. Menit-menit inilah yang sudah ia tunggu bertahun-tahun."Sekarang giliranku, Betabot mode musuh!" Dalam be
Max dan Jaz melaksanakan tugasnya sebagai mana yang diperintahkan Aron. Gadis itu hanya membatu menyaksikan pemandangan di depannya. Suara letusan senjata mulai mendengung. "Apa semua ini sudah kalian persiapkan sejak lama?" Pandangan matanya terlihat kosong. Namun dari pertanyaannya itu tidak mendapatkan respon dari keduanya. Lalu, Monica bertanya sekali lagi. "Kenapa kalian merahasiakan ini semua dariku?"Kepala mereka hanya menunduk sebagai jawaban. Tangisnya membasahi pipinya. Tatapannya ke arah jendela. Monica bisa merasakan akan terjadi peperangan besar bila mengaitkan teknologi senjata. Sangking khawatirnya, Monica tak sadarkan diri. Tubuhnya ambruk beberapa detik selanjutnya setelah berdiri tak lama menatap keluar jendela. Kedua bodyguard itu terpaksa menenangkan Monica dengan akses yang diberikan Aron. Untung saja mereka bisa mengatasi hal itu, tetapi nasib Aron masih menjadi tanda tanya. Mereka pun berdiri di samping kapsul tidur Monica. Bola mata mereka saling memandang.
"Kau sudah kelewatan batas, tuan Orlando," decak kawannya.Wajah datar Orlando tak peduli akan perkataan pria itu. Ia memilih tak peduli dan melanjutkan pesta pernikahan seperti tak ada terjadi sesuatu. Sementara dari kejauhan wajah Sora menundukkan dengan tangan mengepal. Pernikahan mereka memang digelar mewah, sayangnya kekacauan di depan mata membuat mood Sora buruk belum lagi kondisinya yang tengah hamil muda."Apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Orlando sembari memeluk istrinya. Namun, setelah beberapa detik ia tidak mendapatkan balasan dari mulut Sora.Suasana canggung pun terjadi. Memang Orlando pernah berada di posisi teratas sebelum bisnisnya perlahan menurun. Siapa sangka hari itu juga semua orang yang ada di dalam pesta pernikahannya bersikap acuh tak acuh."Sudah cukup! Hentikan!" bentak Sora yang tak tahan kericuhan terjadi. Tangannya mendorong jauh suaminya itu. Lalu berlari menuju kembali ke kamar.Rasa kesal Orlando meledak seketika. Disaat kehilangan akal untuk men