Setibanya di kediaman Smith, langit sudah gelap. Leo dan Emily menyambutnya, sayangnya Aron masih belum bangun dari tidurnya. Max mengangkat tubuh Aron menuju kamar. Sementara Angela berdiri mematung.
"Max, siapa gadis ini?" tanya Emily. Wajah gadis itu seperti familiar, kakinya memberanikan mendekat."Angela Melodi. Silahkan perkenalkan dirimu, Nona. Kalau begitu saya akan mengantarkan tuan muda ke kamarnya—""Tidak perlu, Max," selanya lalu Leo menjentikkan jarinya setelah itu muncullah bodyguard lain. "Antar Aron ke tempat tidurnya.""Baik, Tuan." Pria itu bergegas melaksanakan tugasnya.Kini tinggal mereka yang tengah berkumpul di ruang tamu. Leo menebak kalau semua ini dilakukan atas perintah Aron. padahal baru sehari saja anaknya itu dia latih malah membuat kejutan.Setelah pria tadi mengantar Aron, barulah Leo mengajukan pertanyaan lagi. "Jadi, apa tujuan semua ini?""Izinkan kami menikah, Tuan," jawab Max tanpa basa-basi. Ia juga tidak menyudutkan nama Aron dalam hal ini, meski sebelumnya diperintah Aron.Emily tersipu mendengar jawaban Max. Entah kenapa ia jadi teringat akan masa lalunya. Walaupun permintaan itu dadakan, Emily bisa yakin kalau bodyguard yang setia mengabdi kepada keluarganya bersungguh-sungguh atas jawaban tersebut. Memang sudah seharusnya usia Max untuk berkeluarga.Ia duduk di sebelah Angela. Pakaian gadis itu sangat sederhana bahkan tidak ada riasan yang menempel. Bibirnya menyodorkan senyuman ke arah sang gadis."Benarkah itu? Kalian akan menikah?" tanyanya berpura-pura tidak percaya."Itu benar, Nyonya." Angela membalas senyuman Emily."Tidak kusangka kau akan menikah. Tapi, aku tidak akan menghalangi kalian untuk menggelar ritual pernikahan itu. Aku memberimu izin, Max. Tapi, kau yakin dengan pilihanmu ini? Kenapa kau tidak membelikan pakaian cantik untuk gadismu? Apa selama ini gajimu tidak cukup untuk membelikannya sebuah gaun?" Leo terus mendesaknya.Tidak jauh beda dengan Aron, Leo pun sama membuat Max tertawa di dalam hati selain itu sedikit memalukan. Namun, Max bukanlah pria yang tidak menepati janji apalagi berbohong kepada orang orang lain termasuk dirinya sendiri.Max meraih dan menggenggam tangan Angela. "Berkat Tuan Aron, saya bisa menyelamatkannya dari sana. Setiap kali perjalanan bisnis dengan anda, saat melintasi di kota Luxury, saya bisa melihat Angela yang tertindas. Syukurlah, Tuhan memberikan keajaiban. Saya jatuh cinta pandangan pertama," jelasnya"Aku bisa memahaminya. Dan, bagaimana orang tuamu mengenai hal ini, Nona Angela?" tanya Leo."Ummm...." Angela tak bisa menyampaikannya secara langsung."Orang tuanya sudah tiada, Tuan. Hanya ibu tiri yang tidak bertanggungjawab. Kalau tidak ada perubahan Luxury akan di ambil alih negara lain." Max menjelaskan singkat.Suasana menjadi sunyi. Jika benar ini rencana Aron, maka Leo tidak akan menutup kemungkinan kalau Aron bertindak seperti keinginannya. Akan tetapi, Leo baru ingat gadis di depannya merupakan anak dari teman lamanya, Samuel Jons. Bola matanya terbelalak."Tunggu, apa benar ayahmu bernama Samuel Jons, Nona?"Kepala Angela mengangguk. "Benar."Leo manggut-manggut. "Kalau begitu, Max, antar Nona Angela ke kamar barunya. Jika kau membutuhkan sesuatu katakan saja, Nona. Mulai hari ini kau adalah keluarga kami juga."Gadis itu hanya membalas senyuman lalu mengikuti Max dari belakang. Leo tak ingin mereka-reka mengenai firasatnya. Emily menyandarkan kepalanya di bahu Leo.Perubahan anaknya memang selalu berubah-ubah tetapi hal ini membuat Leo tidak bisa mempercayainya. Semangat, taktik dan juga ide luar biasa apalagi yang akan diciptakan sang anak. Diusia Aron remaja, sudah memahami dunia perekonomian. Tetapi, Max membuat Aron menjadi sosok yang lebih kuat lagi."Apa kau pernah berfikir kalau ini semua karena rencana Aron, Sayang?" Sembari mencakup tangan kanan Leo."Tentu saja itu ulah Aron. Tapi, rencana itu akan menggemparkan di dunia organisasi kriminal. Padahal dia baru sehari aku latih." Leo menepuk dahinya.Malam itu penuh makna bagi Angela, mendapatkan sebuah keadilan adalah bukti seorang yang layak dikatakan pemimpin. Kebahagiaan tersebut juga dirasakan kedua orang tua Aron. Leo, bisa menyambung tali persaudaraan yang sudah lama terjalin. Tetapi ia tak berpikir sampai mengintrogasi gadis itu.Leo tak ingin memperpanjang membahas kedatangan Angela, pria itu memilih waktu yang pas, lebih tepatnya mendengar penjelasan dari Aron secara langsung. Emily juga mengerti keadaan kondisi gadis itu. Setelah rundingan singkat usai, keduanya juga meninggalkan ruang tamu.Di kamar Aron....Ia membuka kelopak matanya yang terpejam erat. Dalam hati ia ingin memperlihatkan sebuah kejutan, sayangnya Aron ketinggalan momen penting itu. Melihat langit-langit kamarnya, ia langsung bangkit dari tidurnya. Lalu, melihat jarum jam."Astaga!" Aron mengatur pernapasannya. Ia lupa menjelaskan kedatangan gadis asal Luxury. "Semuanya terlambat ya?" Ia kembali merebahkan tubuhnya setelah mengetahui jarum jam menunjukkan ke arah angka dua.Tangannya mencoba menggapai benda kotak di atas meja. Bibirnya tersenyum smirk, mengingat kalau ia sudah mengetahui identitas gadis itu. Rencana menuju tujuan utamanya baru di mulai.Aron beranjak dari kasur empuknya. Ia membasuh wajahnya. Sesekali ia menatap wajahnya sendiri di cermin. Aron cukup senang dalam kesempatan hidup keduanya menambah pengalaman baru.Tap.... Tap.... Tap....Suara langkah kaki Leo bisa dirasakan Aron. Ia memposisikan tubuhnya kembali ke kasur. Siasatnya berhasil membuat Leo dikelabuinya. Pria itu membenarkan selimut Aron yang terbuka."Apa kau mencoba menandingi ayahmu ini? Tentu saja kau bisa melakukannya, Aron. Aku tunggu itu," kata Leo di telinga Aron.Sontak, Aron menggerakkan tubuhnya yang seakan terganggu dengan bisikan sang ayah. Tangan kirinya sengaja menyiku pelipis Leo. Hal itu membuatnya terbangun mendadak."A–ayah?" tanyanya pura-pura terkejut. Aron mengucek kelopak matanya. "Bukankah besok ayah punya jadwal—""Apa rencanamu?" selanya mendesak Aron untuk menjawab."Rencana? Kita bahas kapan-kapan saja, Ayah. Sebaiknya kita melanjutkan istirahat. Begadang tidak baik untuk kesehatan, Ayah," tolaknya halus. Aron bersikap acuh tak acuh ketika ayahnya masih mematung.Leo tidak bisa memaksa kehendak sang anak. Terpaksa ia harus menunggu apa rencana yang dimaksud Aron. Ia menghela napas."Baiklah. Aku harap kau bisa menepati janjimu." Leo menahan tawa melihat wajah polos anaknya berakting. Dugaan Aron mengenai ayahnya yang tertipu adalah salah besar. Tentu saja ilmu Leo lebih tinggi darinya itu bisa menebak.Aron lega setelah Leo meninggalkan ruangan kamarnya. "Apa ayah sudah tahu kalau pernikahan Max dan Angela itu rencanaku?" pikirnya.Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha melupakan kejadian konyol barusan. Akan tetapi, kini Aron bisa melanjutkan tujuan utamanya. Ia melihat denah peta negara Atlantik. Ia juga meneliti pekerjaan apa yang lebih cocok untuk gadis cantik calon istri Max."Angela adalah informan yang bagus. Dilihat dari latar keluarganya, ia bukan dari kalangan biasa. Kecantikannya itu bisa dikatakan sebuah senjata. Aku akan memberikannya modal untuk usaha parfum padanya. Dengan begitu ia akan mendapatkan informasi lebih dalam untuk kasus-kasus lain," gerutunya sembari menulis semua rencananya di masa depan.***Aron tertegun sejenak, mencoba mencerna semua ingatan yang tiba-tiba membanjiri pikirannya. Gambaran-gambaran masa lalu yang sebelumnya kabur, kini menjadi jelas seperti film yang diputar ulang. Ia melihat dirinya sebagai sosok yang jauh lebih besar, lebih kuat, dan lebih tua dari yang pernah ia bayangkan. Dewa Perang. Itulah identitas sejatinya. Namun, mengapa ia terlahir kembali sebagai manusia? Mengapa ia harus melalui semua penderitaan ini? Dewa, yang masih berdiri di sampingnya, seolah membaca pikiran Aron. "Kau pasti bertanya-tanya mengapa semua ini terjadi, bukan?" ujarnya dengan suara tenang namun penuh makna. "Ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar, Aron. Kau tidak hanya sekadar dewa yang terlahir kembali, tapi kau adalah kunci untuk menyeimbangkan dunia ini," jelasnya. Aron mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata Dewa. Rasa penasarannya memuncak. "Kunci? Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini?" Ia memperhatikan wajah Dewa tanpa menge
Aron menghela napas lega, seolah beban berat yang selama ini menekan bahunya akhirnya terangkat. Namun, meski sudah merasa lega, ada sesuatu yang masih mengganjal di dalam hati. Dendam yang membara, yang seharusnya sudah mereda, malah semakin menyala. Ia menatap telapak tangan yang penuh dengan bekas luka, setiap goresan menceritakan kisah perjuangannya, setiap lekukan mengingatkan akan penderitaan yang pernah dialaminya.Ada sesuatu yang masih belum selesai, sebuah bab dalam hidupnya yang tidak bisa ia tutup begitu saja. Meski musuhnya sudah tiada, rasa kekesalan yang menyelubungi jantungnya tak kunjung hilang. Perasaan itu seolah-olah telah mengakar dalam jiwa, menjadi bagian dari dirinya yang sulit untuk dilepaskan.Firasatnya, yang selalu tajam, berbisik kepadanya bahwa perang besar yang baru saja usai tersebut belum sepenuhnya berakhir. Mungkin ini adalah tanda bahwa pertempuran masih belum selesai, dan dia tidak bisa begitu saja melupakan semua yang telah terjadi. Namun, seiring
Ledakan besar menghancurkan dataran negara Neon, tak satupun anggota bagian Orlando yang selamat dari ledakan bom itu. Tubuh Sora juga ikut terkubur reruntuhan bangunan. Usahanya untuk menyelamatkan diri tak bisa dilakukannya. Kelopak mata setengah terbuka. Pemandangan yang begitu berantakan. Di sela-sela momen itu Sora mencoba mengangkat tumpukan bangunan yang menimbun bagian tubuhnya. Sesekali ia mencari-cari oksigen. "Bila bukan si tua bangka itu, aku tidak akan susah seperti ini," decaknya mencoba keluar.Nahas, kepalanya yang baru saja nampak di permukaan menjadi sasaran tembakan Betabot. Kali ini ia benar-benar kehilangan kesadaran. Arwah Sora menolak untuk mati, sementara tubuhnya tak bisa bertahan lama. "Sialan harusnya aku hidup lebih lama," ucapnya dalam hati. Kepalanya terus mengalirkan darah segar. Hanya dalam tiga detik Sora menghembuskan napas terakhirnya.Mendengar kabar peperangan besar sengit antara Orlando dan musuhnya, menimbulkan perseteruan dari devisi yang ber
Awalnya Orlando mengira ia akan mendapatkan kemenangan besar. Melihat musuhnya tanpa senjata dan juga sendirian membuat kepercayaan dirinya semakin tinggi. Sayangnya tembakan tadi meleset tak mengenai musuhnya. "Apa?!" Kepalanya memanas menyaksikan Aron yang masih berdiri tegak. Orlando pun segera mengganti isian peluru yang ada di dalam pistolnya. "Arahkan senjata kalian padanya!" teriaknya memerintahkan seluruh pengikutnya.Serangan itu memang diterima oleh Aron. Ia mengubah elemen senjata yang diarahkannya menjadi tameng pelindung untuk mengatasi serangan bertubi-tubi. Menghilangkan rasa belas kasihan, Aron mengandalkan kebenciannya terhadap Orlando. Dendamnya begitu membara. Langkahnya maju mendekati musuhnya, belum menyerang balik mereka berjalan perlahan mundur. Dari balik gedung asap tembakan mulai menyebar. Aron memasang tatapan sinis. Emosinya dilihatkan secara terbuka. Menit-menit inilah yang sudah ia tunggu bertahun-tahun."Sekarang giliranku, Betabot mode musuh!" Dalam be
Max dan Jaz melaksanakan tugasnya sebagai mana yang diperintahkan Aron. Gadis itu hanya membatu menyaksikan pemandangan di depannya. Suara letusan senjata mulai mendengung. "Apa semua ini sudah kalian persiapkan sejak lama?" Pandangan matanya terlihat kosong. Namun dari pertanyaannya itu tidak mendapatkan respon dari keduanya. Lalu, Monica bertanya sekali lagi. "Kenapa kalian merahasiakan ini semua dariku?"Kepala mereka hanya menunduk sebagai jawaban. Tangisnya membasahi pipinya. Tatapannya ke arah jendela. Monica bisa merasakan akan terjadi peperangan besar bila mengaitkan teknologi senjata. Sangking khawatirnya, Monica tak sadarkan diri. Tubuhnya ambruk beberapa detik selanjutnya setelah berdiri tak lama menatap keluar jendela. Kedua bodyguard itu terpaksa menenangkan Monica dengan akses yang diberikan Aron. Untung saja mereka bisa mengatasi hal itu, tetapi nasib Aron masih menjadi tanda tanya. Mereka pun berdiri di samping kapsul tidur Monica. Bola mata mereka saling memandang.
"Kau sudah kelewatan batas, tuan Orlando," decak kawannya.Wajah datar Orlando tak peduli akan perkataan pria itu. Ia memilih tak peduli dan melanjutkan pesta pernikahan seperti tak ada terjadi sesuatu. Sementara dari kejauhan wajah Sora menundukkan dengan tangan mengepal. Pernikahan mereka memang digelar mewah, sayangnya kekacauan di depan mata membuat mood Sora buruk belum lagi kondisinya yang tengah hamil muda."Apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Orlando sembari memeluk istrinya. Namun, setelah beberapa detik ia tidak mendapatkan balasan dari mulut Sora.Suasana canggung pun terjadi. Memang Orlando pernah berada di posisi teratas sebelum bisnisnya perlahan menurun. Siapa sangka hari itu juga semua orang yang ada di dalam pesta pernikahannya bersikap acuh tak acuh."Sudah cukup! Hentikan!" bentak Sora yang tak tahan kericuhan terjadi. Tangannya mendorong jauh suaminya itu. Lalu berlari menuju kembali ke kamar.Rasa kesal Orlando meledak seketika. Disaat kehilangan akal untuk men
Tak lama perbincangan mereka terhenti. Alarm keberangkatan berbunyi di setiap sudut ruangan. Sontak hal itu membuat Monica berdiri. Ia sedikit canggung usai mengungkapkan sedikit bagian dari isi hatinya. Aron menggandeng tangannya. Mulanya Monica tak menyadari kalau keduanya mengenakan warna baju yang sama. Hasratnya untuk bertanya semakin memuncak, mengapa pilihan warna yang dipilih tidaklah seperti persiapan sebelumnya.Gadis itu menurutinya. Semua berjalan lancar. Gaya penampilan Aron kini bak seorang bos dari segala bos kriminal. Walaupun tanpa ada tato palsu, wibawanya sudah terlihat. Mereka dikawal beberapa bodyguard. Dimana diantara mereka sebagian adalah anggota kepolisian dua negara sekaligus. Aron berjalan penuh waspada. Sewaktu-waktu, bisa saja para kepolisian tidak memihak padanya."Aku lihat aksimu, nona." Tatapan Aron lurus ke depan.Monica masih berpikir dengan apa yang akan dilakukannya. Meski ia gugup karena penampilannya yang terlihat berbeda dari pekerjaannya. Teta
Monica membuka kelopak matanya. Ia meraba-raba tubuhnya. Sepasang baju tidur melekat di tubuh Monica. "A–apa? Tidakkk!"Teriakan itu terdengar sampai di telinga Jaz. Dengan cepat Jaz menerobos masuk ke kamar. "Apa yang terjadi nona?""Siapa yang menggantikan bajuku?" tanya Monica balik. "Apa kita sudah sampai di negara Neon? Kenapa kau tidak membangunkan aku ketika pesawat sudah mendarat? Butuh beberapa jam lagi untuk bersiap?""Nona tenangkan diri anda. Undangan yang akan anda hadiri masih besok. Tuan sengaja membuat kejutan penampilan anda untuk persiapan besok," jelasnya singkat.Monica menghela napas. Ia meraih botol berisi air mineral, segera Monica meneguk hingga habis. Kakinya merangkak ke kasur. "Baiklah, dimengerti.""Bila ada keperluan lain, silahkan panggil saya," pamit Jaz meninggalkan ruangan tersebut.Monica tak percaya kalau Aron yang menggantikan baju tidur untuknya. Belum lagi ia tertidur di bahu Aron sepanjang perjalanan menuju Neon. Rona pipinya timbul begitu saja.
Monica meloncat kecil dengan girang menuju pesawat. Senyumannya diperlihatkan yang membuat semua orang salah paham. Gadis itu membalikkan badan seraya melambai ke arah Aron dan berteriak, "Cepatlah!"Aron memberikan isyarat tangan. Ia menyuruh Monica menikmatinya makanan lebih dahulu. Kakinya sengaja berjalan lebih lambat dari biasanya. Dari kejauhan pandangannya kearah gadis itu."Setibanya disana, biarkan aku yang melancarkan urusan ini. Kau tak perlu mengikutiku, Jaz—""Apa itu tidak terlalu berbahaya?" Langkah kakinya terhenti. Aron meliriknya. "Apapun itu aku akan ikut dengan anda," lanjutnya.Aron tak menggubris kalimat terakhir yang diucapkan Jaz. "Kau masih saja tidak mengerti. Aku tidak ingin melibatkan banyak orang untuk melancarkan misiku. Kau temani Monica setelah sampai di sana."Jaz mengangguk seolah mengerti apa yang dikatakan Aron. Tentu saja Jaz tidak langsung mengiyakan pernyataan itu. Ia memiliki rencana bila tuannya dikeroyok. Melihat keceriaan di wajah Monica, ki