Share

Chapter 2

“Ehh?!”

Yena atau yang sekarang dikenal dengan nama Camille terpaku pada cermin yang ada di hadapannya. Ada begitu banyak pertanyaan muncul di benaknya terlebih lagi setelah melihat tubuhnya yang bukan miliknya. Sejak kapan ia memiliki rambut berwarna pirang dan panjang? Pasti ini adalah mimpi yang terasa sangat nyata.

“Aku pasti sedang bermimpi, Ayo, Yena, saatnya untuk bangun!”

Camille memejamkan mata lalu mencubit pipinya sendiri dan ia merasakan sakit. Ini bukanlah mimpi. Sekali lagi ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi padanya dan bagaimana dia bisa berada di tempat ini, terlebih lagi di tubuh orang lain.

“Nona?” Panggil sang pelayan.

Camille menoleh ke arah pelayan yang sedang menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

“Apa nona baik-baik saja? Sepertinya nona butuh obat? Akan saya ambilkan obat untuk nona. Saya pamit dulu.” Ucap sang pelayan dan ia pun pergi meninggalkan ruangan kamar itu.

Camille terduduk di kursi yang ada di ruangan itu dan kembali mencoba mengingat apapun yang dapat ia ingat. Tetapi kali ini, ia merasakan rasa sakit yang begitu hebat di kepalanya. Ia tidak bisa mengingat apa pun. Yena menoleh ke arah jendela dan melihat sebuah kota dengan kastil yang berdiri di tengah-tengahnya.

“Mungkin aku bisa mencari lebih tahu lebih banyak jika aku pergi ke kota itu.”

Camille memutuskan untuk keluar dari kamar itu dan ketika ia sudah keluar, di hadapannya adalah koridor panjang yang begitu mewah. Dari penampilan koridor itu, sudah pasti rumah ini milik seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di sebuah kerajaan/negara. Camille berjalan menyusuri koridor itu dan ia bertemu dengan beberapa pekerja di mansion tersebut.

“Nona Camille.”

Itulah sapaan mereka pada Camille yang sedang berjalan-jalan di koridor, mencari pintu keluar dari rumah tersebut. Camille hanya tersenyum pada mereka dan terus berjalan. Akhirnya ia menemukan pintu utama rumah tersebut setelah berhasil menemukan tangga untuk turun ke bawah. Camille membuka pintu tersebut dan keluar dari rumah itu. Sinar matahari yang begitu terik menyambutnya ketika pintu terbuka. Ia melangkah keluar dan di hadapannya, pemandangan kota terlihat begitu jelas.

“Sepertinya kamar tadi mengarah ke kota juga.”

Dari tempatnya berdiri ia dapat melihat jelas kota dan juga istana megah yang berdiri di tengah-tengahnya. Sudah pasti rumah itu dibuat di atas dataran tinggi dan juga dekat dengan kota. Arsitektur rumah itu sangatlah megah dan juga indah. Sepertinya pemilik rumah itu sengaja membuat rumahnya terlihat lebih menonjol daripada rumah yang lainnya. 

“Dengan pergi ke kota, aku bisa mendapatkan informasi tentang tempat ini.”

Camille menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berjalan menuju kota itu.

Di kota. Ada begitu banyak orang yang melakukan kegiatannya di siang hari yang begitu terik. Ketika ia memasuki gerbang kota tersebut, ada banyak pertokoan di sisi kiri dan kanan jalan utama. Di permukaan jalan tersebut terdapat sebuah angka romawi yang bertuliskan angka satu dan ia berhenti sejenak untuk melihat angka itu.  

“1? Apa maksud dari angka itu?”

Bisa saja itu adalah jalan nomor satu tapi baru kali ini ia melihat nomor jalan tertera di permukaan jalan. Sungguh unik. Camille kembali berjalan menuju ke tengah-tengah kota.

“He? Itu kan Putri Camille?”

“Iya, benar! Dia berjalan sendirian tanpa penjagaan?”

“Baru kali ini aku melihatnya tanpa pengawal atau pelayannya.”

“Aneh sekali. Dia kan terkenal dengan panggilan ‘Putri yang Tidak Bisa Disentuh’.”

“Apa dia kabur dari rumah?”

“Apa ini? Kenapa mereka semua membicarakanku? Siapa orang yang tubuhnya aku gunakan saat ini?”

Camille menoleh ke orang-orang yang sedang membicarakannya dan seketika mereka semua berhenti membicarakannya. Beberapa orang ada yang menyibukkan diri dan sebagian menunduk. Camille memutuskan untuk mengabaikan mereka semua dan berfokus untuk mencari informasi di kota tersebut. Selagi berjalan, ia melihat ada seorang penjual buah yang sedang sibuk menyusun buah-buahan yang terlihat segar.

“Permisi?”

“Selamat si—! Eh? Putri Camille?”

“Kenapa kamu begitu terkejut melihatku?”

“Maafkan saya, putri. Ada yang bisa saya bantu?”

“Aku tidak boleh terlihat mencurigakan.”

“Sepertinya aku tersasar, boleh tunjukkan jalan menuju istana?”

“Tentu saja! Sungguh kehormatan bagi saya untuk mengantar putri ke Istana Cantlyn. Mari ikuti saya.”

“Istana Cantlyn… Akan aku ingat namanya.”

“Tapi… barang dagangannya?”

“Tidak apa-apa, istri saya yang akan menjaganya nanti. Mari?”

Pria tersebut pergi meninggalkan toko buahnya bersama dengan Camille. Ia memimpin jalan menuju Istana Cantlyn. Dari toko milik pria tersebut, butuh waktu sekitar sepuluh menit sampai akhirnya tiba di dekat gerbang istana.

“Putri Camille, saya hanya bisa mengantar sampai disini.”

“Terima kasih banyak, tuan.”

“Saya pamit terlebih dahulu.”

Pria tersebut pergi meninggalkan Camille yang berdiri memandangi gerbang istana. Di hadapannya berdiri Istana Cantlyn yang begitu megah. Di gerbang istana tersebut, terukir sebuah ukiran berbentuk daun Ginkgo berwarna emas.

“Indah sekali…”

Camille melangkah menuju gerbang Istana Cantlyn. Di depan gerbang tersebut, berdiri dua orang penjaga yang tengah berjaga. Kedua penjaga tersebut menyipitkan matanya untuk melihat siapa orang yang berjalan menuju istana tersebut. Ketika Camille berhenti di hadapannya, penjaga tersebut seperti tidak mengenalinya.

“Siapa?!”

“Putri Camille.”

“Camille? Siapa? Ada urusan apa anda ke istana ini?” tanya penjaga pertama.

“Tidak ada orang yang boleh mengunjungi istana hari ini. Pulanglah!” ujar penjaga kedua.

“He? Memangnya ada apa di istana? Mengingat mereka semua memanggilku Putri, mungkin aku bisa mencoba menggunakan gelar itu.”

“Apa kalian sama sekali tidak mengenali seorang putri bangsawan? Pangeran yang memanggilku untuk ke istana.”

“Maafkan aku, Pangeran siapa-pun-itu!”

“Pangeran? Kalau anggota kerajaan mengundang seseorang, kami, penjaga yang bertugas di gerbang, pastinya sudah diberitahu sejak awal.”

“Sial…”

“Jangan coba membohongi prajurit Istana Cantlyn! Pergi sekarang sebelum kami paksa untuk pergi.”

“T-Tapi…!”

Tanpa berbasa-basi lagi, kedua penjaga menangkap Camille dan dengan kasar berusaha menyeretnya keluar dari wilayah istana.

“Berhenti!”

Suara seorang pria menghentikan kedua penjaga tersebut.

“Lepaskan dia!”

Keduanya menoleh dan dengan segera melepaskan Camille. Para penjaga itu memberi hormat pada pria misterius itu. Camille menoleh dan melihat pria misterius tersebut semakin mendekat ke tempatnya berdiri. Anehnya, pria tersebut terlihat sangatlah familiar.

“Aneh… Kenapa dia terlihat sangat familiar?”

Camille memperhatikan wajah sang pria dengan seksama. Raut wajah itu, mata coklat yang menatap ke arahnya dengan tajam, semuanya terlihat sangat familiar. Camille yakin ia telah melihat pria itu sebelumnya.

Pria misterius itu berhenti di hadapannya dan kedua penjaga, “Ada apa ini?”

“Yang Mulia! Gadis ini memaksa untuk masuk ke dalam istana dan ia menggunakan segala cara untuk bisa melewati penjagaan kami.”

“Bahkan ia berbohong mengenai Yang Mulia. Dia bilang Yang Mulia memanggilnya untuk datang ke istana padahal peraturan mengatakan bahwa apabila ada orang yang dipanggil ke istana, kami, penjaga gerbang, pasti mengetahuinya.” Tambah penjaga kedua.

Camille melihat ke arah lain dengan harapan pria itu tidak bertanya lebih jauh lagi, terlebih setelah mengetahui fakta bahwa ia telah menyinggungnya.

“Sepertinya ada kesalahan disini. Apa atasan kalian tidak memberi kabar bahwa aku memang mengundang Putri Camille untuk ke istana hari ini?”

“Eh?? Apa?!”

Kedua penjaga itu saling bertatapan dengan raut wajah terkejut.

“Jangan seenaknya menuduh tanpa mengetahui kebenarannya. Kalian terlihat bodoh karena hal ini.”

“Maafkan kami, Yang Mulia!”

Dengan rasa malu, pastinya, kedua penjaga tersebut memberi hormat sekali lagi pada pria itu dan pergi meninggalkan Camille.

“Terima kasih, Yang Mulia.”

“Ikut denganku.” Perintah pria tersebut.

Perintah seorang anggota kerajaan haruslah dituruti apabila ia tidak ingin terkena masalah. Mendengar perintah itu, Camille menurutinya dan berjalan mengikuti pria itu ke dalam istana.

Camille berjalan mengikutinya sampai ke sebuah ruangan. Ruangan itu terlihat seperti ruangan kerja yang tidak dapat dimasuki oleh siapapun secara sembarangan.

“Kenapa aku di bawa ke tempat ini?”

“Silahkan masuk, Nona Camille.”

Pria tersebut membukakan pintu untuknya dan mempersilahkannya untuk masuk. Camille masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan tersebut lebih terlihat seperti perpustakaan daripada ruangan kerja pribadi. Ada sebuah sofa di tengah ruangan dengan sebuah meja kecil dan di atas meja kecil itu ada sebuah mesin kopi berwarna putih yang terlihat modern.

“Mesin kopi?”

Pria tersebut menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ia kemudian duduk di sofa yang ada di tengah ruangan dan menyuruh Camille untuk duduk di sofa di hadapannya.

“Duduklah.”

Camille duduk di hadapan pria itu dan sekali lagi ia memperhatikan wajah pria itu untuk memastikan kecurigaannya.

“Nona Camille. Apa ada sesuatu di wajahku?”

“Eh? T-Tidak ada!” wajah Camille merona karena malu. “Terima kasih sudah membelaku tadi…”

“Membela? Aku tidak pernah membela. Aku hanya mencegah supaya para pasukan itu tidak meninggalkan bekas luka apapun pada tubuhmu. Apa yang akan orang lain katakan apabila tubuh seorang gadis dipenuhi dengan luka?”

“Aku kira dia memang berniat membelaku. Tapi tanpa bantuannya, mungkin saja aku sudah berakhir dengan berbagai luka akibat seretan kasar mereka.”

“Tetap saja aku ingin berterima kasih.”

“Bukan masalah. Kalau begitu, ada yang ingin aku tanyakan padamu. Apa yang kamu inginkan?”

“Eh? Aku inginkan?”

“Iya, kamu datang ke istana pasti ingin sesuatu, bukan? Tidak ada orang yang datang ke istana tanpa tujuan.”

“Tuan, Aku—”

“Oh iya, aku tidak nyaman dipanggil dengan sebutan ‘Tuan’. Allen, itu namaku.”

“Allen…”

“Lebih tepatnya, Pangeran Allen dari Sylle.”

“Sylle? Tempat ini bernama Sylle? Sebuah nama yang indah dan unik.”

“M-Maafkan saya, Yang Mulia. Saya sudah lancang pada anda.”

“Tidak apa-apa. Kalau begitu, apa jawaban atas pertanyaanku tadi?”

“Jawaban…” Camille terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan Allen. Tidak mungkin juga ia akan menjawab dengan jujur bahwa ia adalah seseorang yang masuk ke dalam tubuh seorang gadis bangsawan yang tidak mengetahui apapun tentang negara Sylle.

“Jadi? Bagaimana?”

“Aku… penasaran dengan istana Cantlyn… Kebetulan aku sedang mencari inspirasi desain ruangan untuk kamar baru di rumahku dan aku ingin mengambil inspirasi dari ruangan istana Cantlyn.”

Camille berharap agar Allen dapat mempercayai alasan yang sangat ia buat-buat. Berharap semoga bagi Allen alasan itu terdengar masuk akal. Camille melirik Allen yang terus menatapnya dengan wajah datar.

“Kumohon, percayalah!”

Tiba-tiba Allen beranjak dari posisi duduknya dan berjalan mendekati Camille. Dalam sekejap mata, Camille yang tadinya masih dalam posisi duduk tiba-tiba sudah berdiri dan di hadapannya, Allen yang berdiri sangat dekat dengannya. Allen mendekatkan wajahnya dengan wajah Camille kemudian berbisik tepat di telinganya.

“Sepertinya kamu belum terbiasa dengan tempat ini, Camille… atau kamu mau dipanggil Yena?”

Camille begitu terkejut mendengar namanya disebut, terlebih lagi namanya yang sesungguhnya. Bagaimana bisa Allen mengetahui identitas lamanya? Siapa pria ini? Apa Allen mengenal dirinya yang dulu? Camille berjalan mundur menjauhi Allen tetapi Allen melingkarkan tangannya di pinggang Camille dan menariknya mendekat, sangat dekat. Mata coklatnya menatap Camille dengan tajam tetapi ada kelembutan di balik tatapan itu. Camille menahan nafasnya, pipinya merona dan terasa panas.

“Allen… Siapa kamu sebenarnya?”

“Aku? Bukankah aku sudah memperkenalkan diri sebagai Pangeran Allen?”

“T-Tidak mungkin. Bagaimana bisa kamu mengetahui nama ‘Yena’?”

“Aku hanya asal menyebutnya.”

“Jangan berbohong. Katakan yang sejujurnya, siapa kamu?”

“Aku hanyalah seorang pangeran dari Sylle, Camille.”

“Aku tidak akan berhenti bertanya sampai kamu mengatakan yang sebenarnya, Allen.”

“Mungkin sebaiknya kamu menjawab terlebih dulu pertanyaanku, Camille. Apa kamu suka dengan tempat ini? Bagaimana tubuh baru ini?” tanya Allen dan ia semakin mendekatkan wajahnya dengan Camille. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Camille.

Camille mendorong Allen menjauh dan seketika rasa sakit di kepalanya kembali. Semua kenangan yang ia miliki di kehidupan lalunya terputar di dalam kepalanya bagaikan film yang tengah di putar.

Kenangan terakhir dari kehidupan sebelumnya, saat-saat kecelakaan, rasa sakit ketika tubuhnya dihantam oleh pengemudi mobil tidak bertanggung jawab yang meninggalkannya sendirian saja di jalanan menyambut ajal. Camille terduduk di lantai sambil berteriak dengan kencang karena rasa sakit yang dialaminya saat ini.

Tiba-tiba, Camille merasakan sepasang tangan melingkar di tubuhnya dan mendekapnya. Hangat. Itulah yang ia rasakan saat ini, kehangatan dari pelukan seseorang kepadanya. Perasaan nyaman menyelimutinya dan perlahan rasa sakit itu hilang, menyisakan rasa tenang dan nyaman. Camille membuka matanya dan melihat Allen yang sedang memeluknya dengan erat. Tangan kanannya menepuk-nepuk punggung Camille, berusaha menenangkannya.

“Allen—?”

Air mata mengalir di kedua pipi Camille. Allen sepertinya menyadari bahwa Camille menangis. Dengan jarinya, Allen mengusap air mata Camille dengan lembut.

“Allen…”

“Sudah, sudah. Aku disini.”

“B-Bagaimana bisa?”

“Maafkan aku, Camille. Aku secara tidak sengaja membuatmu mengingat kenanganmu di kehidupan sebelumnya.”

“Siapa kamu sebenarnya…”

Allen melepaskan Camille dari pelukannya dan menatapnya. Camille tidak bisa melepaskan pandangannya dari wajah tampan Allen. Mata coklatnya seakan-akan menyihirnya untuk terus menatap pria itu. Tangannya menggenggam tangan Camille dengan erat.

“Kalau aku beritahu, apa kamu akan percaya?”

“Coba saja.”

“Tutup matamu dan jangan coba-coba untuk mengintip.”

Allen menarik nafas dalam-dalam kemudian dengan tangan kanannya, ia menutup mata Camille. Camille menuruti perkataan Allen dan setelah beberapa saat, Allen menurunkan tangannya dan Camille membuka matanya.

“Allen, kamu…”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status