Share

Chapter 3

Mata Camille terbelalak melihat penampilan Allen. Ia berusaha untuk tidak berteriak sama sekali. Tangan Allen dengan lembut menggenggamnya, ia memberikan tatapan yang menenangkan.

“Allen… Kamu… memiliki tanduk?”

Penampilan Allen berubah dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Di atas kepalanya, menjulang sepasang tanduk berwarna hitam dan merah pada ujungnya. Pakaian yang ia kenakan berubah menjadi jubah berwarna merah yang berapi-api dengan dalaman berupa jas berwarna hitam dengan sentuhan merah pada ujung pakaiannya.

“Camille. Jangan takut…”

Camille menggelengkan kepalanya dan berusaha menenangkan diri. Pria yang di hadapannya berubah menjadi seseorang bertanduk dengan pakaian yang berapi-api. Tidak ada manusia di dunia ini yang memiliki penampilan seperti itu.

“Aku adalah Pangeran Iblis. Tapi aku tidak seperti yang kamu bayangkan.”

“B-Bagaimana bisa kamu ada disini?”

“Sama sepertimu, aku masuk ke dalam fisik seseorang di kerajaan ini dan orang terpilih itu adalah sang Pangeran, Allen.”

“Kalau begitu, Allen berarti bukan namamu yang sesungguhnya?”

“Bukan dan aku tidak bisa mengatakan namaku yang sesungguhnya.”

“Tapi… Apa tujuanmu di dunia manusia? Bukankah seharusnya kalian, para iblis, berada di tempat kalian?”

“Aku juga tidak bisa menjawab itu.”

Camille tidak mengerti kenapa ia tidak bisa memberi tahu apa alasannya. Tapi Allen seakan-akan bisa membaca pikirannya. Tangan kanannya terulur untuk mengelus pipi Camille.

“Maafkan aku karena tidak bisa memberitahumu.”

“Kalau begitu, apa pria yang aku temui di malam kejadian itu adalah kamu?”

Alih-alih menjawab dengan perkataan, Allen menjawabnya dengan sebuah anggukan.

“Aku-lah yang memberikanmu pilihan untuk hidup kembali dan bukan aku yang menentukan kemana jiwamu akan dikirim.”

“Lalu, siapa yang mengirimku ke tempat ini?”

“Aku juga tidak bisa memberitahu itu padamu, Camille.”

“Semua saja tidak boleh diberitahu.”

Allen mengelus rambut Camille sambil tersenyum hangat padanya. Kemudian Allen menatap Camille dengan serius.

“Berjanjilah padaku, Camille. Jangan pernah memberitahu siapapun tentang apa yang sudah kamu lihat.”

Camille menganggukkan kepalanya, “Aku janji.”

Allen tersenyum puas, “Bagus. Sekarang, pejamkan matamu lagi. Kamu tidak boleh melihat saat aku bertransformasi.”

Camille menuruti permintaan Allen dan ia memejamkan matanya. Sekali lagi tangan Allen menutup mata Camille sebelum ia kembali ke wujudnya yang sekarang. Allen menurunkan tangannya lalu bergerak mendekatkan wajahnya dengan wajah Camille dan berbisik.

“Bukalah matamu.”

Camille membuka matanya dan di hadapannya, Allen sudah kembali ke wujud manusianya. Tanduk yang tadinya ada di kepalanya sudah menghilang. Pakaiannya juga sudah kembali normal. Sebuah senyuman ramah terukir di wajah Allen.

“Ada apa, Allen?”

“Terima kasih sudah mau berjanji untuk tidak merahasiakan ini.”

“Sama-sama.”

“Camille… Apa kamu takut saat aku dalam wujud iblisku?”

“Hm? Tidak kok.”

“Jangan pernah takut padaku, Camille. Karena aku tidak akan pernah menyakitimu.”

“Allen, terima kasih banyak.”

“Untuk apa?”

“Tanpa bantuanmu, lebih tepatnya tanpa dirimu, aku tidak akan bisa merasakan namanya kehidupan lagi dan sepertinya sebuah ucapan terima kasih saja tidaklah cukup.”

Mendengar itu Allen terdiam, kemudian sekali lagi ia menarik Camille mendekat dan mengelus pipinya.

“Kalau begitu, apa yang akan kamu lakukan sebagai ucapan terima kasih kalau kata-kata saja tidaklah cukup?”

“A-Aku…”

Belum sempat menjawab pertanyaannya, tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di pintu dan juga suara seseorang yang memanggil-manggil Allen dari balik pintu.

“Allen!”

“Siapa orang di istana ini yang memanggil Allen tanpa gelar pangerannya kecuali kedua orang tuanya? Lagipula suara itu tidak terdengar seperti suara Raja atau Ratu.”

Raut wajah Allen berubah seketika. Ia terlihat kesal dengan seseorang, siapapun itu yang berada di balik pintu ruangan ini. Allen membantu Camille berdiri lalu ia berjalan menuju pintu itu dan membukanya. Di balik pintu itu, berdiri seorang pria dengan tinggi yang sepantaran dengan Allen. Pria itu memiliki rambut hitam dan ia melihat ke dalam ruangan.

“Tadi aku dengar teriakan—”

“Kamu tidak dengar apa-apa.” jawab Allen dengan ketus.  “Aku sedang ada tamu dan kami sedang membicarakan tentang pertunjukan opera yang akan diadakan minggu depan. Tamuku ini sedang menunjukkan salah satu adegan di pertunjukan tersebut.”

“Begitukah?”

Camille berdiri di belakang Allen dan ia berusaha mengintip dari balik tubuh Allen yang jauh lebih tinggi darinya. Tetapi tiba-tiba tangannya digenggam oleh Allen dan sikap Allen seakan-akan sedang melindunginya dari pria berambut hitam yang ada di hadapannya.

“Hm? Siapa gadis itu?”

“Gadis mana?”

“Gadis yang ada di belakangmu. Aku tidaklah bodoh, Allen. Tapi itu tidak penting, aku membawa pesan dari ayah bahwa ia ingin kamu menemuinya sekarang.”

“Apa lagi yang ia inginkan… Katakan padanya kalau aku akan menemuinya setelah mengantar tamuku pulang. Tidak mungkin aku membiarkan seorang gadis berjalan kaki sendirian pulang ke rumahnya.”

“Tidak bisa. Serahkan saja gadis itu padaku, biarkan aku yang membawanya pulang, kakak.”

Akan tetapi Allen menolak. Ia bersikap semakin protektif pada Camille. Camille yang mendengar pria itu memanggil Allen dengan sebutan kakak menyimpulkan bahwa sepertinya pria berambut hitam itu adalah adik dari Allen yang berarti dia adalah pangeran kedua.

Pria itu menghela nafas, “Allen, kamu tahu sendiri kalau ayah benci menunggu. Jangan sampai ia melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.”

“Beri aku waktu sebentar. Katakan padanya kalau aku akan segera ke sana.”

Pria itu mengangguk dan pergi meninggalkan Allen bersama Camille. Sikap Allen berubah ketika ia menghadap Camille. Ekspresi sedih terlukis di wajahnya.

“Sudah, tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri.”

“Aku sungguh ingin mengantarmu tapi kalau aku tidak segera menemui ayah, entah apa yang akan ia lakukan.”

Camille tersenyum hangat sambil mengangguk. Ia tidak ingin Allen merasa bersalah karena hal kecil seperti ini.

“Aku akan menemuimu lagi nanti, aku pasti akan menemuimu…”

Allen tersenyum pada Camille sebelum pergi meninggalkannya. Camille memperhatikan Allen yang berjalan sampai akhirnya ia tidak dapat melihatnya lagi. Karena tidak ada lagi yang harus dia lakukan di istana, Camille berjalan keluar dari istana itu.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan saat Camille menoleh ia melihat pria berambut hitam yang tadi dilihatnya.

“Nona.”

“E-Eh? Ada apa?”

“Biarkan saya yang mengantarmu pulang.”

“Tidak perlu, Yang Mulia. Terima kasih atas tawarannya tetapi saya bisa pulang sendiri.”

“Saya memaksa, nona. Anggaplah aku utusan kakakku untuk mengantarmu pulang. Omong-omong, maafkan ketidaksopananku. Perkenalkan, Ashe.” Ucapnya sambil mengulurkan tangannya, mengajak Camille untuk berjabat tangan.

Camille meraih tangan pria itu dan menjabat tangannya. Saat Camille menjabat tangannya, ia dapat merasakan genggaman tangan pria itu begitu erat dan ketika Camille hendak melepaskannya, pria itu seakan-akan tidak ingin melepaskan jabat tangan mereka. Camille menatapnya dengan tajam sebelum akhirnya pria itu menyadari tatapan Camille dan melepaskan tangannya.

“Senang bertemu denganmu, Pangeran Ashe. Panggil saja saya Camille.”

“Sebenarnya aku sudah tahu kamu siapa tetapi tidak masalah. Senang juga bertemu denganmu, nona Camille. Kalau begitu apa kamu sudah siap untuk pulang?”

“Maaf tapi lebih baik aku pulang sendiri, Yang Mulia.”

“Tapi, apa yang akan orang-orang katakan ketika melihat seorang putri Duke berjalan keluar dari istana sendirian dan tidak ada salah seorang dari kedua pangeran yang mau mengantarnya untuk pulang?”

“Lagipula tidak ada salahnya kalau aku berjalan sendiri pulang.”

“Ya sudah kalau begitu.”

Sebuah senyuman terukir di wajah pria itu kemudian ia menghampiri salah satu penjaga yang sedang berjaga.

“Y-Yang Mulia Ashe!”

“Tolong siapkan sebuah kereta kuda untukku.”

“Tapi, Yang Mulia, semua kereta kuda sedang dibersihkan. Apa Yang Mulia tidak masalah jika saya ambilkan kuda putih milik Yang Mulia?”

Ashe mengangguk dan penjaga itu pun segera berlari untuk menyiapkan kuda untuk Ashe.

Setelah beberapa saat menunggu, penjaga tersebut kembali membawa seekor kuda putih yang sangat gagah dan indah.

“K-Kuda putih!”

“Benar, sangat gagah kan?”

“I-Iya.”

Camille terpesona dengan kuda milik Ashe. Ia kemudian mendekati kuda itu dan dengan ragu berusaha mengulurkan tangan untuk mengelus surai kuda tersebut.

“Jangan takut.” Ujar Ashe. “Dia sangatlah baik.”

“Siapa namanya?”

“Cirrus.”

“Cirrus, izinkan aku untuk membelai suraimu.”

Mendengar itu Camille memberanikan diri dan mengelus surai kuda putih tersebut. Kemudian Ashe melompat ke atas kuda itu dan mengulurkan tangannya pada Camille.

“Ayo naik?”

Camille meraih tangan Ashe dan menyusulnya, ia juga naik ke atas kuda putih itu. Angin berhembus dan aroma yang familiar memenuhi indra penciumannya.

“Aroma ini… Dimana aku pernah menciumnya?”

“Nona Camille, tolong pegangan yang erat.”

Camille menatap Ashe dengan ragu tetapi Ashe meraih tangan Camille dan melingkarkan tangannya di pinggang Ashe.

“Kamu tidak mau kan jatuh dari kuda yang berlari?”

“Maafkan aku.” Camille berpegangan pada pinggang Ashe dengan erat kemudian Cirrus, kuda putih itu mulai berjalan keluar dari wilayah istana.

Untuk kembali ke rumah Camille, Ashe mengambil jalan yang sama yang dilalui Camille ketika ia pergi ke istana. Orang-orang langsung membungkukkan badannya, memberi hormat pada sang Pangeran ketika Ashe lewat. Beberapa orang ada yang mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya tetapi Ashe tidak menghiraukan mereka.

Tiba-tiba Cirrus berhenti dan Camille bingung dibuatnya. Ia mengintip dari balik Ashe dan melihat banyak wanita yang berdiri di depan Cirrus sambil menatap Ashe dan beberapa dari mereka berusaha menggodanya.

“Siapa para gadis ini?”

“Pangeran Ashe!” ucap salah satu wanita itu.

“Sungguh kehormatan bisa bertemu dengan anda!” ujar wanita yang lain.

“Anda tampan sekali setelah dilihat secara langsung.” ucap wanita yang lainnya.

Ashe terlihat tidak nyaman dengan kehadiran para wanita-wanita itu.

“Nona-nona, boleh tolong permisi?”

“Eh? Anda mau kemana? Mari minum teh bersama sebelum melanjutkan perjalanan.” ajak wanita pertama.

“Maaf, nona-nona. Tolong menyingkir dari jalanan.”

“Tunggu!” seketika semua wanita-wanita itu menoleh dan seorang gadis berambut pirang berjalan ke arah Camille. Gadis itu menatap tajam ke arah Ashe dengan Camille dengan mata biru langitnya. Para wanita itu juga memberi jalan bagi gadis pirang itu. Gadis itu berhenti di depan Ashe dan memberi hormat padanya.

“Salam, Yang Mulia. Maafkan atas kelancangan saya tapi saya melihat seseorang yang saya kenal berada di belakang anda. Kalau boleh tau, apa yang dilakukannya sampai bisa berada bersama Yang Mulia?”

Camille dibuat kebingungan. Ia tidak mengenal siapa gadis itu bahkan ia belum pernah melihatnya sebelumnya.

“Kamu siapa?” tanya Ashe.

“Perkenalkan, Yang Mulia, saya adalah adik dari gadis yang sedang berada di belakang anda. Yuri Kranz.”

“Adik? Kranz? Apa itu nama keluarga Camille?”

“Kamu gadis dari Camille?”

“Benar sekali, Yang Mulia. Kalau boleh tahu mengapa Camille bisa berada bersama Yang Mulia?”

“Bukan urusanmu.” Jawab Ashe dengan ketus.

Setelah menjawab Yuri, Ashe memacu kudanya meninggalkan Yuri yang terlihat sangat kesal, ia mengepalkan tangannya dengan penuh kemarahan. Salah seorang gadis mendekatinya dan memberanikan diri untuk bertanya pada Yuri.

“Y-Yuri?”

PLAK!!

Tanpa berkata apa-apa, Yuri mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi gadis itu dan pergi meninggalkan para gadis-gadis lain.

“Dia sangat keterlaluan!”

“Untung saja statusnya seorang putri Duke. Kalau bukan, sudah habis dia di tangan kita semua.”

Ucap para gadis itu sambil memandangi Yuri sampai ia menghilang dari pandangan mereka.

Di sisi lain.

Camille dan Ashe akhirnya tiba di kediaman Duke. Ashe turun dari kudanya dan mengulurkan tangannya pada Camille.

“Ashe?”

“Maafkan aku, nona.”

Sambil mengucapkan kalimat itu, Ashe memegang pinggang Camille dan dengan bantuan Ashe, Camille melompat turun dari kuda. Saat satu kakinya sudah menginjak tanah, kakinya yang satu lagi secara tidak sengaja menginjak kaki kanan Ashe. Camille berusaha mundur dan meminta maaf. Tetapi Ashe malah menariknya mendekat dan mendekapnya dalam sebuah pelukan erat.

“A-Ashe?!”

“Camille, dengarkan aku baik-baik. Jauhilah saudaraku karena dia bukanlah orang yang baik.”

“Kenapa? Kenapa kamu bisa bilang kalau dia bukanlah orang yang baik? Apa dasar dari perkataanmu ini?”

Ashe melepaskan Camille dan menatapnya dengan tajam. Tatapannya begitu serius seakan-akan ingin membuat Camille percaya padanya. Seperti ada sihir dari tatapan Ashe padanya.

“Camille… Dia…”

“Camille!”

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya dari dalam rumah dan juga langkah kaki yang mendekat ke arah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status