Maaf ya, Readers, author belum bisa double up gantiin yang kemarin. 🙏 Happy reading! ^^
"Halo, Damian?" sapa Lisa ketika mengangkat telepon."Kak Lisa," lirih Damian enggan.'Tumben Damian memanggilku kakak? Apa gara-gara peringatan papa waktu itu, ya?'"Ada apa?" sahut Lisa."Itu...um, tolong datang ke sekolahku sekarang. Kalau tidak, guru BK akan membuatku terus berdiri di ruang ini entah sampai kapan," ucap Damian tak bersemangat sambil melirik bapak guru yang sedang bersedekap memelototinya."Apa? Ulah apa lagi yang kau lakukan, Damian? Dan kenapa kau malah meneleponku? Bukankah harusnya kau menelepon mama atau papa?" Lisa tak habis pikir melihat tingkah Damian.Damian mendesah malas. "Aku mohon, Kak Lisa," ucapnya memelas. Sebenarnya tadi walaupun terpaksa, Damian sudah mencoba menghubungi Nafa, tetapi nomor Nafa tidak aktif. Saat Damian menelepon ke rumah, asisten rumah tangga mengatakan bahwa Nafa tidak sedang berada di rumah. Sedangkan menelepon Hendra sama sekali tidak ingin ia lakukan. Hendra bukan ayah kandungnya! Selain itu, Hendra pasti akan marah besar padan
'Suami?' Damian terkejut mendengar dugaan pria asing itu. Dia kemudian menoleh melihat Lisa. 'Apa aku dan Lisa terlihat serasi sehingga dia berpikir seperti itu?' Telinga Damian memerah."Nick, hal konyol apa yang kau katakan? Apa mungkin aku menikah dengan anak lelaki yang masih berseragam SMA?" tanya Lisa dengan nada malas. Damian pun tersadar bahwa dia masih memakai seragam SMA."Ya, aku tahu itu jelas tidak mungkin. Yang kutanyakan apa bocah ini yang mengaku-ngaku sebagai suamimu di telepon waktu itu?""Siapa bocah maksudmu?" ucap Damian tersinggung."Ya kau bocah, siapa lagi?" jawab Nick ringan sambil bersedekap."Kau!" bentak Damian mengulurkan sebelah tangannya hendak mendorong Nick kembali."Damian," hardik Lisa dengan suara rendah. Segera tangan Damian mengambang di udara. Dia langsung menariknya kembali."Nick, walaupun ini sangat aneh, tapi aku minta kau jangan kemari lagi. Masih banyak kafe lain yang bisa kau kunjungi," ucap Lisa."Hah? Masa kau melarang pelanggan kafemu se
"Apa lelaki itu bernama Nick?" tanya Revin menduga."Iya betul! Kok tahu?"Wajah Revin menggelap. "Dasar brengsek!" gumamnya dengan gigi merapat."Hah? Siapa maksudnya brengsek?" Damian heran."Tentu saja si binatang itu," jawab Revin."Em? Iya...binatang...lebah," sahut Damian bergumam tak jelas. Melihat Lisa tampak cemas, Damian lalu berkata, "Tapi sepertinya sih, lelaki itu datang hanya untuk memastikan apakah Lisa memang benar sudah menikah atau tidak. Begitu Lisa memberitahunya bahwa dia sudah menikah, lelaki itu pergi dengan wajah kecewa. Jadi, kurasa tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Kak.""Sebelumnya aku sudah memperingatinya untuk menjauhi istriku, tetapi ternyata dia tetap mengganggu!" bentak Revin kesal.Damian berdehem merasakan aura posesif dari Revin. "Em, menurut penilaianku tadi, lelaki itu terlihat sangat menyukai Lisa. Jadi, wajar saja jika dia perlu memastikan secara langsung kebenarannya dari Lisa," ucap Damian. "Selain itu, dari cara dia pergi, aku rasa dia tid
"Kenapa Om tiba-tiba menanyakan itu?""Om tidak yakin kalau cuma mendengar dari mamamu. Om ingin mendengar langsung ceritanya darimu.""Iya, awalnya dia menyangkal. Belakangan dia mengakuinya. Walaupun sangat membuatku kesal, tapi aku cukup menghargai karena dia mau mengakui perbuatan busuknya. Aku berharap dia benar-benar bertobat dan tidak berbuat licik lagi."Ben tampak berpikir. 'Kenapa dia mengakui perbuatan itu ya? Padahal jelas-jelas dia mengatakan padaku bahwa dia tidak menjebak Revin. Apa Lisa membohongiku?'"Dia memberitahumu bahwa dia selalu meminum pil kontrasepsi, itu sebabnya kau bebas menggaulinya, tetapi di kemudian hari tanpa memberitahumu, dia malah berhenti meminum kontrasepsi sehingga pada akhirnya kau menghamilinya. Begitu, kan?" ucap Ben mengulangi apa yang dia tahu dari Renata."Iya, Om! Apa lagi namanya itu kalau bukan jebakan?" tanggap Revin."Iya. Kalau dari segi itu, jelas itu adalah jebakan. Tapi apa yang dia katakan sewaktu menyangkal hal itu darimu?"Revin
Walaupun Revin menjawab dengan mantap bahwa sampai kapanpun ia tidak akan memiliki rasa cinta pada Lisa, tetap saja Ben tidak percaya akan jawaban itu. Kecemburuan Revin begitu kental terhadap Lisa. Ben bisa merasakannya dengan jelas. Itu adalah kecemburuan seorang pria, bukan emosi yang muncul hanya karena masalah harga diri. Untuk itu, untuk memastikan perceraian Revin dan Lisa benar-benar akan terjadi ke depannya, Ben memutuskan untuk mendatangkan Liliana dua bulan lebih cepat.Liliana adalah gadis yang cantik dan cerdas, dia juga pintar memasak, dan yang pasti bukan perempuan murahan. Ben yakin Liliana akan mampu menaklukkan Revin. Semakin banyak waktu yang digunakan oleh Liliana untuk dekat dengan Revin, maka semakin cepat Revin akan ditaklukkan."Aku menyayangi Erwin. Lisa kotor dan tidak pantas untuk Erwin. Liliana-lah gadis yang tepat untuknya. Dan karena aku yang menghancurkan kehidupan Lisa, memang sebaiknya aku yang bertanggung jawab padanya," ucap Ben pada dirinya sendiri s
"Kau memang orang yang tidak tahu bersyukur." Revin segera menjauhkan dirinya dari Lisa dengan rasa kesal di dalam dada. Dia menghela napas. "Kalau kau memang memiliki otak, harusnya kau terima saja segala kebaikan dan perhatian yang kuberikan. Bukan sok menolak seperti yang kau lakukan sekarang, padahal jelas-jelas kau butuh," ucapnya dengan nada rendah.Lisa sedikit mengerutkan keningnya. Butuh apa yang dimaksud Revin? Lisa memutuskan untuk perlahan kembali duduk lalu menoleh menatap Revin yang ternyata juga ikut beranjak duduk sepertinya."Aku bukannya tidak bersyukur, Kak. Aku hanya tidak mau merepotkanmu karena melakukan hal yang sebenarnya tidak Kakak sukai. Aku tahu kakak tidak suka memelukku, jadi jangan lakukan. Dalam surat perjanjian aku meminta ketenangan dan kenyamanan selama hamil, itu maksudnya aku hanya ingin Kakak berhenti untuk terus menekanku seperti sebelum-sebelumnya. Untuk hal-hal lain seperti memberikan perhatian padaku, itu sebenarnya tidak perlu. Itu bukan kewaj
"Benar-benar tidak penting," ucapnya kembali dalam hati sambil menggulir layar. Tetapi saat menemukan ada foto Nick di sana, Revin berubah pikiran. Ia memutuskan untuk menelepon balik Cherrine."Halo, Mas?" sapa Cherrine dengan bersemangat. Tidak sia-sia dia menyuruh orang untuk membuntuti Lisa. Akhirnya dia memiliki kesempatan untuk menjelekkan Lisa kembali di hadapan Revin."Iya, halo. Apa maksudmu mengirim foto-foto semacam itu?" tanya Revin tenang tanpa basa-basi sambil keluar dari kamar dan menutup pintunya.Lisa yang sebenarnya tidak tidur menolehkan kepalanya pada pintu yang ditutup. Dia penasaran pada siapa Revin bertelepon? Kenapa Revin sampai harus keluar dari kamar untuk berbicara dengan si penelepon itu? Ini kesannya seolah Revin tidak ingin dia tahu. "Bahkan jika itu dengan Liliana, kenapa sampai harus keluar kamar. Bukankah aku juga sudah tahu tentang Liliana?" tanyanya dalam hati. Rasa penasaran menggelayuti Lisa.•"Jadi begitulah, Mas. Dua lelaki itu nyaris saja berke
Lisa segera mundur tiga langkah saat Revin turun dari ranjang. Dengan tangan bersedekap, Revin melirik ponsel di lantai lalu kembali menatap Lisa dengan tajam."Jadi ini yang kau lakukan diam-diam saat aku tidur?"Lisa diam seribu bahasa."Jawab!" ucap Revin tegas menuntut.Lisa menatap Revin dengan mata berkaca-kaca. "Memangnya kenapa?" ucapnya tiba-tiba menantang, membuat Revin tak percaya."Apa kau bilang?"Kedua tangan Lisa mengepal. "Memangnya kenapa kalau aku melihat ponselmu?" tanyanya lagi dengan nada menantang. Tetapi suara itu terdengar agak bergetar seperti sedang menahan gejolak emosi."Kau tanya kenapa? Apa kau tidak sadar perbuatanmu itu tercela? Memeriksa ponsel orang tanpa izin pemiliknya?" tanya Revin dengan kening mengerut."Apa aku harus izin melihat ponsel suamiku sendiri?" tanggap Lisa dengan kepala mendongak. Lisa terlihat keras kepala saat ini."Apa?""Apa aku harus izin melihat ponsel suamiku sendiri?" ucap Lisa meninggikan suaranya.Mulut Revin sedikit terbuka