Milla akhirnya memutuskan untuk menelpon tukang pangkas pohon itu untuk menanyakan alasan dan sebab keterlambatannya datang.
"Maaf, Non Milla, Saya tadi malam sudah telpon ke vila untuk mengonfirmasi ke pemilik vila tersebut dan memastikan soal pekerjaan yang kita sepakati kemarin untuk pekerjaan hari ini tetapi saat telpon diangkat oleh pemilik vila, katanya Dia sedang ada di luar dan membatalkan kesepakatan kerja hari ini karena Dia sedang tidak berada di vila," kata sang tukang pangkas pohon itu kepada Milla sopan.
"Siapa yang membatalkannya, Pak?" tanya Milla merasa heran.
Pikirannya langsung mendarat pada sosok Eddy. Namun, kemudian dia tepis, sebab Milla sendiri tidak merasa yakin apakah orang yang dimaksud oleh tukang pangkas pohon itu adalah Eddy.
"Orang itu mengaku sebagai pemilik vila, Non," sahut tukang pangkas pohon itu tegas.
Milla langsung paham siapa yang dimaksud tukang pangkas pohon tersebut.
Siapa lagi kalau bukan Eddy?
Awalnya Milla memang meragukan bahwa Eddy yang telah melakukan semuanya dengan sengaja.
Tapi setelah ada pengakuan kepada tukang pangkas pohon bahwa itu adalah pemilik vila, siapa lagi yang bisa mengaku sebagai pemilik kalau bukan Eddy sendiri?
Milla benar-benar merasa kecewa dengan sikap Eddy, dia sudah menunggu dan membuang waktu seharian untuk tukang yang tidak pernah akan muncul sementara Eddy dengan seenaknya sendiri membatalkan janji yang telah Milla sepakati dengan tukang pangkas pohon itu tanpa merasa perlu untuk memberitahukan kepadanya bahwa dia telah membatalkan janji tersebut.
Akhirnya Milla memperbaharui kontrak kerjanya dengan tukang pangkas pohon itu lalu kemudian menyuruhnya untuk datang keesokan harinya.
Setelah semua urusan itu beres, Milla berjalan menuju bangunan vila untuk segera menemui Eddy.
"Kalau memang ingin ikut campur kenapa Dia tidak bilang dari awal? Pria ini benar-benar tidak berpendirian sekali. Bagaimana mungkin kemarin bilang tidak mau ikut campur sekarang tiba-tiba saja membatalkan janji yang Aku buat dengan salah satu pekerja yang akan Aku pakai," gerutu Milla panjang lebar.
Gadis itu terus menggerutu sambil melangkahkan kakinya menuju ke arah vila dengan berbagai macam pikiran yang mulai berkelebatan di dalam benaknya.
Hal ini sungguh sangat meresahkan dan menimbulkan konflik di dalam hatinya.
Satu sisi dia marah karena Eddy ikut campur. Namun, di sisi lain Milla juga merasa tidak berdaya menghadapi sikap Eddy itu. Sebab, bagaimanapun Eddy memang merupakan pemilik vila jadi wajar saja kalau dia ikut campur dalam urusan renovasi.
Satu hal yang disesali oleh Milla mengapa di awal Eddy berkata tidak ingin ikut campur kalau pada akhirnya dia malah mengacak-acak jadwal kerja yang telah dibuatnya.
Milla benar-benar penasaran dan sangat ingin tahu mengapa Eddy membatalkan janjinya dengan tukang pangkas pohon itu tanpa informasi lebih lanjut kepadanya.
"Apakah Dia telah mendapatkan arsitek yang lebih profesional?" tanya Milla kepada dirinya sendiri. "Tapi tidak, aku tidak percaya Dia berubah pikiran karena masalah itu," kata Milla lagi merasa galau.
Tanpa terasa Milla sudah sampai di depan pintu vila. Dia menatap pintu kokoh dari kayu jati itu dengan perasaan rumit.
Sejenak gadis itu merasa ragu untuk mengetuk pintu vila, karena khawatir Eddy akan merasa terganggu dan marah. Namun, Milla menguatkan hatinya agar tidak ragu lagi untuk mengetuk pintu vila tersebut.
Tok! Tok! Tok!
Dia mengetuk pintu vila kencang. Namun, hingga jarinya sakit, dia masih juga tidak mendapatkan jawaban. Milla kemudian mengintip ke dalam vila melalui kaca jendela vila dan mendapati keadaan di dalam vila sangat sepi sekali seperti tidak ada jejak kehidupan.
"Aneh. Apakah Dia belum pulang? Tapi tukang itu jelas-jelas bilang telah menelpon ke vila," gumam Milla merasa bingung.
Milla kembali mengetuk pintu vila lebih kencang tapi tetap tidak ada jawaban dari dalam.
Milla mengerutkan kening merasa kesal dan bosan.
'Sepertinya Dia benar-benar sedang tidak berada di rumah ... lalu siapa yang menjawab telpon tukang itu? Jangan-jangan telpon vila ini dialihkan ke ponselnya?' pikir Milla menduga-duga.
Gadis itu akhirnya memutuskan kembali ke pondoknya terlebih dahulu untuk bersih-bersih dan istirahat.
Satu setengah jam kemudian ....
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian dengan baju tidur, Milla merasa segar sekali serta rasa penatnya pun berkurang.
Dia duduk di tepi kasur membuka ikatan rambutnya dan menyisir perlahan sambil berpikir bagaimana cara terbaik berbicara dengan Eddy soal pembatalan kerja itu.
Setelah berpikir dan mendapatkan ide, Milla langsung bersiap-siap untuk tidur. Dia menaruh sisirnya di bufet dan naik ke tempat tidur.
Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya yang lelah sehabis bekerja dan panas-panasan di taman dengan perasaan nyaman. Milla membentangkan tangan dan kakinya di atas kasur yang telah biasa dia gunakan untuk tidur sejak dia masih kecil. "Akhirnya bisa istirahat dengan nyaman di rumah," gumam Milla sambil berguling ke sana ke mari merasa bahagia. Dia memejamkan matanya dan tersenyum. Milla merasa beruntung sekali karena ayahnya telah menyediakan kasur ukuran besar dan tahan lama seperti yang ditidurinya saat ini sehingga sampai sekarang kondisi kasur tersebut masih tetap layak untuk dipakai olehnya. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana jika harus membeli kasur baru sedangkan wilayah ini sangat jauh dari manapun. Kalau dia harus membeli kasur sekarang pasti akan sangat menyita waktu dan menguras dompet. "Ayah memang yang terbaik!" gumam Milla sambil terus tersenyum dan merasa penuh syukur. Tiba-tiba lampu berkedip-kedip dan padam di saat gadis itu membuka matanya untuk meliha
"Apa yang Kamu lakukan? Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy sambil menahan pinggang Milla dengan salah satu tangannya. Eddy merasa aneh melihat Milla yang hampir jatuh jika tidak dia tahan. Kalau hanya mengetuk pintu, tidak mungkin gadis itu sampai hampir terjatuh ketika pintu dibukanya. 'Sepertinya Dia mengetuk pintu sambil bersandar,' tebak Eddy dalam hati. "Tidak, Aku tidak apa-apa," kata Milla dengan wajah merah merona karena malu sambil berusaha menegakan tubuhnya dibantu oleh Eddy. Milla benar-benar merasa malu sekali dengan kejadian yang telah dialaminya tadi. Rasanya dia ingin sekali membenturkan kepalanya dan pura-pura pingsan karena merasa malu menghadapi Eddy. "Apakah ada masalah?" tanya Eddy perhatian. Eddy pikir tidak mungkin gadis di hadapannya ini menerobos kegelapan kalau tidak ada hal yang benar-benar serius untuk disampaikan. "Kenapa Kamu lama sekali membuka pintunya?" tanya Milla lebih seperti keluhan di wajah cemberutnya. "Aku baru saja selesai mandi," ja
'Barang kali setelah semuanya dibicarakan, Eddy mau kembali menghidupkan listrik di pondok aku,' harap Milla dalam hati. Eddy mengajak Milla masuk ke dalam vila dan mengajaknya ke dapur untuk duduk di meja kopi yang berada di dapur. Meja itu hanya berukuran enam puluh kali seratus dua puluh sentimeter persegi menyambung dengan kitchen set yang terletak di antara dapur dan ruang makan. "Silakan," kata Eddy mempersilakan Milla agar duduk di kursi yang ada di seberangnya. Lalu Eddy sibuk memasak air dan menyeduh kopi untuk dua orang. Milla hanya diam memperhatikan kegiatan Eddy memasak air dan menyeduh kopi. Dari gerakannya Milla bisa melihat kalau pria itu sudah terbiasa melakukan kegiatan itu seorang diri. "Cream or sugar?" tanya Eddy kepada Milla ketika dia sudah menuangkan kopi ke dalam gelas kopi. "Sugar, please," sahut Milla sambil bertopang dagu. "Silakan," kata Eddy sambil meletakan kopi di hadapan Milla dan duduk di seberangnya. Eddy menyeruput kopinya dengan santai sam
"Oh?!" sahut Milla acuh tak acuh. "Saat itu Aku sedang rapat dan Dia meminjam ponselku, mungkin pada saat itulah tukang pangkas menelepon ke vila, kebetulan telepon di sini langsung dialihkan ke ponselku," kata Eddy menduga-duga. "Lalu sepupu angkat Kamu itu dengan beraninya mengangkat telepon untukmu dan memutuskan untuk Kamu?" cibir Milla sinis. Jelas Milla menanggapi sinis penjelasan pria di hadapannya ini. Sebab, sedekat apa pun sepupu apalagi ini hanya sepupu angkat, apa mungkin dia bisa memutuskan segala sesuatunya seenaknya sendiri tanpa izin dan setahu sepupu angkatnya yang dalam hal ini adalah Eddy? "Mungkin Dia mengira di vila ini tidak ada orang jadi Dia membatalkan janji itu dan setelahnya lupa untuk memberitahu Aku," kata Eddy berusaha membawa Milla untuk berprasangka baik kepada Nining. "Sepupumu itu apakah Dia adalah perempuan?" tanya Milla ingin tahu. "Iya," jawab Eddy singkat. "Pantas," gumam Milla sambil meletakan gelas kopinya dengan bosan. Milla telah mendug
"Mengapa Kamu menatapku seperti itu? Apakah Kamu tidak terima pada apa yang Aku katakan mengenai sepupu angkat Kamu itu?" tanya Milla kesal mendapat tatapan menyelidik dari pria di hadapannya itu. 'Apakah Dia marah? Hah! Yang benar saja, dasar aneh, bukankah Aku yang seharusnya lebih marah karena telah dibuat menunggu tanpa kejelasan. Semua itu gara-gara sepupu angkatnya yang suka ikut campur itu,' cibir Milla dalam hati merasa tidak puas dengan sikap Eddy yang hanya diam saja dan malah menatap dirinya dengan teliti seperti saat ini. Milla tidak tahu kalau Eddy memperhatikannya bukan karena tidak senang saat mendengar Milla mengomentari soal Nining. Sikap Eddy saat ini lebih kepada rasa tertarik dan ingin tahu tentang Milla sendiri sehingga dia mulai menilai gadis di hadapannya ini secara keseluruhan dan mulai membandingkannya dengan Nining. "Nona Milla, apakah Kamu merasa ada masalah kalau sepupu angkat ku itu ingin menjadi istriku? Apakah Kamu keberatan?" tanya Eddy setengah men
Satu hal yang tidak diketahui oleh Milla, Eddy sebenarnya telah membaca buku harian adiknya - Shasha- di situ banyak sekali tertulis doa-doa dan pengharapan adiknya itu agar Eddy dan Milla bisa berjodoh. Awalnya Eddy merasa harapan adiknya itu suatu hal yang konyol. Namun, setelah beberapa hari dirinya mengenal dan memperhatikan Milla, Eddy mulai merasa semuanya bisa saja terjadi. "Sudah malam sekali, akan lebih baik kalau Kamu menginap di sini dulu malam ini. Kamu bisa tidur di kamar Shasha. Di sana juga masih terdapat baju-bajunya, Kamu bisa meminjam baju tidur Dia untuk sementara," tawar Eddy untuk mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana yang agak canggung antara dia dan Milla. "Oh iya, Aku hampir lupa untuk menanyakannya kepadamu, mengapa Kamu mematikan listrik di pondokku?" tanya Milla yang tiba-tiba saja teringat tujuannya datang ke vila utama menemui Eddy tanpa menghiraukan tawaran yang baru saja dilontarkan olehnya. Bagaimana pun kalau disuruh memilih, tentu saja M
"Apakah Kamu tetap akan pulang?" tanya Eddy mengerutkan kening khawatir. Milla terdiam. Dia benar-benar bingung sekarang. Di satu sisi dia takut untuk pulang kembali dalam keadaan gelap gulita seperti saat ini, tapi dia juga merasa tidak enak jika harus menginap di vila bersama Eddy. "Bagaimana dengan tawaranku sebelumnya? Aku tidak bisa membiarkanmu balik ke pondok sendirian karena hari sudah malam dan di luar sangat gelap," kata Eddy kepada Milla tidak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya. Milla mulai mempertimbangkan apa yang baru saja dikatakan oleh Eddy. Kalau dia pulang sekarang ketakutannya tidak hanya pada makhluk halus saja. Namun, Milla justru lebih takut pada binatang melata seperti ular yang bisa saja ada di semak-semak menuju ke pondoknya. Gadis itu akhirnya memutuskan lebih memilih menginap di vila dan tidur di kamar sahabatnya yang sering dia pakai belajar dan tidur bersama sewaktu sahabatnya itu masih hidup dari pada harus pulang ke pondok dalam keadaan gelap gul
"Aku baru tahu kalau babi bisa makan spaghetti dan makaroni," kata Eddy sambil tersenyum terhibur memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. "Kita makan sama-sama saja," usul Milla mengabaikan kata-kata Eddy. "Baiklah ... ayo kita makan bersama, selamat makan," kata Eddy sambil menyendok spaghetti dari dalam mangkuknya. Milla mengangguk dan melakukan hal yang sama dengan Eddy. Mereka makan malam dalam keheningan, baik Eddy maupun Milla, keduanya sama-sama tidak suka berbicara ketika sedang makan. Sedikit demi sedikit makanan di atas meja itu berhasil mereka habiskan. Eddy benar-benar senang bisa memiliki teman makan seperti Milla. Tidak seperti gadis-gadis lain yang selalu menjaga image ketika makan, Milla malah cenderung cuek dan tidak takut terlihat berantakan saat mereka makan bersama. Eddy menambahkan makanan terakhir ke piring Milla karena melihat makanan di piringnya telah habis lebih dulu. Perilaku Eddy ini membuat gadis itu protes dengan membulatkan matanya ke arah E