Keesokannya, Yonna terbangun dini hari karena mimpi yang selalu menggerayanginya selama tidur. Sungguh, ia merasa lelah, tak tahu harus berbuat apa, ia hanya ingin mimpi aneh itu berhenti datang.
"Apa arti semua ini?" Helaaan napas panjang terbit dari bibirnya.
Merasakan serak di tenggorokan, Yonna pergi ke dapur. Dahinya mengernyit saat matanya menangkap cahaya terang dari sana, biasanya lampu dapur sengaja dibuat redup ketika mereka tidur.
"Mama?"
Yuliisa tersentak di tempat, kaget mendengar suara dari belakang tubuhnya.
"Yonna? Kamu mengejutkan Mama."
"Maaf, Ma. Mama sedang apa di dapur Jam segini?" Bunyi air yang mengisi gelas terdengar.
"Mama tidak bisa tidur, kamu kenapa bangun sepagi ini?"
"Tiba-tiba kebangun aja, Ma."
Yulissa membuang napasnya kasar. "Kamu sudah dengar kabar penembakan malam tadi?"
Pupil mata Yonna melebar mendengar ucapan Mamanya.
"Iya, aku dengar waktu diantar pulang sama Luther dari restoran tempat Akia kerja."
"Kamu lihat kejadiannya?" Yulissa memajukan tubuhnya merapati tepi meja.
"Nggak, soalnya jauh di belakang, tapi masih terdengar. Terus ada yang menjerit juga. Mama tahu dari mana?"
"Pas Mama pulang tadi, di sana masih ramai, banyak polisi. Karena penasaran, Mama tanya sama bu Lika pemilik toko di persimpangan. Katanya, dia melihat dua remaja laki-laki bertemu dari arah berlawanan. Satu membawa cutter dan satunya lagi pistol. Awalnya Bu Lika tidak tahu kalau mereka membawa senjata, karena sebelumnya dua remaja itu terlihat biasa saja. Sampai tiba-tiba remaja yang membawa cutter menyerang lebih dulu, dia menyayat tepat di nadi leher dan menusuk bagian dada. Rupanya si pembawa pistol masih memiliki tenaga, jadi dia menekan pelatuk mengarah tepat ke tengah kepala lawannya. Naas, keduanya wafat di tempat."
Yonna masih diam mencerna apa yang baru ia dengar.
"Nggak ada yang membantu? Mungkin aja melerai atau bawa ke rumah sakit?"
"Semuanya terjadi tiba-tiba, Nak, siapa yang menduga kalau akan ada aksi saling bunuh seperti itu? Siapa yang berani mendekat? Mereka bersenjata, satu menggunakan pistol. Kamu bisa tertembak kapan saja. Kematian keduanya pun berlangsung cepat, meski sempat dibawa ke rumah sakit, Mama rasa tetap tidak selamat. Nyawa mereka pasti terenggut di perjalanan menuju rumah sakit."
"Mama dengar apa motif dua orang itu?"
"Belum diketahui, tapi berdasarkan salah satu rekan mereka mengatakan kalau keduanya berteman dekat. Mungkin masalah pribadi di mana hanya dua remaja itu yang tahu."
Yonna terdiam, ia sungguh tidak tahu harus mengatakan apa. Ia juga tidak memiliki bayangan, banyak kata yang melayang-layang di pikirannya. Tetapi tidak ada satu pun kemungkinan yang masuk akal, siapa pun, waras atau tidak.
/////
"Siapa yang memilih membunuh teman sendiri di muka umum?" Akia heran setengah mati.
"Itu yang aku pertanyakan, jika benar mereka memiliki hubungan pertemanan, kenapa saling bunuh?" Yonna meminum minuman yang ia pesan tadi.
"Mana di depan toko, berani sekali," sambung Dovis.
"Dari buku yang aku baca, psikopat sekalipun pilih-pilih tempat buat bunuh korbannya. Tidak terbaca dan tak terdeteksi, tahu-tahu ada mayat tergeletak," ucap Malilah sembari menyuap baksonya.
"Kalaupun terdeteksi, misalnya nggak? Nggak pernah ada yang tahu kalau seseorang baru membunuh manusia lain secara ganas. Mungkin pihak kerabat mikirnya hilang atau diculik." Yonna menggeleng kuat saat membayangkan bagaimana aksi saling bunuh terjadi.
"Iya, ngeri."
"Meskipun tindakan itu salah, tetapi janggal sekali bila mereka melakukannya terlalu transparan. Seolah ingin menunjukkan apa yang terjadi kepada khalayak," ucap Clovis menyampaikan pemikirannya.
"Masalah hati, mungkin? Cinta itu, kan, liar." Dovis berkedip nakal ke arah Malilah.
"Benar, saya rasa begitu. Mengingat siswi yang bunuh diri di belakang sekolah, bisa jadi dua orang itu juga menggunakan alasan yang sama, cinta. Berdasarkan pengamatan saya selama hidup, siapa saja bisa melakukan apa saja demi satu orang biasa, atas nama cinta," ucap Akia menatap gelas di depannya datar.
"Aku antara setuju dan tidak. Cinta bisa segila itu apabila sudah mencapai tahap obsesif, bahkan yang terobsesi sekalipun masih bisa kembali pada kehidupan sebenarnya, keluar dari lingkaran hitam yang selama ini mengurung."
Akia menolehkan sedikit kepalanya, tanpa menatap pada Clovis.
"Buktinya, Luther dan Yonna. Perasaan yang hadir dalam diri mereka masih bisa terkendali, di batas wajar. Apabila menghadapi sebuah masalah, mereka pun masih dapat menemukan jalan keluar. Kita semua tahu, cinta seperti ini tidak liar dan gila."
"Ralat, setidaknya tidak segila sampai harus mencabut nyawa orang lain," ralat Yonna.
Secara pribadi, Yonna terkadang merasa seakan diombang-ambingkan oleh perasaan itu sendiri. Hampir setengah emosinya dipengaruhi oleh apa yang ia rasakan dari pasangannya—Luther. Yonna bisa tiba-tiba sedih, murung, bahkan mendadak bahagia karena pesan dari Luther.
Jika diperkirakan, ia berada di tengah-tengah pendapat Akia dan Clovis. Baginya, cinta itu tidak gila bagai obsesi, tetapi bukan pula sesederhana seperti rasa suka biasa. Meski beberapa hal mengenai hal tersebut masih sulit dijelaskan secara teori.
Setiap individu memiliki rasa dan pengalaman masing-masing, sehingga hasil pikiran yang tertanam perihal cinta juga berbeda-beda. Terlepas dari pendapat Yonna tentang cinta, ia justru dibuat heran dengan kejadian beberapa hari ini. Sebelumnya bunuh diri, dan semalam saling bunuh. Sepertinya aksi kriminal mulai bermunculan.
"Ayo, ke parkiran!" Luther mengait tangan Yonna.Sebelum itu, Akia izin memisahkan diri. "Saya ke luar duluan, ya, sampai jumpa besok!""Tunggu, Ki. Kau hari ini dapat jam kerja sore lagi?""Tidak, Lil. Ada apa?""Pas! Sore ini belanja, yok? Bertiga!" Malilah menekankan kata 'bertiga' saat ia melihat Dovis ingin bicara."Yah, paham aja kalau aku mau ikut. Ther, kau nggak cemburu lihat pacarmu pergi bareng teman-temannya terus?" pancing Dovis."Nggak, kami kan pergi-pulang sekolah bareng. Kalau Yonna mau pergi sama teman-temannya aku nggak pernah permasalahkan, asal tujuannya jelas dan dia aman," jawab Luther santai. Tidak lupa Luther menarik kecil hidung pacarnya, mendadak membuat kedua pipi gadisnya itu bersemu malu."Aduh, sudah aku bilang jangan tebar kemesraan di depanku. Bikin sesak aja," protes Malilah."Kau bisa, kan, Ki?""Iya, bisa. Kabarin aja waktu dan tempatnya.""Nanti kalian berdua aku je
“Halo, Petunia, saya Akia Baqiya. Salam kenal, ya,” sapa Akia.Bertepatan dengan guru yang keluar, Malilah langsung meminta kedua sahabatnya mendekati Petunia, berkenalan.“Aku Yonna.”“Se-senang bertemu ka-kalian.” Petunia memerhatikan tiga orang yang mengelilinginya.“Kami juga. Em, Kau mau bareng kami ke kantin, ‘kan?” Malilah menunggu jawaban Petunia. Dengan pelan, murid pindahan tersebut mengangguk.“Ayo!” ajak Yonna.“Cie, ada personil baru,” seru Rasia.“Iya, dong. Biar pas.” Malilah memasang nada sombong.“Hati-hati, biasanya yang pendiam itu menghanyutkan,” tambah Poli.“Yon, jaga Luther, siapa tahu cewek pindahan itu peletnya kuat.”Rasia dan Poli tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Gisel barusan. Yonna melihat wajah Petunia berubah murung. “Sudah, mereka memang gitu, a
“Kenapa kamu belum tidur?”Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.“Kenapa ketawa?”“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”“Lebay, ah.”“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”“Pasar malam?”“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”“Nanti kita duduk paling belakang.”“Yeay! Jangan muntah, ya?!”“Kamu itu yang muntah.”“Nggak!”“Iya, deh, cantikku.”“Okay! Sudah, aku mau tidur.”“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”“Nggak kebalik, pacar?”“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”Yonna terkekeh, lalu mengucapka
“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.“Bonceng tiga,” sahut Yonna.“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak M
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa