Share

Bagian : 3

Keesokannya, Yonna terbangun dini hari karena mimpi yang selalu menggerayanginya selama tidur. Sungguh, ia merasa lelah, tak tahu harus berbuat apa, ia hanya ingin mimpi aneh itu berhenti datang. 

"Apa arti semua ini?" Helaaan napas panjang terbit dari bibirnya. 

Merasakan serak di tenggorokan, Yonna pergi ke dapur. Dahinya mengernyit saat matanya menangkap cahaya terang dari sana, biasanya lampu dapur sengaja dibuat redup ketika mereka tidur. 

"Mama?" 

Yuliisa tersentak di tempat, kaget mendengar suara dari belakang tubuhnya. 

"Yonna? Kamu mengejutkan Mama." 

"Maaf, Ma. Mama sedang apa di dapur Jam segini?" Bunyi air yang mengisi gelas terdengar.

"Mama tidak bisa tidur, kamu kenapa bangun sepagi ini?" 

"Tiba-tiba kebangun aja, Ma."

Yulissa membuang napasnya kasar. "Kamu sudah dengar kabar penembakan malam tadi?"

Pupil mata Yonna melebar mendengar ucapan Mamanya.

"Iya, aku dengar waktu diantar pulang sama Luther dari restoran tempat Akia kerja."

"Kamu lihat kejadiannya?" Yulissa memajukan tubuhnya merapati tepi meja.

"Nggak, soalnya jauh di belakang, tapi masih terdengar. Terus ada yang menjerit juga. Mama tahu dari mana?"

"Pas Mama pulang tadi, di sana masih ramai, banyak polisi. Karena penasaran, Mama tanya sama bu Lika pemilik toko di persimpangan. Katanya, dia melihat dua remaja laki-laki bertemu dari arah berlawanan. Satu membawa cutter dan satunya lagi pistol. Awalnya Bu Lika tidak tahu kalau mereka membawa senjata, karena sebelumnya dua remaja itu terlihat biasa saja. Sampai tiba-tiba remaja yang membawa cutter menyerang lebih dulu, dia menyayat tepat di nadi leher dan menusuk bagian dada. Rupanya si pembawa pistol masih memiliki tenaga, jadi dia menekan pelatuk mengarah tepat ke tengah kepala lawannya. Naas, keduanya wafat di tempat."

Yonna masih diam mencerna apa yang baru ia dengar.

"Nggak ada yang membantu? Mungkin aja melerai atau bawa ke rumah sakit?"

"Semuanya terjadi tiba-tiba, Nak, siapa yang menduga kalau akan ada aksi saling bunuh seperti itu? Siapa yang berani mendekat? Mereka bersenjata, satu menggunakan pistol. Kamu bisa tertembak kapan saja. Kematian keduanya pun berlangsung cepat, meski sempat dibawa ke rumah sakit, Mama rasa tetap tidak selamat. Nyawa mereka pasti terenggut di perjalanan menuju rumah sakit."

"Mama dengar apa motif dua orang itu?" 

"Belum diketahui, tapi berdasarkan salah satu rekan mereka mengatakan kalau keduanya berteman dekat. Mungkin masalah pribadi di mana hanya dua remaja itu yang tahu." 

Yonna terdiam, ia sungguh tidak tahu harus mengatakan apa. Ia juga tidak memiliki bayangan, banyak kata yang melayang-layang di pikirannya. Tetapi tidak ada satu pun kemungkinan yang masuk akal, siapa pun, waras atau tidak.

/////

"Siapa yang memilih membunuh teman sendiri di muka umum?" Akia heran setengah mati.

"Itu yang aku pertanyakan, jika benar mereka memiliki hubungan pertemanan, kenapa saling bunuh?" Yonna meminum minuman yang ia pesan tadi. 

"Mana di depan toko, berani sekali," sambung Dovis.

"Dari buku yang aku baca, psikopat sekalipun pilih-pilih tempat buat bunuh korbannya. Tidak terbaca dan tak terdeteksi, tahu-tahu ada mayat tergeletak," ucap Malilah sembari menyuap baksonya.

"Kalaupun terdeteksi, misalnya nggak? Nggak pernah ada yang tahu kalau seseorang baru membunuh manusia lain secara ganas. Mungkin pihak kerabat mikirnya hilang atau diculik." Yonna menggeleng kuat saat membayangkan bagaimana aksi saling bunuh terjadi.

"Iya, ngeri."

"Meskipun tindakan itu salah, tetapi janggal sekali bila mereka melakukannya terlalu transparan. Seolah ingin menunjukkan apa yang terjadi kepada khalayak," ucap Clovis menyampaikan pemikirannya.

"Masalah hati, mungkin? Cinta itu, kan, liar." Dovis berkedip nakal ke arah Malilah.

"Benar, saya rasa begitu. Mengingat siswi yang bunuh diri di belakang sekolah, bisa jadi dua orang itu juga menggunakan alasan yang sama, cinta. Berdasarkan pengamatan saya selama hidup, siapa saja bisa melakukan apa saja demi satu orang biasa, atas nama cinta," ucap Akia menatap gelas di depannya datar.

"Aku antara setuju dan tidak. Cinta bisa segila itu apabila sudah mencapai tahap obsesif, bahkan yang terobsesi sekalipun masih bisa kembali pada kehidupan sebenarnya, keluar dari lingkaran hitam yang selama ini mengurung."

Akia menolehkan sedikit kepalanya, tanpa menatap pada Clovis.

"Buktinya, Luther dan Yonna. Perasaan yang hadir dalam diri mereka masih bisa terkendali, di batas wajar. Apabila menghadapi sebuah masalah, mereka pun masih dapat menemukan jalan keluar. Kita semua tahu, cinta seperti ini tidak liar dan gila."

"Ralat, setidaknya tidak segila sampai harus mencabut nyawa orang lain," ralat Yonna. 

Secara pribadi, Yonna terkadang merasa seakan diombang-ambingkan oleh perasaan itu sendiri. Hampir setengah emosinya dipengaruhi oleh apa yang ia rasakan dari pasangannya—Luther. Yonna bisa tiba-tiba sedih, murung, bahkan mendadak bahagia karena pesan dari Luther. 

Jika diperkirakan, ia berada di tengah-tengah pendapat Akia dan Clovis. Baginya, cinta itu tidak gila bagai obsesi, tetapi bukan pula sesederhana seperti rasa suka biasa. Meski beberapa hal mengenai hal tersebut masih sulit dijelaskan secara teori. 

Setiap individu memiliki rasa dan pengalaman masing-masing, sehingga hasil pikiran yang tertanam perihal cinta juga berbeda-beda. Terlepas dari pendapat Yonna tentang cinta, ia justru dibuat heran dengan kejadian beberapa hari ini. Sebelumnya bunuh diri, dan semalam saling bunuh. Sepertinya aksi kriminal mulai bermunculan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status