Sebelum Yonna memasuki kelas, Luther menyempatkan mengacak rambut hitam gadisnya. "Ish, rambutku berantakan." Yonna mencubit kecil pinggang lelaki di depannya.
"Sudah, masuk sana!"
Perempuan itu mengangguk lalu masuk ke kelas 12-IPA 2, meninggalkan Luther yang menduduki kelas 12-IPA 1. Sampai di dalam, Yonna disambut oleh sahabatnya—Akia, yang duduk bersebelahan dengan Yonna. Gadis berkepribadian tenang itu sepertinya mengganti gaya rambut.
"Selamat pagi, Yonna," sapa Akia.
"Pagi, Ki. Udah ganti gaya rambut, nih?" tanya Yonna sambil mengaitkan tas di samping meja.
"Hehe, cocok tidak? Saya merasa aneh." Akia menyentuh rambut gelombangnya.
"Sangat cocok, kau terlihat lebih dewasa."
"Dewasa atau tua?"
Mendengar ucapan Akia barusan, mereka berdua tertawa singkat. "Kamu sudah menyelesaikan makalah biologi?" tanya Akia mengganti pembahasan.
"Sudah, untung aku tidak lupa membawanya tadi." Yonna mengeluarkan tugas dari guru biologi.
"HALO SEMUA! SELAMAT PAGI!" Teriakan itu berasal dari perempuan yang memiliki tubuh lebih rendah dari Yonna, sahabat mereka.
"Pagi, Kiya! Pagi, Yonna!" seru Malilah menyapa dua sahabat baiknya.
"Pagi!" balas mereka bersamaan.
"Apa itu, Yon?" tanya Malilah setelah berhasil duduk di kursi yang berada di belakang Yonna.
"Ini? Tugas makalah biologi. Kau sudah selesaikan?"
"Makalah? Ada disuruh buat, kah?" Raut Malilah penuh bingung.
"Astaga, jangan bilang kamu lupa?!" tanya Akia, meski mereka pun sudah tahu jawabannya.
"Jangankan lupa, aku aja nggak tahu ada tugas makalah begini, Ki."
"Sumpah, Lil. Modelan kaya kau kok, bisa naik kelas 12, sih?" Yonna melontarkan nada mengejek.
"Ya, mana aku tahu. Bukan aku yang urus kenaikan kelas. Lagian, baru juga kita naik kelas 12, tugas sudah banyak aja," keluh Malilah.
"Namanya juga sekolah, kalau bukan disuruh mengerjakan tugas, apa lagi?"
"Tok, tok, tok. Mak Lilahku sayang, Dovi yang tampan datang."
Tawa Malilah berhenti seketika, meski berteman, ia selalu malas jika berinteraksi dengan Dovis Elliot, kembaran Clovis Elliot yang sekelas dengan Luther.
"Lilah, sayang. Masa aku kau abaikan, sih? Tega!"
"Siapa, ya?"
"Aduh, sakit sekali," ujar Dovis dramatis.
"Nih, biar kesayanganku bisa langsung kenal sama pria jantan satu-satunya ini."
Dengan gagah, Dovis memberi Malilah tumpukan kertas yang dibuat menjadi buku. Makalah biologi yang harus dikumpul hari ini. Seketika, manik Malilah berkilat senang, ia tidak akan jadi dihukum nanti.
"Bagaimana?" Dovis memainkan kedua alisnya.
"Wah! Terima kasih banyak Dovi yang tampan satu kabupaten." Dengan penuh bahagia, Malilah memeluk makalah tersebut.
"He, giliran dikasih beginian, langsung muji." Yonna menatap datar tindakan aneh sahabatnya yang satu itu.
"Nggak apa-apa, Yonna. Yang penting dia bahagia," timpal Akia.
Bel pertanda masuk berbunyi bertepatan dengan duduknya Dovis di samping bangku Malilah. Senyum lelaki itu terpampang sangat jelas, melihat Malilah yang masih tersenyum senang di atas kursinya.
/////
"Mari sahabat-sahabatku, kita serbu kantin." Malilah mengait masing-masing satu tangannya kepada Yonna dan Akia, menyeret mereka ke kantin. Bel istirahat sudah berbunyi.
"Aku dengar, ada siswi yang bunuh diri di SMA Merah Putih kemaren sore." Kabar yang didapat Malilah menjadi pembuka acara gosip mereka.
"Bunuh diri? Kamu dengar dari mana?" Akia bertanya setelah berhasil meneguk air mineral dalam botol.
"Aku punya kenalan dari sana, katanya cewek itu bunuh diri karena patah hati."
"Apa? Patah hati?" Dahi Yonna berkedut heran.
"Iya! Kau tahu nggak gimana cara siswi itu bunuh diri?"
"Nggak, gimana? Gantung diri?"
"Gantung diri kayaknya sudah mainstream, deh."
"Terus?"
"Dia menusuk-nusuk perutnya sendiri pakai pisau, sampai darahnya itu muncrat ke mana-mana."
"Serius?!" Yonna bergidik ngeri membayangkan apa yang siswi itu lakukan. Akia pun ikut meringis membayangkan.
"Serius! Di halaman belakang sekolah lagi, pasti gentayangan."
"Masa bunuh diri, sih? Bukan kasus pembunuhan, Lil?" tanya Akia.
"Bukan, dari laporan pihak kepolisian, cuma ada sidik jarinya di gagang pisau. Lagian aksinya itu terekam kamera CCTV!"
"Astaga! Merinding aku." Yonna mengelus dadanya, merasa takut.
"Iya! Apalagi aku semalam lihat video rekaman CCTV itu. Sumpah, kaya nonton film thriller."
"Kau dapat videonya? Mana?"
"Ada, Joan yang kasih. Mau lihat?"
"Iya!"
"Nih, kalian berdua nonton sendiri, pakai earphone sekalian." Malilah menyodorkan ponsel pintarnya, lalu meminjam milik Yonna—bertukar.
Yonna berbagi earphone bersama Akia, merotasikan ponsel menjadi melintang. Meski takut, Yonna memerhatikan setiap detik video yang tayang.
Di sana, mereka melihat perempuan seumurannya baru datang dari sisi luar gedung, berjalan lunglai menuju tengah-tengah halaman. Walau jarak antar dirinya dan kamera cukup jauh, tatapan dari perempuan itu terlihat kosong. Dengan badan menghadap ke luar, ia mengeluarkan sebilah pisau dari saku gaun tidur yang dikenakan.
Sekian detik berikutnya, ujung pisau yang tajam memasuki bagian dalam perutnya, lagi dan lagi. Berdasarkan hitungan Yonna, ada lima kali tusukan. Darah menciprat ke tanah sebelum akhirnya jatuh, terlihat ia menyempatkan diri untuk tertawa. Mendengar tawa itu, Yonna merinding setengah mati. Bagaimana orang yang sekarat masih sempat berpikir untuk tertawa?
Lima detik selepas siswi dari salah satu sekolah yang juga terkenal itu kehilangan nyawa, video berhenti. Namun, tidak berhenti berputar di dalam pikiran Yonna. Ia menemukan satu hal yang dirasa aneh.
"Makanannya datang!" pekik Malilah kegirangan. Perutnya sudah menggerutu sejak tadi meminta diisi.
Keesokannya, Yonna terbangun dini hari karena mimpi yang selalu menggerayanginya selama tidur. Sungguh, ia merasa lelah, tak tahu harus berbuat apa, ia hanya ingin mimpi aneh itu berhenti datang."Apa arti semua ini?" Helaaan napas panjang terbit dari bibirnya.Merasakan serak di tenggorokan, Yonna pergi ke dapur. Dahinya mengernyit saat matanya menangkap cahaya terang dari sana, biasanya lampu dapur sengaja dibuat redup ketika mereka tidur."Mama?"Yuliisa tersentak di tempat, kaget mendengar suara dari belakang tubuhnya."Yonna? Kamu mengejutkan Mama.""Maaf, Ma. Mama sedang apa di dapur Jam segini?" Bunyi air yang mengisi gelas terdengar."Mama tidak bisa tidur, kamu kenapa bangun sepagi ini?""Tiba-tiba kebangun aja, Ma."Yulissa membuang napasnya kasar. "Kamu sudah dengar kabar penembakan malam tadi?"Pupil mata Yonna melebar mendengar ucapan Mamanya."Iya, aku
"Ayo, ke parkiran!" Luther mengait tangan Yonna.Sebelum itu, Akia izin memisahkan diri. "Saya ke luar duluan, ya, sampai jumpa besok!""Tunggu, Ki. Kau hari ini dapat jam kerja sore lagi?""Tidak, Lil. Ada apa?""Pas! Sore ini belanja, yok? Bertiga!" Malilah menekankan kata 'bertiga' saat ia melihat Dovis ingin bicara."Yah, paham aja kalau aku mau ikut. Ther, kau nggak cemburu lihat pacarmu pergi bareng teman-temannya terus?" pancing Dovis."Nggak, kami kan pergi-pulang sekolah bareng. Kalau Yonna mau pergi sama teman-temannya aku nggak pernah permasalahkan, asal tujuannya jelas dan dia aman," jawab Luther santai. Tidak lupa Luther menarik kecil hidung pacarnya, mendadak membuat kedua pipi gadisnya itu bersemu malu."Aduh, sudah aku bilang jangan tebar kemesraan di depanku. Bikin sesak aja," protes Malilah."Kau bisa, kan, Ki?""Iya, bisa. Kabarin aja waktu dan tempatnya.""Nanti kalian berdua aku je
“Halo, Petunia, saya Akia Baqiya. Salam kenal, ya,” sapa Akia.Bertepatan dengan guru yang keluar, Malilah langsung meminta kedua sahabatnya mendekati Petunia, berkenalan.“Aku Yonna.”“Se-senang bertemu ka-kalian.” Petunia memerhatikan tiga orang yang mengelilinginya.“Kami juga. Em, Kau mau bareng kami ke kantin, ‘kan?” Malilah menunggu jawaban Petunia. Dengan pelan, murid pindahan tersebut mengangguk.“Ayo!” ajak Yonna.“Cie, ada personil baru,” seru Rasia.“Iya, dong. Biar pas.” Malilah memasang nada sombong.“Hati-hati, biasanya yang pendiam itu menghanyutkan,” tambah Poli.“Yon, jaga Luther, siapa tahu cewek pindahan itu peletnya kuat.”Rasia dan Poli tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Gisel barusan. Yonna melihat wajah Petunia berubah murung. “Sudah, mereka memang gitu, a
“Kenapa kamu belum tidur?”Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.“Kenapa ketawa?”“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”“Lebay, ah.”“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”“Pasar malam?”“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”“Nanti kita duduk paling belakang.”“Yeay! Jangan muntah, ya?!”“Kamu itu yang muntah.”“Nggak!”“Iya, deh, cantikku.”“Okay! Sudah, aku mau tidur.”“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”“Nggak kebalik, pacar?”“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”Yonna terkekeh, lalu mengucapka
“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.“Bonceng tiga,” sahut Yonna.“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak M
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi