Share

Bagian : 4

"Ayo, ke parkiran!" Luther mengait tangan Yonna.

Sebelum itu, Akia izin memisahkan diri. "Saya ke luar duluan, ya, sampai jumpa besok!" 

"Tunggu, Ki. Kau hari ini dapat jam kerja sore lagi?"

"Tidak, Lil. Ada apa?"

"Pas! Sore ini belanja, yok? Bertiga!" Malilah menekankan kata 'bertiga' saat ia melihat Dovis ingin bicara.

"Yah, paham aja kalau aku mau ikut. Ther, kau nggak cemburu lihat pacarmu pergi bareng teman-temannya terus?" pancing Dovis.

"Nggak, kami kan pergi-pulang sekolah bareng. Kalau Yonna mau pergi sama teman-temannya aku nggak pernah permasalahkan, asal tujuannya jelas dan dia aman," jawab Luther santai. Tidak lupa Luther menarik kecil hidung pacarnya, mendadak membuat kedua pipi gadisnya itu bersemu malu.

"Aduh, sudah aku bilang jangan tebar kemesraan di depanku. Bikin sesak aja," protes Malilah.

"Kau bisa, kan, Ki?" 

"Iya, bisa. Kabarin aja waktu dan tempatnya."

"Nanti kalian berdua aku jemput!" Malilah mengeluarkan kunci mobilnya.

"Wah, sip!" 

Setelah menyetujui rencana, mereka berpisah.

/////

“Yep, sudah sampai sahabatku.” Malilah menarik rem tangan mobilnya.

“Mau ke mana dulu, nih? Atasan, bawahan, kakian?” tawar Yonna bercanda.

“Tidak jadi menonton?” 

“Astaga, lupa! Ayo, cepat. Keburu mulai filmnya.” Malilah menarik dua sahabatnya memasuki pusat perbelanjaan.

“Permisi, Mbak. Kami mau beli tiket film The Protectors,” ucap Malilah sembari merogoh tasnya, mengambil uang.

“Mohon maaf, Kakak sekalian, penayangan film tersebut sudah usai dua jam yang lalu.” 

“Apa?” Yonna menatap Akia bingung.

“Loh? Bukannya baru mau mulai, ya, Mbak?”

“The Protectors dijadwalkan tayang pukul 14:00 siang tadi, Kak.”

“Lil, gimana, sih?”

“Jam dua siang, Mbak?” tanya Malilah memastikan.

“Benar, Kak.”

“A-aduh, kayaknya aku salah baca jadwalnya, deh.”

“Bisa-bisanya kau salah baca.” Yonna tertawa.

“Ya, maaf.”

“Nggak apa-apa, santai. Jadi kau mau nonton yang lain atau gimana?”

“Jalan aja, yok? Aku Cuma pengen film tadi, mangkanya ajak kemari. Eh, salah jadwal.” Malilah menggaruk belakang telinganya.

“Lain kali, kamu harus lebih berhati-hati,” peringat Akia.

“Iya, Ki. Sekarang ke toko baju aja, mau?”

Akia dan Yonna mengangguk pertanda setuju.

“Kami permisi dulu, Kak. Maaf merepotkan,” ujar Yonna sebelum akhirnya mereka bertiga menelusuri setiap toko yang memikat pandangan.

“Berhenti,” pinta Malilah, “itu Siri, kan?” sambungnya.

“Masa? Kok, peluk om-om?” 

“Nah itu dia, katanya Siri nggak punya keluarga lagi.”

“Perasaan, pagi tadi Siri izin libur karena sakit,” ujar Akia.

“Tapi dilihat dari tingkahnya, nggak mirip Siri.”

“Kebetulan serupa fisik, mungkin?” Akia berpikir positif.

“Iya, kembar tak serupa, kali. Lagian suratnya langsung dari rumah sakit, bakal rawat inap selama tiga hari. Nggak mungkin beberapa jam dirawat langsung keliling mal.” 

Keduanya membenarkan ucapan Yonna, lalu memilih untuk mengabaikan kejadian barusan dan melanjutkan acara belanja yang sempat tertunda.

/////

Yonna memasuki ruangan kelas, ternyata kelompok penggosip—Rasia, Poli, dan Gisel—membawa kabar terbaru.

“Dari sekolah mana?” tanya Malika, cowok yang memiliki suara emas dan juga menguasai banyak alat musik.

“SMA Merah Putih,” jawab Rasia. Bulu matanya yang panjang karena maskara, naik turun melambai-lambai.

“Kayaknya, dia takut jadi korban berikutnya,” duga Gisel.

“Oi, korban apa nih?” Malilah yang baru datang langsung menyerobot masuk pembicaraan mereka.

“Apaan, sih. Ikut-ikut, aja,” kesal Poli.

“Ye, jangan marah. Kan, aku juga mau tahu,” ujar Malilah setelah menyimpan tasnya.

“Aku juga penasaran, korban apa?” tanya Dovis tiba-tiba. 

“Hari ini, kita bakal kedatangan murid baru dari SMA Merah Putih.”

“Oh, ya? Kalian tahu dari mana?”

“Kami kan, punya banyak narasumber,” sombong Rasia.

“Hm. Iyalah, narasumber.”

“Terus hubungannya sama takut jadi korban apa?” tanya Dovis melipat kedua tangannya.

“Kayaknya kalian belum tahu berita terbaru dari sana.”

Malilah menatap Poli bingung. “Berita apa memangnya?” 

“Bunuh diri.” Poli mencoba menebarkan kesan horor.

Yonna yang semula tidak begitu tertarik, langsung menajamkan pendengaran. 

“Hah?! Ada lagi?” tanya Dovis histeris.

“Jam sepuluh malam tadi, ada anak kelas 12 yang lompat dari lantai empat sekolah.”

“Terus, dia dikenal sebagai anak penyakitan. Dalam seminggu dia nggak pernah nggak sakit, kalau bukan anak orang kaya pasti sudah didepak. Banyak banget liburnya,” Gisel melanjutkan penjelasan Rasia.

“Nyolot lagi,” Poli berucap agak kesal.

“Nyolot gimana?” tanya Malika.

“Iya. Kalau dia ngomong nggak pernah disaring dulu, sudah tahu salah masih aja ngeyel. Jelek lagi, wajar banyak yang benci sama dia.” 

“Tidak baik berbicara seperti itu, Rasia,” timpal Akia memperingati.

“Kesel aku,” ujar Rasia.

“Bubar! Ibu Grase sudah di kelas sebelah,” pinta ketua kelas.

Semua murid yang tidak berada di tempatnya, mulai berlari kembali ke kursi masing-masing. Sesaat kemudian, ibu Grase yang juga wali kelas masuk bersama gadis yang tampak seumuran dengan mereka. 

“Selamat pagi, anak-anak.”

“Selama pagi, Bu!” 

“Hari ini kelas kita kedatangan murid pindahan. Nak, silakan perkenalkan diri kamu,” ucap ibu Grase mempersilahkan.

“Ha-hai!” sapanya canggung.

“Halo!”

“Pe-perkenalkan, nama say-ya Petunia Martin-nez. Saya pindahan da-dari SMA Me-merah Putih,” ujarnya kaku dan terbata-bata. 

“Santai, jangan gugup!” teriak Dovis dari belakang. 

“Kenapa kau pindah sekolah?” celetuk Poli.

“E-em, saya han-nya mengikuti u-ucapan Papi, demi ke-keselamatan sa-saya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status