"Ayo, ke parkiran!" Luther mengait tangan Yonna.
Sebelum itu, Akia izin memisahkan diri. "Saya ke luar duluan, ya, sampai jumpa besok!"
"Tunggu, Ki. Kau hari ini dapat jam kerja sore lagi?"
"Tidak, Lil. Ada apa?"
"Pas! Sore ini belanja, yok? Bertiga!" Malilah menekankan kata 'bertiga' saat ia melihat Dovis ingin bicara.
"Yah, paham aja kalau aku mau ikut. Ther, kau nggak cemburu lihat pacarmu pergi bareng teman-temannya terus?" pancing Dovis.
"Nggak, kami kan pergi-pulang sekolah bareng. Kalau Yonna mau pergi sama teman-temannya aku nggak pernah permasalahkan, asal tujuannya jelas dan dia aman," jawab Luther santai. Tidak lupa Luther menarik kecil hidung pacarnya, mendadak membuat kedua pipi gadisnya itu bersemu malu.
"Aduh, sudah aku bilang jangan tebar kemesraan di depanku. Bikin sesak aja," protes Malilah.
"Kau bisa, kan, Ki?"
"Iya, bisa. Kabarin aja waktu dan tempatnya."
"Nanti kalian berdua aku jemput!" Malilah mengeluarkan kunci mobilnya.
"Wah, sip!"
Setelah menyetujui rencana, mereka berpisah.
/////
“Yep, sudah sampai sahabatku.” Malilah menarik rem tangan mobilnya.
“Mau ke mana dulu, nih? Atasan, bawahan, kakian?” tawar Yonna bercanda.
“Tidak jadi menonton?”
“Astaga, lupa! Ayo, cepat. Keburu mulai filmnya.” Malilah menarik dua sahabatnya memasuki pusat perbelanjaan.
“Permisi, Mbak. Kami mau beli tiket film The Protectors,” ucap Malilah sembari merogoh tasnya, mengambil uang.
“Mohon maaf, Kakak sekalian, penayangan film tersebut sudah usai dua jam yang lalu.”
“Apa?” Yonna menatap Akia bingung.
“Loh? Bukannya baru mau mulai, ya, Mbak?”
“The Protectors dijadwalkan tayang pukul 14:00 siang tadi, Kak.”
“Lil, gimana, sih?”
“Jam dua siang, Mbak?” tanya Malilah memastikan.
“Benar, Kak.”
“A-aduh, kayaknya aku salah baca jadwalnya, deh.”
“Bisa-bisanya kau salah baca.” Yonna tertawa.
“Ya, maaf.”
“Nggak apa-apa, santai. Jadi kau mau nonton yang lain atau gimana?”
“Jalan aja, yok? Aku Cuma pengen film tadi, mangkanya ajak kemari. Eh, salah jadwal.” Malilah menggaruk belakang telinganya.
“Lain kali, kamu harus lebih berhati-hati,” peringat Akia.
“Iya, Ki. Sekarang ke toko baju aja, mau?”
Akia dan Yonna mengangguk pertanda setuju.
“Kami permisi dulu, Kak. Maaf merepotkan,” ujar Yonna sebelum akhirnya mereka bertiga menelusuri setiap toko yang memikat pandangan.
“Berhenti,” pinta Malilah, “itu Siri, kan?” sambungnya.
“Masa? Kok, peluk om-om?”
“Nah itu dia, katanya Siri nggak punya keluarga lagi.”
“Perasaan, pagi tadi Siri izin libur karena sakit,” ujar Akia.
“Tapi dilihat dari tingkahnya, nggak mirip Siri.”
“Kebetulan serupa fisik, mungkin?” Akia berpikir positif.
“Iya, kembar tak serupa, kali. Lagian suratnya langsung dari rumah sakit, bakal rawat inap selama tiga hari. Nggak mungkin beberapa jam dirawat langsung keliling mal.”
Keduanya membenarkan ucapan Yonna, lalu memilih untuk mengabaikan kejadian barusan dan melanjutkan acara belanja yang sempat tertunda.
/////
Yonna memasuki ruangan kelas, ternyata kelompok penggosip—Rasia, Poli, dan Gisel—membawa kabar terbaru.
“Dari sekolah mana?” tanya Malika, cowok yang memiliki suara emas dan juga menguasai banyak alat musik.
“SMA Merah Putih,” jawab Rasia. Bulu matanya yang panjang karena maskara, naik turun melambai-lambai.
“Kayaknya, dia takut jadi korban berikutnya,” duga Gisel.
“Oi, korban apa nih?” Malilah yang baru datang langsung menyerobot masuk pembicaraan mereka.
“Apaan, sih. Ikut-ikut, aja,” kesal Poli.
“Ye, jangan marah. Kan, aku juga mau tahu,” ujar Malilah setelah menyimpan tasnya.
“Aku juga penasaran, korban apa?” tanya Dovis tiba-tiba.
“Hari ini, kita bakal kedatangan murid baru dari SMA Merah Putih.”
“Oh, ya? Kalian tahu dari mana?”
“Kami kan, punya banyak narasumber,” sombong Rasia.
“Hm. Iyalah, narasumber.”
“Terus hubungannya sama takut jadi korban apa?” tanya Dovis melipat kedua tangannya.
“Kayaknya kalian belum tahu berita terbaru dari sana.”
Malilah menatap Poli bingung. “Berita apa memangnya?”
“Bunuh diri.” Poli mencoba menebarkan kesan horor.
Yonna yang semula tidak begitu tertarik, langsung menajamkan pendengaran.
“Hah?! Ada lagi?” tanya Dovis histeris.
“Jam sepuluh malam tadi, ada anak kelas 12 yang lompat dari lantai empat sekolah.”
“Terus, dia dikenal sebagai anak penyakitan. Dalam seminggu dia nggak pernah nggak sakit, kalau bukan anak orang kaya pasti sudah didepak. Banyak banget liburnya,” Gisel melanjutkan penjelasan Rasia.
“Nyolot lagi,” Poli berucap agak kesal.
“Nyolot gimana?” tanya Malika.
“Iya. Kalau dia ngomong nggak pernah disaring dulu, sudah tahu salah masih aja ngeyel. Jelek lagi, wajar banyak yang benci sama dia.”
“Tidak baik berbicara seperti itu, Rasia,” timpal Akia memperingati.
“Kesel aku,” ujar Rasia.
“Bubar! Ibu Grase sudah di kelas sebelah,” pinta ketua kelas.
Semua murid yang tidak berada di tempatnya, mulai berlari kembali ke kursi masing-masing. Sesaat kemudian, ibu Grase yang juga wali kelas masuk bersama gadis yang tampak seumuran dengan mereka.
“Selamat pagi, anak-anak.”
“Selama pagi, Bu!”
“Hari ini kelas kita kedatangan murid pindahan. Nak, silakan perkenalkan diri kamu,” ucap ibu Grase mempersilahkan.
“Ha-hai!” sapanya canggung.
“Halo!”
“Pe-perkenalkan, nama say-ya Petunia Martin-nez. Saya pindahan da-dari SMA Me-merah Putih,” ujarnya kaku dan terbata-bata.
“Santai, jangan gugup!” teriak Dovis dari belakang.
“Kenapa kau pindah sekolah?” celetuk Poli.
“E-em, saya han-nya mengikuti u-ucapan Papi, demi ke-keselamatan sa-saya.”
“Halo, Petunia, saya Akia Baqiya. Salam kenal, ya,” sapa Akia.Bertepatan dengan guru yang keluar, Malilah langsung meminta kedua sahabatnya mendekati Petunia, berkenalan.“Aku Yonna.”“Se-senang bertemu ka-kalian.” Petunia memerhatikan tiga orang yang mengelilinginya.“Kami juga. Em, Kau mau bareng kami ke kantin, ‘kan?” Malilah menunggu jawaban Petunia. Dengan pelan, murid pindahan tersebut mengangguk.“Ayo!” ajak Yonna.“Cie, ada personil baru,” seru Rasia.“Iya, dong. Biar pas.” Malilah memasang nada sombong.“Hati-hati, biasanya yang pendiam itu menghanyutkan,” tambah Poli.“Yon, jaga Luther, siapa tahu cewek pindahan itu peletnya kuat.”Rasia dan Poli tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Gisel barusan. Yonna melihat wajah Petunia berubah murung. “Sudah, mereka memang gitu, a
“Kenapa kamu belum tidur?”Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.“Kenapa ketawa?”“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”“Lebay, ah.”“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”“Pasar malam?”“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”“Nanti kita duduk paling belakang.”“Yeay! Jangan muntah, ya?!”“Kamu itu yang muntah.”“Nggak!”“Iya, deh, cantikku.”“Okay! Sudah, aku mau tidur.”“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”“Nggak kebalik, pacar?”“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”Yonna terkekeh, lalu mengucapka
“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.“Bonceng tiga,” sahut Yonna.“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak M
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa
Di atas motor, Luther merasa risih. Terutama saat merasakan tangan Petunia menggenggam kedua sisi pinggang seragamnya, sangat erat. Seakan, bergeser sedikit saja, ia bisa terlempar ke tengah jalan. Sekitar sepuluh menit melaju, akhirnya Luther menghentikan motor saat Petunia menepuk-nepuk pundaknya. "Ke-kelewatan, Luther. Ru-rumah saya ya-yang gerbang e-emas," ujar Petunia masih duduk di jok belakang. Dengan malas, Luther melirik ke belakang, jarak rumah yang dimaksud Petunia terlewat dua rumah saja. "Cuma kelewatan dua rumah aja, kali. Jalan kaki kan, bisa," ucap Luther bernada ketus. "Sini helmnya, aku nggak mau biarin pacarku menunggu lama." Mendengar nada tak bersahabat Luther, Petunia pun turun dari motor. Setelah menerima helm tersebut, Luther langsung memacu motornya secepat mungkin. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya menunggu untuk