“Halo, Petunia, saya Akia Baqiya. Salam kenal, ya,” sapa Akia.
Bertepatan dengan guru yang keluar, Malilah langsung meminta kedua sahabatnya mendekati Petunia, berkenalan.
“Aku Yonna.”
“Se-senang bertemu ka-kalian.” Petunia memerhatikan tiga orang yang mengelilinginya.
“Kami juga. Em, Kau mau bareng kami ke kantin, ‘kan?” Malilah menunggu jawaban Petunia. Dengan pelan, murid pindahan tersebut mengangguk.
“Ayo!” ajak Yonna.
“Cie, ada personil baru,” seru Rasia.
“Iya, dong. Biar pas.” Malilah memasang nada sombong.
“Hati-hati, biasanya yang pendiam itu menghanyutkan,” tambah Poli.
“Yon, jaga Luther, siapa tahu cewek pindahan itu peletnya kuat.”
Rasia dan Poli tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Gisel barusan. Yonna melihat wajah Petunia berubah murung. “Sudah, mereka memang gitu, ayo!”
“Em, boleh aku tanya sesuatu?” Sesampainya di meja kantin, Malilah bertanya kepada Petunia.
“Bo-boleh.”
“Aku dengar, tadi malam ada yang bunuh diri lagi di sekolah lamamu, betul?”
Melihat wajah Petunia memucat, Akia berucap, “Kami tidak memaksamu bercerita sekarang.”
“Ti-tidak, saya han-hanya merasa takut sa-ja.”
“Jadi, kabar itu betul?” Yonna memajukan tubuhnya sejengkal.
“I-iya.”
“Alasannya bunuh diri?” Clovis menyeruput minuman kemasan Malilah.
“Apa keluarga kalian mendadak miskin? Berhenti meminum minumanku!”
“Jangan pelit, Mak Lilah.”
“Ish, diam dulu. Petunia, kau tahu alasannya?” tanya Yonna lagi.
“Sepupu sa-saya bilang, di-dia bunuh diri karena meras-sa tertekan.”
“Tertekan?”
“Di-dia selalu dijauhi ka-karena sering sakit, te-tetapi kabar yang ter-tersebar karena roh Vas-sya mem-meminta bayaran.”
“Roh Vasya?” Malilah mencoba mengingat nama tersebut. “Oh! Itu nama siswi yang bunuh diri di halaman belakang, ‘kan?”
“I-iya.”
“Apa yang kamu maksud dengan bayaran?”
“Sa-saya tidak tahu ka-kalian akan percaya atau ti-tidak. Du-dulu perempuan i-itu yang menggoda pa-pacarnya, ja-jadi hubungan Vasya ber-rakhir. Untuk ba-balas dendam, rohnya me-memancing agar perempuan itu me-melopat,” jelas Petunia.
“Berarti rohnya gentayangan.” Malilah jadi merinding sendiri.
“Terus, kenapa kau pindah? Si Vasya-Vasya itu pasti sudah pergi, dendamnya sudah terbalaskan.”
Mendapat pertanyaan dari Dovis, Petunia langsung menjawab, “Pa-papi saya men-mendapat penglihatan da-dari peramal, kalau r-roh Vasya masih te-te-terus mencari nya-nyawa lain sebagai jem-jembatan agar di-dia bisa pergi ke at-tas. Ma-makanya Papi min-minta saya pindah se-sekolah, Vasya bi-bisa mengambil nya-nyawa si-siapa saja.”
“Seru, ya, ceritanya. Sampai lupa kalau bel sudah bunyi,” potong Luther.
“Apa?!” pekik para perempuan di sana—kecuali Petunia.
“Kenapa nggak bilang, sih, Luther!” kesal Yonna.
Sejurus kemudian, Yonna berdiri dan meraup pergelangan Petunia, mengajak berlari.
“Sial,” serapah Dovis melihat guru sudah mulai mengajar di kelas.
“Kalian dari mana saja?” tanya Ibu Nana santai.
“Kantin, Bu,” jawab mereka jujur.
“Memangnya waktu yang diberikan sekolah tidak cukup?”
“Cukup, Bu.”
“Terus kenapa masih telat? Kamu anak pindahan, baru masuk sudah berani telat. Kalian keliling lapangan sepuluh kali.”
“Yah. Jangan sepuluh kali, Bu,” keluh Malilah.
“Siapa suruh telat? Atau mau Ibu tambah?!”
“Nggak, Bu.”
Dengan pasrah, lima murid itu berlari mengelilingi lapangan basket. Di sana, terdapat anak kelas 12-IPA 1 yang kebetulan jadwalnya olahraga.
“Pantes Clove sama Luther santai, mereka jam olahraga,” kesal Dovis.
“Petunia, kami minta maaf. Gara-gara keasikan mengajak ngobrol, kau jadi ikutan dihukum,” sesal Yonna.
“Iya, sepertinya pembahasan hari ini terlalu menarik perhatian kami semua, sampai-sampai lalai begini,” timpal Akia.
“Ti-tidak apa-apa, kok. Sa-saya senang karena me-mengenal kalian.” Senyum Petunia mengembang cerah.
/////
Malam ini, Yonna berniat membuat video cover lagu dari penyanyi internasional versi YouTuber yang Yonna sukai. YouTuber itu selalu menggunakan versi lembut untuk segala jenis genre musik, dan hal tersebut yang membuat Yonna menyukainya. Nadanya sangat sesuai untuk jenis suara Yonna, keahlian memetik ukulele dan tema musik yang selalu mellow.
Yonna menyiapkan kamera dan mikrofon. Setelah dirasa siap, ia mulai menekan tombol rekam. Perlahan, jari-jari lentiknya memetik senar ukulele pemberian Kakeknya sebelum meninggal, itulah mengapa Yonna menjaga ukulele itu dengan sangat baik.
Bait demi bait ia melantunkan lagu, penuh rasa, penghayatan dan emosi. Lagu tersebut menceritakan tentang seorang perempuan yang masih mengingat dengan jelas perhatian dari lelaki pujaan hatinya, tetapi sayangnya lelaki itu sejak awal tidak pernah menganggap hubungan mereka lebih dari yang dipikirkan. Justru sang pujaan sudah memilih hati lain, dan orang itu ialah sahabatnya sendiri.
Usai bernyanyi, Yonna langsung memindahkan rekaman tadi ke dalam laptop, melakukan beberapa penyuntingan sebelum akhirnya dibagikan ke akun YouTube dan I*******m pribadi. Yonna cukup terkenal di kedua aplikasi itu sebagai peng-cover musik mellow.
Sebelum turun ke bawah, Yonna memeriksa akun YouTuber favoritnya. Sudah lebih dari enam bulan YouTuber dengan nama akun @Pertez_bee atau biasa dipanggil Bee itu tidak memperbaharui kirimannya, bahkan tidak pernah aktif di I*******m.
Hingga saat ini, Yonna belum pernah melihat bagaimana wajah asli Bee, karena perempuan tersebut selalu menutup bagian wajahnya, dan pada setiap video yang dibagikan hanya daerah mulut ke bawah saja yang terekam. Benar-benar misterius.
“Kenapa kamu belum tidur?”Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.“Kenapa ketawa?”“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”“Lebay, ah.”“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”“Pasar malam?”“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”“Nanti kita duduk paling belakang.”“Yeay! Jangan muntah, ya?!”“Kamu itu yang muntah.”“Nggak!”“Iya, deh, cantikku.”“Okay! Sudah, aku mau tidur.”“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”“Nggak kebalik, pacar?”“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”Yonna terkekeh, lalu mengucapka
“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.“Bonceng tiga,” sahut Yonna.“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak M
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa
Di atas motor, Luther merasa risih. Terutama saat merasakan tangan Petunia menggenggam kedua sisi pinggang seragamnya, sangat erat. Seakan, bergeser sedikit saja, ia bisa terlempar ke tengah jalan. Sekitar sepuluh menit melaju, akhirnya Luther menghentikan motor saat Petunia menepuk-nepuk pundaknya. "Ke-kelewatan, Luther. Ru-rumah saya ya-yang gerbang e-emas," ujar Petunia masih duduk di jok belakang. Dengan malas, Luther melirik ke belakang, jarak rumah yang dimaksud Petunia terlewat dua rumah saja. "Cuma kelewatan dua rumah aja, kali. Jalan kaki kan, bisa," ucap Luther bernada ketus. "Sini helmnya, aku nggak mau biarin pacarku menunggu lama." Mendengar nada tak bersahabat Luther, Petunia pun turun dari motor. Setelah menerima helm tersebut, Luther langsung memacu motornya secepat mungkin. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya menunggu untuk
"Dasar curang, pakai senjata. Dikeluarkan, kan, dari geng! Huu!" kesal Yonna saat laki-laki yang menusuk Gun baru saja dikeluarkan dari gengnya, ditinggalkan oleh ketua. Meski geng itu adalah musuh dari Geng SP*RM—geng Gun dan kawannya—tetapi Yonna senang karena penusuk itu tidak mendapat dukungan dari mana pun. "Kalau aku jadi Song, sudah kutusuk-tusuk itu dada si pecundang. Selalu aja pakai senjata." "Beruntung Song masih ingat pesan Gun, kalau laki-laki berkelahi sampai ada yang menang bukan membunuh." "Oh, iya! Ngomong-ngomong soal membunuh, pas pulang dari toko roti, kau sempat nggak lihat ada yang saling bacok?" tanya Malilah mengingat pembicaraan Ayahnya di telepon. Yonna mendesah berat, "Nggak lihat aksinya, cuman sisanya. Asli, Lil, sampai muntah aku lihatnya." "Aku juga sempat mual waktu lihat postingan di media sosial,