Martin Ragnala, seorang pengusaha muda peranakan Tionghos, membeli sebidang tanah di pinggir Kota Bandung untuk dijadikan tempat bisnis. Kala mengecek lokasi, Martin bertemu dengan perempuan berbaju Cheongsam merah. Mereka sempat berbincang, dan perempuan itu mengaku bernama Margaretha. Semenjak pertemuan itu, Martin kerap kali memimpikan Margaretha, ataupun berjumpa dengan perempuan tersebut di berbagai tempat. Hendri Danantya, calon Kakak ipar Martin, mendatangi lokasi proyek yang tengah dihebohkan dengan berbagai peristiwa aneh di sana. Hendri yang memiliki kemampuan supranatural, mendiga bila beberapa peristiwa itu dan mimpi-mimpi Martin memiliki keterkaitan, yang mesti diselidiki.
View More01
"Mas, bos kita ngobrol sama siapa, ya?" tanya Ridho, supervisor proyek pembangunan pusat bisnis, di pinggir Kota Bandung.
Seno Argianto menyipitkan mata untuk menajamkan penglihatan. "Kayaknya perempuan, tapi, mukanya nggak jelas. Ketutupan rambut," jawabnya.
"Perempuan?" desak Ridho.
"Hu um."
"Tapi ... di sini nggak ada pekerja perempuan."
Seno terdiam sesaat, lalu dia memandangi pria berkemeja cokelat di sebelah kiri. "Apa itu anak pemilik katering?" tanyanya.
"Bu Lilis nggak punya anak perempuan."
"Mungkin karyawannya."
"Hmm, ya, bisa jadi."
Keduanya meneruskan perbincangan sambil berpindah ke kantor pengelola. Sementara Martin Ragnala masih bercakap-cakap dengan perempuan berbaju Cheongsam merah.
Martin terkejut, karena baru kali itu menemukan orang yang bisa berbahasa Tiociu, bahasa leluhurnya yang berasal dari Cina daratan.
Pengusaha muda peranakan Tionghos itu begitu senang bisa kembali menggunakan bahasa turunan dari pihak ibunya, yang merupakan warga negara Malaysia.
Sekian menit berlalu, perempuan bernama Margaretha Ling Chow berpamitan. Martin mengamati gadis berbadan cukup tinggi dan ramping, yang mengingatkannya akan sosok sang kekasih.
Setelah Margaretha menghilang di balik tumpukan bahan bangunan, Martin memutar tubuh dan jalan menuju kantor pengelola.
Awal malam menjelang dengan rintik hujan yang membasahi bumi. Martin yang telah berada di rumah kontrakan sejak tiga puluh menit silam, baru selesai mandi dan tengah berganti pakaian ketika ponselnya berdering.
Pria berkaus merah berpindah ke dekat meja rias. Dia menyambar benda yang masih berdering, kemudian Martin menekan tanda hijau pada layar ponsel dan mendekatkan benda itu ke telinga kanan.
"Waalaikumsalam," tukas Martin menjawab salam calon istrinya.
"Koko sudah salat?" tanya Yuanna Binazir Oryza.
"Sudah. Kamu?"
"Lagi libur."
"Aku juga pengen libur."
"Ngaco."
Sudut bibir Martin mengukir senyuman. Lupa bila tidak sedang berhadapan dengan perempuan pujaan. "Dek, Kang Hendri, jadi ke Bandung, nggak?" tanyanya.
"Jadi. Jumat dia nyampe, sama Teh Irsha dan keluarga Kartawinata."
"Ahh! Kebetulan. Aku memang pengen ketemu Bang W."
"Ngapain?"
"Nanyain proyek yang di Shanghai itu."
"Oh, ya."
"Kamu sudah makan?"
"Belum."
"Makan, atuh."
"Nanti aja. Ada yang mau kuomongin ke Koko."
"Tentang apa?"
"Bapak nanya, kapan orang tua Koko datang? Mau berembuk, katanya."
"Awal bulan mereka datang sama beberapa tetua keluarga."
"Oke, nanti kusampaikan ke Bapak."
"Dek."
"Hmm?"
"Wǒ de xīn lǐ zhǐyǒu nǐ."
"Aih! Teu ngarti!"
"Masih belum paham juga?"
"Bahasa sana itu rumit."
"Tapi tetap bisa dipelajari."
"Nantilah. Satu-satu. Sekarang aku tengah memperdalam bahasa kalbu. Supaya hati kita tetap menyatu."
"Dek, aku mencair."
Yuanna terkekeh, begitu juga dengan Martin. Setelah tawa mereka lenyap, keduanya melanjutkan percakapan dengan pokok bahasan berbeda.
Martin sama sekali tidak menyadari jika dirinya tengah diperhatikan seseorang yang berdiri di luar jendela, yang gordennya dalam kondisi terbuka sedikit.
***
"Koko Chen. Kemarilah. Ikut denganku," ujar seorang perempuan dari kejauhan. "Koko Chen, kemarilah," ulangnya.
Martin bergerak-gerak di kasur. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, sembari menggumamkan sesuatu.
"Koko Chen, aku sudah menunggumu sejak lama," tukas perempuan tersebut. "Ke sini dan genggam tanganku," pintanya dengan suara serak.
"Hah!" Martin membuka mata dan bangkit duduk. Dia memindai sekitar, tetapi tidak ada seorang pun di dekatnya.
"Astagfirullah. Apa itu tadi?" tanyanya sambil memandangi jendela yang gordennya bergerak tertiup angin dari penyejuk udara.
"Siapa perempuan itu? Kenapa dia manggil aku dengan Koko Chen?" Martin kembali bermonolog. Dia benar-benar penasaran dengan orang yang ada di dalam mimpinya.
Bunyi tarhim terdengar dari masjid terdekat. Martin termangu sejenak, lalu meraih arlojinya dari meja samping kanan kasur. Dia mengecek waktu, kemudian kembali berbaring.
Pria bermata sipit menatap nyalang ke langit-langit. Mimpi yang baru saja dialaminya seolah-olah terasa nyata, dan Martin makin penasaran untuk mengetahui siapa sosok perempuan tadi.
Sementara itu di tempat berbeda, Yuanna juga terbangun. Gadis berusia 25 tahun tersebut memegangi dadanya yang berdegup kencang. Yuanna mengerjap-ngerjapkan mata sembari menyusuri dada untuk memastikan dirinya tidak terluka.
Terbayang kembali pisau berkilat yang menghunjam dadanya. Yuanna bahkan masih merasakan saat benda itu menggores kulitnya, sebelum masuk lebih dalam.
"Astagfirullah," bisik Yuanna. "Mimpimya jelek banget," keluhnya.
Yuanna memerhatikan sekeliling. Kemudian dia mendengkus pelan, sebelum bangkit dan beringsut ke tepi kasur.
Tidak berselang lama, gadis berpiama ungu motif bunga-bunga kecil, telah berada di dapur. Yuanna tertegun menyaksikan sang ibu yang tengah sibuk mengaduk-aduk sesuatu di wajan.
"Ehh, Neng geulis. Tumben, sudah bangun sebelum digedor pintunya?" tanya Zainab sembari melirik putri bungsunya.
"Kebangun tadi. Gara-gara mimpi buruk," terang Yuanna sembari meraih gelas dari laci dan menuangkan air dari teko.
"Mimpi naon?"
"Enggak jelas." Yuanna sengaja merahasiakan mimpinya supaya Zainab tidak kepikiran. "Ibu masak apa?" tanyanya mengalihkan percakapan.
"Bihun goreng. Mau dibawa Bapak ke kebun."
"Bapak itu nggak ada bosan-bosannya ke sana tiap hari."
"Dia menemukan ketenangan di sana."
"Hmm, kayak Akang. Betah banget di saung sana."
"Akangmu itu turunan Bapak. Agak penyendiri."
"Ya. Akang cuma bergaul sama orang yang itu-itu saja. Hanya sedikit orang baru yang dikenalkannya sebagai teman."
"Kamu hari ini jaga di restoran?"
"Enggak. Aku sudah ada janji dengan Teh Divia dan Teh Monica. Kami mau pilates."
"Di tempatnya Zivara?"
"Ya. Bareng sama dia juga. Hanya beda senamnya. Dia senam hamil, kami, uget-uget."
Pagi menjelang dengan hangatnya sinar mentari. Yuanna mengeluarkan motor kesayangan dari garasi, kemudian menyalakan mesin benda itu sembari mengelap body motor Honda CBR 500cc.
Gadis yang mengikat rambutnya sebagian di tengah, bekerja sambil bersenandung lagu slow rock. Meskipun perempuan tulen, tetapi Yuanna bersifat tomboi. Sangat berbeda dengan kakaknya, Fenita, yang feminin.
Arsyad Danantya keluar dari ruang tamu sambil menenteng tas travel merah. Dia membuka pintu mobil SUV abu-abu dan memasukkan tas, lalu dia menyalakan mesinnya.
"Pak, aku pamit," ujar Yuanna sembari mengulurkan tangan kanan.
"Mau ke mana?" tanya Arsyad.
"Fitness." Yuanna menyalami bapaknya dengan takzim. Kemudian dia memandangi lelaki berkaus putih yang balas menatapnya saksama. "Pak, aku ada mimpi nggak enak," bisiknya supaya tidak terdengar sang ibu.
"Nanti kita bahas." Arsyad memegangi lengan kiri anaknya. "Jangan putus zikir. Sepertinya ada sesuatu hal buruk yang berhubungan denganmu," ungkapnya.
Yuanna mengangguk paham. Dia menduga jika Arsyad telah mengetahui tentang mimpinya, tanpa perlu diceritakan lagi.
Arsyad memiliki kemampuan supranatural yang sama kuatnya dengan Hendri. Hal itu diwarisi dari pihak ayahnya yang juga menguasai hal itu.
Hanya garis laki-laki yang mendapatkan kemampuan unik tersebut. Sedangkan yang perempuan hanya mampu merasakan dan melihat sosok gaib, tanpa bisa berkomunikasi ataupun menyentuh makhluk astral.
Arsyad memandangi putrinya yang bergerak menjauh. Dia membatin bila sepertinya akan ada sesuatu yang terjadi dalam waktu dekat, yang berhubungan dengan Yuanna.
Arsyad mendengkus pelan. Dia mengingat-ingat untuk membicarakan hal itu pada putra sulungnya, yang akan datang tiga hari ke depan.
65Bulan berganti. Proyek KARZD akhirnya rampung. Pagi itu diadakan peresmian bangunan yang akan menjadi pusat bisnis sepanjang hampir 1km. Ketiga bos HWZ dan keluarga, serta para tamu undangan, memenuhi lobi utama gedung yang akan menjadi pusat kegiatan di kawasan strategis ituKeluarga Danantya, Pramudya, Baltissen dan Adhitama juga turut hadir. Selain mereka, beberapa sahabat Martin di PC dan PCD juga menghadiri acara penting bagi KARZD. Setelah Hendri dan Martin menyampaikan pidato, Mulyadi menaiki panggung untuk membacakan doa, yang diikuti hadirin dengan khusyuk. Selanjutnya, acara pengguntingan pita yang dilakukan kelima komisaris perusahaan tersebut. Zein dan Martin mengapit Wirya, Zulfi dan Hendri. Mereka bersama-sama memotong pita, kemudian mereka mempersilakan ketiga bocah untuk memencet tombol. Bayazid, Fazluna dan Rhetta, berseru ketika berbagai hiasan dari kertas mengilat, muncul dari lantai dua dengan diiringi aneka pita kecil berwarna-warni. Puluhan menit terlewati
64Jalinan waktu terus bergulir. Semua anggota rombongan penembus lorong waktu, telah kembali ke kediaman masing-masing dan menjalankan aktivitas seperti biasanya. Yìchèn yang menetap di kediaman Frederick Adhitama, telah membaca surat panjang dari Shin Hung. Bersama Qianfan dan yang lainnya, Yìchèn juga sudah membahas isi surat dan silsilah keluarga Chow serta Shin Fung. Dua minggu berlalu, Martin dan tim Bandung mendatangi Yìchèn di Jakarta. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan tentang isi surat itu. "Koko yakin mau berangkat ke sana?" tanya Martin sambil memandangi kembarannya lekat-lekat. "Ya, tapi tidak sekarang," jawab Yìchèn. "Lalu, kapan?" desak Martin. "Menunggu aku punya identitas sendiri." "Oh, belum selesai, ya?" Yìchèn mengangguk mengiakan. "Pengacara keluargaku tengah mengurusnya." Martin mengangkat alisnya. "Keluarga Koko?" "Ya. Aku sekarang jadi bagian dari keluarga PBK." Martin mengulaskan senyuman. "Betul juga, sih." "Koko mau diangkat anak sama Papa
63Bau angit sisa-sisa kebakaran, yang sempat memenuhi area kanan belakang kantor pengelola proyek KARZD, perlahan menghilang. Matahari pagi bergerak cepat memutari bumi. Siang menjelang dengan diiringi gerimis, yang menyebabkan tanah di sekitar gudang kecil menjadi basah. Tim tiga dan empat berjibaku membangun tenda, dengan dibantu Seno, Ridho, dan Muchlis. Maman, Jajang, dan para petugas keamanan, juga turut membantu menjadi penyedia konsumsi. Dua lampu sorot besar diarahkan ke pintu gudang yang ditutupi kain hitam. Empat lampu lainnya digunakan untuk penerangan sekitar tenda, yang dibangun memanjang dari depan gudang kecil hingga ujung gudang besar. Yuanna merapikan lipatan handuk dan pakaian ganti buat anggota rombongan yang berada di lorong waktu. Sedangkan Gantari dan Sinta menyusun bungkusan plastik bening yang berisikan kue-kue serta minuman. Arsyad jalan mondar-mandir di sisi kanan tenda. Dia benar-benar khawatir, karena kelompok Zainal dan Hendri belum juga muncul. Pada
62Seorang pria tua menyambut rombongan Yìchèn dengan penghormatan. Dia memberikan bungkusan kain pada orang terdepan, yakni Dante. Keduanya bercakap-cakap sesaat, sebelum lelaki tua membuka pintu bangunan kecil itu. Cahaya terang seketika terpancar dari dalam. Semua orang di bagian depan menyipitkan mata, kemudian mereka berbaris dua orang, sesuai arahan Wirya. Yìchèn yang berpindah ke depan bersama Freya, memberi hormat dengan sedikit membungkuk pada suami Shin Fung, dan keluarga Chow, yang membalas dengan hal yang sama. Yìchèn menegakkan badan, lalu menunggu kedua orang terdepan memulai perjalanan mereka menuju masa modern. Hendri dan Zein menggerak-gerakkan kedua tangan mereka membentuk jurus halus olah napas. Keduanya serentak menembakkan tenaga dalam ke cahaya, yang seketika meredup dan memperlihatkan kumparan kabut tebal yang tidak terlalu terang. Hendri dan Zein melangkah bersamaan. Ubaid dan Bayu mengikuti di belakang. Keempatnya bekerjasama menembakkan tenaga dalam ke s
61Langit malam dipenuhi jutaan bintang. Rembulan memamerkan bentuknya yang sempurna, hingga mampu sedikit menerangi dunia. Angin berembus sepoi-sepoi di sekitar halaman depan kediaman keluarga Shin Fung, dan menyebabkan dedaunan di pohon-pohon itu bergoyang dengan pelan. Puluhan orang memenuhi seputar halaman. Mereka menonton ritual sembahyang ala orang Tiongkok, yang dilakukan Shin Fung, keluarga Chow, Yìchèn dan Qianfan. Chyou dan kelompok berselempang kain merah, berjaga-jaga di dekat tempat pemujaan. Kelompok Wirya yang menggunakan selempang biru, bersiaga di sekitar area sebagai lapisan kedua. Pasukan Ming Tianba menjadi pelindung utama di seputar rumah besar. Mereka bergantian mengawasi jalanan, supaya bisa mendeteksi pergerakan dari luar. Sebab saat itu masih zaman penjajahan Belanda, semua warga harus berhati-hati dalam mengadakan aktivitas yang melibatkan banyak orang. Kendatipun Shin Fung dan Tan Liu Chow telah mendapatkan izin dari pejabat setempat untuk melakukan per
60Rombongan pimpinan Chyou tiba di depan rumah besar berarsitektur khas zaman dulu. Batu hitam menghiasi sisi bawah dinding, sedangkan bagian atasnya di-cat putih. Shin Fung mempersilakan semua orang memasuki ruangan. Dia penasaran, karena tidak ada seorang pun yang membuka kain penutup di wajah mereka. Selain itu, nyaris tidak ada yang berbincang. Selain Yìchèn, Qianfan, dan beberapa pengawal berselempang kain merah.Para pelayan bergegas menyuguhkan minuman dan makanan di belasan meja besar. Loko, Michael, Gibson dan Cedric mengelilingi setiap meja untuk mengecek, apakah ada racun pada hidangan. Shin Fung membatin, bila sepertinya anak buah Yìchèn memahami berbagai cara pengamanan, dan hal itu kian meningkatkan rasa keingintahuannya. "Saya belum tahu nama Tuan," ujar Shin Fung sambil memandangi pria berbaju cokelat di kursi sebelah kanannya. "Saya, Vong Qianfan," jawab lelaki yang rambutnya telah dihiasi uban. "Berasal dari mana?" "Guangzhou." "Bagaimana Tuan bisa bertemu de
59Kelompok satu dan dua akhirnya tiba di ujung lorong. Kabut putih tebal nan dingin menyelimuti tempat hening dan sangat terang itu.Semua orang mengatur barisan sesuai rencana yang telah dibuat ketiga komisaris HWZ. Mereka menunggu Martin mengatur napas, lalu mereka mengikuti langkah pria berpakaian bangsawan Tionghoa tersebut, menembus kabut. Hendri, Ubaid, Zein dan Bayu, mendampingi Martin di barisan terdepan. Keempat pria berpakaian prajurit tersebut, menembakkan tenaga dalam ke sisi kanan serta kiri, agar orang-orang di belakang bisa melihat lebih jelas ke depan. Tiba di depan gerbang besar bernuansa putih, Ubaid dan Bayu mundur. Posisi mereka digantikan Chyou dan Qianfan, yang akan bertugas sebagai pendamping utama Martin. Martin menempelkan telapak tangan kanannya ke gerbang. "Bibi, aku datang," tuturnya menggunakan bahasa Tiociu. Martin mundur selangkah ketika gerbang membuka sedikit demi sedikit, hingga terbuka sepenuhnya. Martin tertegun menyaksikan seorang perempuan pa
58"Baru kali ini aku masuk lorong waktu. Ternyata sepi dan ... aneh," tutur Zulfi dengan suara pelan. "Aku juga baru tahu bagian dalamnya kayak gini. Kemarin itu cuma masuk beberapa meter," jawab Wirya. "Kita melalui jalur aman, Bang. Ini bagian paling dalam dari lingkaran kumparan waktu," jelas Rahman yang berjalan di depan bersama Wirya. "Ada berapa lapisan, Man?" tanya Zulfi yang berdampingan dengan Dante di barisan kedua. "Biasanya, ada tiga." Rahman menunjuk keluar. "Tim Kang Hendti ada di lapisan kedua. Lorongnya lebih besar, tapi banyak akar dan bebatuan. Nggak kayak yang kita lewati ini," lanjutnya. "Lapis ketiga, lebih gelap sekaligus banyak gangguan. Itu yang dilewati kelompok Kang Hendri, waktu mencari Koko Martin tempo hari," pungkas Rahman. "Pantas mereka semua luka-luka," sahut Wirya. "Ya, karena di sana mereka bertemu dengan berbagai bentuk makhluk gaib. Paling banyak, kurcaci yang bentuknya mengerikan," terang Rahman. "Kayak di film The Lord Of The Ring?" "Be
57Matahari baru naik sepenggalah, ketika sekelompok orang berkumpul di dua tempat. Kelompok Zainal berada di belakang kantor pengelola proyek. Sedangkan kelompok Zein berada di dekat mulut goa tepi sungai. Yìchèn yang ikut dalam rombongan kedua, memerhatikan sekeliling sambil bergumam. Dia kaget, karena tempat itu memang mirip dengan sungai di Guandong, yang pernah didatanginya tempo hari. Yìchèn memegangi beberapa bebatuan yang landai. Sungai yang airnya menyusut karena musim kemarau, menjadikan batu-batu itu bisa terlihat jelas. Pria berambut sebahu, duduk di salah satu batu. Dia meraih seruling khas Chinese yang dibawakan Chyou dari Taiwan, lalu menempelkan benda itu di bibirnya.Alunan musik tunggal nan lembut, menyebabkan semua orang terdiam. Mereka menonton Yìchèn yang tengah bermain musik sambil membayangkan sosok orang-orang yang dikasihinya. Yìchèn begitu merindukan Mùchèn dan kedua orang tuanya. Bahkan pria berambut sebahu tersebut juga merindukan kudanya, yang telah ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments