Pukul 06.00 WITA, mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju pintu hutan setelah sebelumnya sarapan hanya dengan seduhan air gula aren.Karena penasaran, Unyil mencoba kembali ke gubuk tempat mereka bertemu orang asing semalam. Namun, apa yang ia lihat pagi itu benar-benar di luar nalar.Dipan tempat mereka duduk semalam lenyap tak berbekas dan tungku tempat Opik memasak juga sepertinya telah cukup lama tidak digunakan sebagai tempat perapian. Tak ada tanda-tanda pernah dipakai semalam."Loh, kok ... bukannya kita di sini semalam, Bang Nyil?" Opik keheranan sambil melihat sekeliling."Ayo, kita pergi, Pik. Kita pergi dari sini!"Mereka kembali memapah Jeko yang semakin tampak pucat. Kakinya mulai mengering, tetapi area sekitar luka semakin membengkak.Langkah demi langkah kecil, mereka susuri medan menurun dengan rintangan akar pepohonan menyulitkan langkah. Sesekali, kaki yang lemas dan menggantung itu terantuk, membuat Jeko meringis berkali-kali. Dengan sabar, mereka be
Tubuh Bang Ron beberapa kali menghantam tebing cadas. Tubuh tak berdaya itu meluncur deras di atas tanah miring, lalu jatuh kembali dan hilang tertelan jurang jalur selatan yang mulai tersamar remang magrib berselimut kabut. Semua terjadi begitu cepat.Alit segera melepas carrier yang menempel di punggungnya, lalu mencoba menuruni tebing dengan hati-hati. Di belakangnya, Ibnu dan Fadly membuntuti."Hati-hati, awas kalian terpeleset!" kata Alit mengingatkan sambil mencari pijakan yang aman dari batuan lepas."Lit, kalau kita turun, Diah sama Zahra, gimana? Mereka masih di atas sana." Fadly tampak khawatir dengan kondisi dua teman perempuannya itu."Sepertinya, mereka aman di atas. Udah, biarin aja mereka nunggu di sana sementara, daripada bahaya kalau ikut. Diah sama Zahra kayaknya tau harus ngapain," jawab Ibnu mengira-ngira.Gelap semakin mengambil alih situasi. Perjalanan menuju dasar jurang bisa memakan waktu hingga dua jam. Namun, dalam kondisi gelap dan medan yang belum dikuasai,
Ilalang dan rumput liar masih merunduk, di ujungnya tampak bulir air menggantung memantulkan cahaya matahari. Tebing cadas yang tadinya terasa dingin saat tersentuh, kini mulai terhangatkan, lalu tampak berasap karena basah semalam mulai menguap."Teman-teman, kita tunggu matahari meninggi dulu, baru kita turun. Sekarang tebing dan jalur pasti masih licin karena hujan semalam. Kita jangan ambil resiko." Alit sebagai orang yang lebih tua mengambil alih posisi tim leader. Kini, ia bertanggung jawab atas teman-temannya.Sesaat sebelum beranjak menuruni tebing, tiba-tiba Zahra terdiam. Ia merasakan pusing saat pandangannya menghadap langsung ke arah kedalaman kawah gunung. Ia tertunduk dengan kedua tangan memegang lutut."Ra, kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Diah memastikan keadaan Zahra yang masih tampak pucat."Saya pusing, Mbak!" Zahra duduk dan menyandarkan tubuhnya pada tebing. Wajahnya memerah karena hendak muntah."Pegangin, pegangin! Mungkin dia kena AMS. Kita harus cepat turun!"
Perlahan, warna senja tumpah pada awan yang menggantung di bawah kolong langit yang masih biru, seolah mengumandangkan matahari akan segera berpamitan. Menyisakan lelah dan hati yang gundah serta semangat yang hampir patah.Pada permukaan danau, anak-anak belibis mengiringi induknya berenang ke kiri, ke kanan, dan sesekali menyelam memburu ikan-ikan kecil di danau yang mulai tersamar kabut. Perlahan gelap mulai melingkupi kawah Rinjani, menyembunyikan pucuk-pucuk cemara yang lentik, bersamaan dengan itu, bau anyir jenazah yang tampak melebam mulai tercium. Jenazah Bang Ron sudah sehari terkapar di atas batu dengan separuh badan tak tersangga. Wajahnya menghadap ke arah alit dan Fadly. Hanya selembar jas hujan yang menutupi tubuhnya. Alit dan Fadly tak berani memindahkan jenazah itu ke tempat yang datar. Tubuhnya yang besar agak terhimpit di antara batu besar dan pangkal pohon. Tak bisa berbuat apa-apa, mereka kembali ke tempat Ibnu dibaringkan."Teman-teman, kita harus camp dekat je
PENDAKIAN JALUR SELATAN RINJANIPART 12__________________________Ibnu berlari menjauh setelah mendorong Fadly. Sementara Alit berusaha membantu Fadly agar segera keluar dari danau yang mulai beriak dengan aneh."Cepet naik!" Alit mengulurkan tangan.Fadly segera meraih uluran tangan Alit dan dari danau. "S i a l a n, k u b a l a s kau!"Fadly bermaksud membalas perlakuan Ibnu yang telah membahayakannya. Sejak jatuhnya Bang Ron, Ibnu memang sempat berkali-kali adu mulut dengan Fadly."Ibnu! Ibnu, keluar kamu!" teriak Fadly sambil berjalan cepat menuju tenda.Diah dan Zahra hanya melongo keheranan dengan apa yang terjadi."Fadly, sabar ... sudah, kita ngomong sama Ibnu baik-baik!" ucap Alit mencoba menenangkan Fadly yang sudah terlanjur emosi.Dengan kasar Fadly membuka resleting tenda. "Keluar kamu, b e r e n g s e k! Sini h a d a p i saya!""Ini kenapa?" teriak Diah melihat Fadly menyeret Ibnu keluar dari tenda dengan kasar."Biar k u h a b i s i saja sekalian orang ini! Dasar p e
Tubuh yang telah kaku itu terus mengeluarkan suara dengkuran seolah berusaha untuk tetap bernapas walau nyawa telah terlepas. Sudah pasti itu bukanlah Bang Ron, melainkan ulah makhluk-makhluk usil dari kalangan jin yang berusaha melemahkan iman mereka."Laa hawla walaa quwwata illa billah." Suara Diah terdengar lirih sambil menyembunyikan wajah. Tangannya terkunci meremas pundak dan lengan Alit dengan keras."Diah, u-ucapin agak keras!" suruh Alit dengan nada bergetar. Ia tampak kesulitan untuk terus melangkah."Abaaang, takuut." Suara Diah membisik lemah dengan tangan dan kaki yang semakin gemetar."Astagfirullah! Ya Allah, kami berlindung pada-Mu," ucap Alit memberanikan diri. Ia terus berusaha melawan rasa takut.Berkali-berkali, mereka rapalkan doa perlindungan hingga perlahan suara dengkuran itu semakin melemah, lalu hilang. Alit mengarahkan cahaya headlamp ke arah jenazah untuk memastikan sekali lagi. Sontak ia dan kawan-kawan terperanjat. Kepala Bang Ron yang tadinya tersandar
Fadly segera mundur menjauh setelah membuka pintu tenda. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat. Ibnu benar-benar bersikap aneh. Padahal sebelumnya, ia terbaring sakit akibat alergi racun jelatang api."Bang Alit, tutup aja lagi tendanya. Sumpah, saya takut, Bang," pinta Diah dari balik punggung Fadly.Saat Alit hendak menutup tenda, terdengar suara erangan dari mulut Ibnu dan matanya melotot tepat ke arah Alit. Padahal, sebelumnya sepasang mata itu tertutup kelopak mata yang membengkak.Dengan ragu, Alit menarik resleting pintu tenda perlahan. Namun, belum sampai setengah, resleting itu macet tersangkut lipatan kain. Ia terus mencoba menutupnya dengan perasaan khawatir, tetapi sayang, resleting itu copot dari tempatnya."Astaga!" Alit melihat resleting yang terlepas itu di tangannya.Ibnu semakin menancapkan pandangan matanya jauh ke dalam mata Alit. Lalu, perlahan ia bangkit dan mulai mendekat ke arah pintu tenda. Ibnu benar-benar tak sadar dan bertingkah sangat aneh.Ali
Suara gong, gamelan, dan suling itu seperti irama sebuah harapan untuk Alit dan kawan-kawan. Alunannya terus menggema seakan merayu mereka untuk mendekat."Fadly, kamu bener-bener denger, 'kan, kalau suaranya datang dari arah sana?" tanya Alit memastikan sambil menunjuk arah barat, titik dari mana suara itu berasal."Iya, aku juga dengar, Lit. Cukup jelas, kok, suaranya. Bunyinya kayak gak jauh, deh, kayak di belakang hutan cemara sana, Lit," jawab Fadly. "Tapi, Bang, kali aja suara itu terbawa angin, apalagi di hutan gunung kayak gini, kan, sunyi," sambung Diah, ia memeluk kedua lututnya di depan api unggun. Di samping Diah, Zahra sesekali mengusap matanya yang sembab dengan kaos lengan panjangnya. Hampir tiap waktu ia meneteskan air mata. Wajahnya benar-benar kusut. Dua perempuan itu pasti syok berat, apalagi itu adalah pendakian pertama bagi mereka. Alit menatap dua teman perempuannya itu. Tergambar raut wajah tak tega saat melihat Diah dan Zahra yang menghadapi kondisi buruk da