Salah satu lokasi yang dijadikan tempat berlindung adalah stadion sepak bola yang sangat besar dengan kubah raksasa yang menutupi bagian dalam tempat tersebut. Ada puluhan ribu orang berkumpul di sana, beberapa hanya datang ketika serangan berikutnya akan terjadi dan beberapa benar-benar tinggal di sana karena rumah mereka telah dihancurkan oleh meteor dan serangan pertama. Layar raksasa muncul di langit, semua orang di sana bisa menonton siaran langsung persiapan para Pemain di berbagai lokasi dan pertempuran yang akan menyusul. Dari berbagai arah, banyak mata yang terdiam dengan doa dan harapan agar tidak banyak korban yang berjatuhan dalam serangan malam ini, dan berharap proses serangan monster tersebut bisa berakhir dengan cukup cepat. Seseorang di tengah berdiri di atas panggung yang tergantung dari langit-lang
Angel Man terbang dengan tenang di langit, kamera yang menyorot dirinya dari helikopter dengan sangat jelas menangkap wujudnya dan menampilkannya di layar lebar di stadion, disaksikan oleh ribuan mata. Sepuluh detik sebelum serangan. Angel Man menoleh ke arah kamera, lalu terbang dan tersenyum, mengedipkan mata kanannya. [Saksikan! Jangan lewatkan sedikitpun apa yang akan terjadi!] Setelah itu kamera menyorot ke tanah dan menyapu gedung-gedung di kota, bersiap untuk menangkap gambar serangan monster yang kemungkinan akan terjadi beberapa detik setelah ini. Angel Man melakukan hal yang sama, bersiap dengan tombak yang sekarang muncul di tangannya untuk bergegas ke menyerang ketika dia melihat sedikit peluang u
Laila mencengkeram Fang dengan erat saat Fang melompat dari atas gedung yang kemudian mendarat di dinding gedung lainnya, menukik ke arah berlawanan dan jatuh ke tanah dengan gerakan zig-zag. Ketegangan yang dirasakan Laila tidak lagi membuatnya merasa terpengaruh oleh kecepatan dan kelincahan Fang. Fang berdiri berjongkok, bersiap menyerang ketika Laila di radarnya mulai mendeteksi puluhan bahkan ratusan Monster mulai muncul dalam bentuk titik-titik jingga. Monster yang datang ada dua jenis, satu terbang di langit dan lainnya berlari di tanah dengan bentuk yang sama dan yang membedakan hanyalah sepasang sayap yang tumbuh di punggungnya. “Kak, bersiap-siap! Ada dua jenis Monster. Puluhan dari yang terbang sedang bergerak mendekati posisimu, dan lainnya berlarian di tanah”
"Bunuh! Selesaikan! Berjuang sampai akhir!" Artin bergumam keras pada dirinya sendiri, matanya tiba-tiba fokus dan jantungnya berdetak sangat tenang. Tubuhnya berdiri kokoh dengan Palu Keadilan di tangan kanannya. Kemudian melirik ke langit saat puluhan Monster berteriak dan terbang ke arahnya. Monster tercepat kini sejengkal di depan Artin, saat tangan kiri Artin menangkap kepala monster itu dan meremasnya dengan kuat, kepala monster itu mendadak pecah dan hilang terbawa angin. "Lemah!" Tiga ekor lainnya mendekat dari belakang, Artin berbalik dengan sangat cepat dan memutar tubuhnya dengan pukulan kuat dari Palu Keadilan yang kemudian menghabisi mereka sekaligus dengan satu tebasan. &
“KAKAKKK!!!” Laila segera melompat dari tubuh Fang, berlari ke arah Artin. Sebagian besar tubuh Artin hancur, dan cipratan darah terlihat jelas di jalan beraspal. “KAKAKKK!!!!” Laila mencoba mengangkat Artin, tetapi kemudian melepaskannya. Wajah Artin yang tampak pucat di bawah sinar bulan kini perlahan retak, dan dalam beberapa waktu akan segera menghilang seperti yang terjadi pada semua orang yang terpilih sebagai Pemain. “TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!” Hati Laila hancur, dia berteriak dengan seluruh kekuatan yang tersisa di dalam dirinya. “TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!” Mengapa semua yang dia pedulikan
Mata Artin perlahan terbuka, berpindah dari kegelapan yang tak berujung, ke tempat yang tidak terlalu gelap, remang-remang dengan hanya sedikit cahaya bulan yang masuk di antara sela pintu dan jendela sebuah ruangan. Tubuhnya terasa dingin, bukan luka yang ia rasakan, kali ini hanya rasa dingin dari udara malam. Meskipun tidak dengan leher dan pipinya, yang hangat menempel pada sesuatu yang terasa lembut dan nyaman. Artin menikmati kelembutan bantal yang dia tiduri kali ini, tidak selembut bantal biasanya, tapi yang satu ini disertai dengan perasaan tenang yang tidak bisa dijelaskan. Setelah itu dia merasakan belaian, sentuhan lembut dari jemari kecil yang perlahan menyisir rambut, kening, pipi, hingga bibir Artin. Setelah mata Artin yang sekarang terbuka lebar,
[[ Penghisap Darah Petarung (General) Lvl 31 ]] [[ HP: 14700/15000 ]] Pertarungan tampaknya terjadi di dekat tempat penampungan lainnya. Berbeda dengan penampungan sebelumnya, tempat ini terlihat masih utuh, meski kondisinya akan berubah total jika monster besar yang muncul di TV kali ini gagal dihentikan. Level monster itu cukup tinggi, dengan tingkatan General yang belum pernah ditemui Artin sebelumnya. Dari cara dia bertarung dan kekuatan yang dia tunjukkan, jelas bahwa dia bukanlah musuh yang mudah untuk dihadapi. Apakah Artin hanya akan menonton kejadian itu di TV, tanpa berusaha melakukan apa pun? Lalu membiarkan monster itu menjadi liar tak terkendali dan jatuhkan lebih banyak korban? Artin memikirkan
“ARGHHHHH!!!!” Artin berteriak sangat keras, lalu sebuah palu besar muncul di tangannya, matanya tiba-tiba menjadi gelap, hatinya kali ini benar-benar tertutup oleh emosi. Artin berlari dan melompat ke depan mencoba memukul dengan palunya, namun pergerakan monster itu lebih cepat dari yang Artin pikirakan, yang kemudian melontarkan cakarnya yang panjang untuk menyambut kedatangan Artin. Artin tidak punya cukup waktu dan tidak mencoba bersaing dalam pertempuran jarak dekat. Kemudian dia dengan cepat memutuskan untuk melemparkan palunya dari kejauhan. “LEMPAR PALU!!!” Palu Keadilan terlempar sangat keras ke tubuh monster itu dan jatuh ke tanah setelah hanya meninggalkan luka kecil.