Dari perawakannya aku tahu itu Rey, namun kini badannya agak sedikit berisi. Gayanya masih tetap sama, celana jeans, kemeja kotak-kotak lengkap dengan kacamata hitam bertengger pada hidung mancungnya. Serta rambut yang dibiarkan agak panjang, sedikit menutupi bagian belakang lehernya. Sehingga akan bergerak jika tertiup angin dan itu yang dulu membuatku tak henti memikirkannya sepanjang waktu. Rey dengan gaya cueknya, selalu mampu menyihirku. Di bawahnya tertulis sebuah caption 'Hidup akan terus berlanjut.' Rey selalu pandai berkata-kata, mungkin itu juga salah satunya yang membuat dia seperti candu untukku.Entah hidup seperti apa yang sedang Rey jalani. Apakah masih ada pengharapan bagi hati yang telah kalah dalam penantian ini. Aku kalah. Aku ingkar. Aku minta maaf, Rey.Sebutan apa yang pantas untukku saat ini? Wanita yang tidak setia menanti kekasihnya dan memilih untuk menikah dengan sahabat dari kekasihnya itu. Apakah aku akan sanggup menjelaskan semua ini pada Rey? Aku tak sa
Matahari kian merendah dan perlahan tenggelam diantara pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan perumahan. Meninggalkan bias jingga yang berpendar di sepanjang garis cakrawala di bagian barat. Sekelompok burung pingai atau biasa disebut burung gereja sesekali melintas, terbang menuju sarangnya. Menyempurnakan siluet alam senja ini. Syahdu.Aku tersenyum tipis seraya menghela nafas berat. Suasana seperti ini akan sangat terasa indah jika ada seseorang yang istimewa di sini. Dan saat ini aku tak bisa membayangkan siapapun ada di sini bersamaku"Indah."Suara disamping kiriku itu membuatku sedikit terkejut karena aku sedang fokus melihat ke arah kanan dimana jingga cakrawala senja sedang memanjakan mataku.Kulirik sekilas lelaki halalku tengah menatap ke fokus yang sama denganku barusan."Sayangnya keindahan ini akan tak berarti jika dinikmati dengan hati yang resah," lanjutnya lagi membuatku kembali menoleh ke arahnya. Pandangan kami bertaut. Aku tak mampu menyelam ke dalam kedu
Perbukitan yang nampak hijau kebiruan serta atap-atap rumah penduduk yang nampak kemerahan terlihat sangat indah di bawah naungan langit biru dengan beberapa gumpalan awan putih di siang yang cerah ini.Membuat siapapun akan betah berlama-lama di sini. Itulah yang membuat aku dan Maya serta teman-teman yang lain dulu sering pergi ke sini selain ke taman Flamboyan."Masih suka menikmati alam dari ketinggian?" Terlalu tenggelam dalam buaian angin dan indahnya alam hingga aku tak sadar sudah ada seseorang yang berdiri tak jauh dariku. Dan suara itu sangat tidak asing di telingaku meski sudah 3 tahun tak pernah lagi kudengar."Rey!?" Tak sadar aku menyebut namanya meski mataku masih lurus ke depan."Kamu masih sangat mengenaliku?" Suara itu terdengar lagi."Tentu saja," jawabku masih dalam posisi yang sama."Aku masih sangat mengenalmu kecuali tentang satu hal," lanjutku seraya menoleh ke arahnya. Rey berdiri di sebelah kananku hanya berjarak beberapa langkah saja. Tubuh tegapnya terbalut
Aku mengubah posisiku menjadi berhadapan dengannya. Dadaku terasa sesak mendengar penuturannya barusan."Setelah apa yang kamu lakukan selama empat tahun ini terhadapku. Kamu dengan entengnya minta maaf, Rey? Kamu pikir hatiku terbuat dari apa hingga begitu kuat menerima semua ini?" Meski sudah kucoba untuk setegar mungkin tetap saja suaraku terdengar bergetar. Mataku lurus menatapnya. Kerinduan yang beberapa saat yang lalu melebur dalam tatapan kami telah menguap dan berganti dengan amarah yang sulit dijelaskan."Kamu pikir selama ini aku hidup dengan tenang, Ra? Aku selalu dibayangi perasaan bersalah kepadamu. Dan aku tak kan tenang sebelum semua ini terungkap. Aku pengecut karena tidak berani berkata jujur padamu. Aku bingung harus memulai dari mana untuk menjelaskan padamu." Dia menjeda kalimatnya, lalu mengacak rambutnya frustasi seraya berpaling ke arah kanan dimana alam di bawah langit biru tak lagi menjadi indah bagiku.Sementara aku hanya mematung menahan isakanku yang mewaki
Aku membuka mata dan merasakan kepalaku berat. Kuraba keningku dan mendapati sesuatu menempel di sana. Handuk kecil. Apakah aku dikompres? Aku pun kini terbaring di atas kasur berselimut tebal. Bukankah tadi aku sedang merasakan dinginnya udara malam sambil duduk di atas kursi yang berada di balkon kamarku? Lalu .... ?Kulihat sekeliling dan mendapati Bang Fyan sedang duduk di atas sofa bersama laptopnya. Kucoba bangun tapi tubuhku rasanya sakit dan kepala terasa pusing."Aahh!" Aku kembali berbaring setengah menghempaskan tubuh di atas kasur."Jangan paksakan bangun dulu, kalau butuh sesuatu bilang saja!" ucap Bang Fyan seraya bangkit dan berjalan menghampiriku."Aku tadi ... di balkon." Aku melirik ke arah balkon, tangan kananku sedikit terangkat."Kamu ketiduran di balkon dalam keadaan kedinginan. Jadi Abang pindahin saja ke sini," tuturnya lembut tapi nyaris tanpa ekspresi. Datar dan dingin."Maaf, Ara nunggu Abang sampai ketiduran dan kedinginan begitu," lanjutnya sambil membetul
Semenjak dari subuh, setelah menunaikan shalat, lelaki itu keluar dari kamar dan belum kembali hingga saat ini."Kamu disini saja, jangan kemana-mana sampai Abang kembali!" titahnya sebelum dia keluar. Pria itu pun tergesa-gesa menuruni anak tangga. Aku tahu dari suara langkah kakinya.Tanpa menjawab, aku duduk menunggu di atas sofa yang berada di dekat jendela besar. Cahaya matahari pagi terasa hangat di tubuhku. Sejak bangun tadi, aku merasa tubuhnya agak enakan, hanya merasa sedikit lemas saja. Mungkin efek demam semalam dan juga perut yang tidak terisi maksimal.Sebaiknya aku menghubungi Maya dulu, karena sepertinya tidak bisa pergi ke toko hari ini."Kamu beneran sakit atau hanya perlu memenangkan hati?" tanya Maya ketika kuberitahu perihal keadaanku. Kenapa Maya juga seperti ikut-ikutan meledekku."Semalam aku masuk angin karena ketiduran di balkon dalam keadaan perut kosong. Aku terbangun tengah malam dan sudah berada di atas tempat tidur dalam keadaan demam," paparku malas."Y
"Kamu dengar apa yang tadi dikatakan dokter, 'kan? Jangan stres! Jangan telat makan dan jangan kecapean!" tegasnya sekali lagi ketika kami sudah sampai di rumah.Aku hanya mengangguk, percuma juga menjawabnya karena dia akan semakin cerewet lagi. Aku akui memang akhir-akhir ini kecapean. Mungkin sudah saatnya untuk menambah karyawan lagi di toko. Soal telat makan dan stres memang iya. Pernikahanku dengan Bang Fyan cukup menyita pikiranku. Disatu sisi aku tak ingin mengecewakan orang tua kami dan aku juga sebenarnya sangat ingin bisa menerima Bang Fyan sebagai suamiku, imamku yang seharusnya aku perlakukan sebagai mana mestinya. Tapi sisi hatiku yang lain masih ingin memegang teguh janjiku pada lelaki yang siang malam kunanti dan kupuja. Meski ternyata pada akhirnya aku harus menghadapi kenyataan yang sangat sulit aku terima, ternyata apa yang kulakukan selama tiga tahun ini tidak ada artinya. Jujur saja kenyataan ini membuatku merasa jadi manusia paling bodoh. Aku mengutuk diriku se
Kuusap dada berkali-kali untuk menormalkan detak jantungku. Malu karena ketahuan menatap Bang Fyan secara diam-diam. Sampai beberapa menit kemudian dia keluar dari kamar mandi, aku belum bisa mengendalikan diri ini. Dan, astaga! Dia keluar hanya menggunakan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Alhasil tubuh bagian atasnya terekspos sempurna. Wajah serta rambutnya yang basah membuatku sejenak tak bisa berkedip.Dengan cepat aku berpaling ke arah lain. Meski hampir dua bulan pernikahan kami, tapi pemandangan seperti ini masih sangat tabu untukku. Belum lagi reda gemuruh akibat perkataannya tadi, sekarang harus bertambah karena tingkahnya. Rasanya ingin lari saja keluar kamar, tapi apa daya kakiku belum kuat untuk itu."Ra, kenapa diam saja?" tanyanya membuat aku heran. Memangnya aku harus ngapain?"Ra?" panggilnya lagi.Ck! Kenapa sih?"Abang kenapa sih?" Aku balik bertanya tanpa melihatnya. Kudengar langkahnya kian mendekat membuatku semakin heran, gugup dan salah tingkah."Hey