MasukBanyak mengandung unsur 21+ secara eksplisit. Season 1 : Bab 1 - POV Damian (Riri - Damian) Season 2 : S2 (Arkana - Pewaris utama) Season 3 : S3 (Arldrich - Anak kedua) Season 4 : S4 (Aurelia - Anak ketiga) Riri mendapati suaminya Kana, berselingkuh dengan Sabrina, sepupunya. Mereka berdua berhubungan intim di ranjang Riri dan Kana tepat di ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bahkan Riri belum pernah di sentuh Kana dari awal menikah karena perjodohan. Riri merasa patah hati, ia melarikan diri ke Bar, berrtemu pria bernama Damian. Riri mabuk, dan dia menyerahkan ke perawanannya pada pria itu. Tanpa Riri ketahui Damian memiliki dendam pada Kana. Damian pun sudah mengenal Riri sejak lama. Riri bimbang, hatinya sudah goyah sejak.malam bergairah dengan Damian. Ia merindukan sentuhan jemari Damiam di tubuhnya. Apakah Riri akan melanjutkan hubungannya dengan Damian? membalasa perselingkuhan Kana dengan hal yang sama. Berselingkuh dengan Damian.
Lihat lebih banyakAluri Vasya Zain, yang akrab dipanggil Riri, sengaja pulang lebih awal untuk memberikan kejutan di hari ulang tahun pernikahannya. Lima tahun usia pernikahan mereka. Hari ini seharusnya menjadi momen manis. Ia ingin menyiapkan makan malam romantis, dengan salmon panggang, anggur putih, dan lilin-lilin kecil yang menghiasi meja makan.
Namun semuanya hancur hanya dalam hitungan detik. Sepasang sepatu hak tinggi asing tergeletak rapi di depan pintu kamar. Tumit Riri melemah. Tangannya bergetar saat menyentuh kenop pintu. Hatinya menolak kenyataan, tapi telinganya sudah mendengar sesuatu yang tak bisa disangkal. Desahan lirih, tawa pelan seorang perempuan, kata-kata nakal terdengar jelas dari laki-laki yang sangat ia kenal suaranya. Kana. Suaminya. Perlahan, Riri membuka pintu kamar. Di ranjang mereka, di atasnya, dua tubuh telanjang saling menyatu dalam gairah. Sabrina. Wanita yang sudah beberapa kali duduk di meja makan bersama mereka, sepupu jauh Kana yang sering berkunjung. Kini tubuh polos itu tengah memainkan pinggul di atas tubuh Kana. Desahan demi desahan terdengar jelas, hingga keduanya tak menyadari keberadaan Riri yang berdiri terpaku di ambang pintu. Riri tak menjerit. Tidak juga menerobos masuk melabrak keduanya. Dia hanya berdiri. Membeku. Jiwanya seperti ditikam dari segala arah. Tapi wajahnya tak menunjukkan apa pun selain pucat dan sorot mata kosong. Tanpa suara, ia berbalik. Kakinya nyaris lumpuh, tapi tubuhnya tahu jalan keluar. Ia berjalan. Hanya ponsel yang digenggamnya erat. Tanpa tas, tanpa dompet. Hanya tubuh yang gemetar dan napas yang menyayat dada. Selama ini, Riri selalu bersabar atas pernikahan hasil perjodohan itu. Lima tahun bersama Kana, tak pernah menuntut apa-apa. Bahkan ketika tak sekalipun dia disentuh sebagai istri. Alasan "lelah" dari Kana selalu ia terima tanpa protes. Dan ternyata, malam ini, dia mendapat jawabannya. Fakta yang didapatkannya membuat luka yang dalam di hatinya. Riri berdiri di trotoar, membiarkan lampu kota menyinari rambutnya yang basah diterpa hujan gerimis. Kepalanya terus memutar adegan ranjang yang bergoyang, suara bisik-bisik mesra yang seharusnya menjadi miliknya. Langkahnya membawanya ke sebuah bar di sudut Jalan Dharmawangsa. Tempat itu remang, dipenuhi alunan jazz dan aroma alkohol yang tajam. “Sendirian, Mbak?” tanya bartender, pria berambut cepak dengan kaus hitam bertuliskan DANGER. Riri mengangguk pelan, duduk di kursi bar. “Yang paling cepat bikin mabuk apa?” “Vodka, kalau niatnya begitu.” Riri tersenyum getir. “Dua,” ucapnya. Dua gelas vodka disodorkan ke hadapannya. Tanpa ragu, Riri langsung meneguk gelas pertama, lalu gelas kedua. Kepalanya terasa ringan. Dunia mulai berputar. Tapi rasanya lebih baik daripada kenyataan yang baru saja dihadapinya. Tiba-tiba seorang pria duduk di kursi sebelahnya. Wajahnya tak asing. Dia pernah melihatnya di acara kantor Kana. Kalau tak salah, dia rekan kerja Kana. Namun Riri tak peduli. “Lagi kabur dari dunia?” tanya pria itu ringan. Riri menatap gelas kosongnya, lalu menjawab, “Lebih tepatnya, aku dibuang ke tong sampah.” “Siapa yang tega membuangmu?” tanyanya lagi, sambil meneguk minuman pesanannya. Riri tertawa pelan. Bukan karena tersanjung. Tapi karena pahit. “Hari ini ulang tahun pernikahanku. Dan suamiku memberikan kejutan luar biasa, di atas ranjang,” katanya mulai melantur. Pria itu terdiam sejenak, lalu kembali meneguk minumannya. “Dan kamu lari ke sini?” “Aku nggak lari. Aku menyelamatkan diri.” “Semoga pelarianmu malam ini bisa membuatmu lebih baik. Kadang, kita cuma butuh didengar. Walaupun hanya didengarkan orang asing,” ucap pria itu, suaranya lembut. Riri menatap mata pria itu, dengan pandangan yang cukup dalam untuk menyentuh sisi dirinya yang sedang retak. “Aku nggak tahu siapa kamu, tapi terima kasih sudah menemaniku di sini.” “Namaku Damian,” katanya, menyodorkan tangan. Riri terdiam sejenak. Perlahan dia mengulurkan tangannya. “Riri," ucapnya sambil terkekeh pelan. Pria itu mengernyit penasaran. “Kenapa? Ada yang lucu?” Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, menyusul tawa kecil yang terdengar getir. “Nggak apa-apa. Entah kenapa, aku senang kamu di sini.” Riri mengangkat tangan, memanggil bartender, memesan satu gelas vodka lagi. Bartender segera meracik pesanan. Damian hanya memperhatikan gerak-gerik Riri yang mulai mabuk. Riri mulai terhuyung dari kursinya. Matanya setengah terbuka, mulutnya sedikit menggumamkan lagu yang tak jelas nadanya. Gelas vodka ketiga telah tandas. Kepalanya semakin ringan. Tapi hatinya? Masih berat. Riri hendak melangkah meninggalkan meja bar. Bartender menatapnya ragu. “Maaf mbak, bayar dulu?” Riri mengerjap. Tangannya meraba-raba saku mantel cokelatnya. “Dompetku,” gumamnya. Lalu dia tertawa kecil, konyol. “Kayaknya ketinggalan. Kayaknya ketinggalan di kamar terkutuk tadi," ucapnya semakin melantur. Damian melirik ke arah bartender, mengeluarkan dompetnya tanpa kata. “Ini bayarannya. Kembaliannya ambil aja,” kata Damian tenang, menyerahkan uang. Bartender mengangguk. “Terima kasih, Mas.” Damian berdiri, lalu meraih bahu Riri dengan lembut. “Ayo, aku antar pulang.” “Pulang ke mana?” gumam Riri. “Rumah itu bukan rumahku lagi...” “Terserah kamu. Yang penting nggak tidur di lantai bar,” ucap Damian, membantu Riri berdiri, juga meraih ponsel Riri yang tergeletak di meja bar. Langkah mereka pelan menyusuri trotoar malam. Damian dengan sabar menuntun tubuh Riri yang limbung menuju mobilnya. Damian membuka pintu penumpang. Riri masuk dengan gerakan pelan. Tapi saat Damian hendak menutup pintu, tangan Riri menarik pergelangan tangannya. “Jangan pergi,” bisik Riri, suaranya nyaris tak terdengar. Damian menunduk. “Aku nggak pergi. Aku cuma mau—” Kalimatnya terputus. Mata Riri yang memerah menatap langsung ke dalam mata Damian. Tanpa aba-aba, bibir Riri menabrak bibirnya. Kasar. Terburu-buru. Penuh rasa sakit yang tak bisa lagi disembunyikan. Itu bukan ciuman yang lembut, tapi jeritan rasa sakit dalam bentuk lain. Damian tertegun. Sesaat ia membeku, tapi tubuhnya mengenali luka itu. Luka yang serupa pernah ia rasakan dulu dan ia tahu, ia tak bisa menolaknya begitu saja. Riri menarik napas di sela ciuman mereka. Tangannya bergetar saat menggenggam erat kerah Damian, seolah memohonnya agar jangan pergi, jangan meninggalkannya. Damian memejamkan mata, membiarkan bibir mereka menyatu dalam gelombang emosi yang tak bisa dihentikan. Tapi kemudian, perlahan, ia memegang wajah Riri dengan kedua tangannya. Jempolnya menyapu pipi Riri yang basah entah oleh hujan atau air mata. “Riri…” gumamnya lirih. Suaranya serak. Ia menarik diri, memastikan Riri sadar dengan apa yang dilakukannya. “Jangan pancing aku. Aku tak akan bisa menahan diri.” Namun, Riri hanya menatapnya tanpa kata. Lalu pelan, dia menyandarkan kepalanya di dada Damian. Napasnya berat. Tangannya mencengkeram jaket Damian, seperti anak kecil yang takut ditinggalkan. “Tolong…” bisiknya lirih, nyaris seperti isakan. “Aku capek. Aku ingin melepaskan rasa sesak ini. Apa aku juga tak menarik di matamu?” Damian memejamkan mata. Kepalanya bersandar pada rambut Riri yang basah. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Riri lagi lebih dalam. “Kamu yang memulai, Riri,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku tak akan menghentikannya. Bahkan meski nanti kamu menyesalinya dan memohon agar aku berhenti.” Riri menatapnya dengan mata penuh air, tapi di balik air itu. Ia meyakinkan Damian, jika ia pun menginginkannya. “Aku nggak akan menyesal,” ucapnya. Kembali menempelkan bibir tipisnya di bibir Damian.Mereka tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta menjelang malam. Suasana Ibu Kota yang padat dan cepat langsung menyambut, kontras dengan ketenangan mencekam Bali beberapa jam yang lalu. Selama penerbangan, hanya ada sedikit percakapan. Damian dan Arkana membiarkan Aldrich terlarut dalam pikirannya, menghormati keputusan sulit yang baru saja dia ambil.Begitu mobil mereka memasuki gerbang rumah besar keluarga besar. Rasa lega dan ketegangan bercampur di udara. Aldrich menatap rumah itu, rumah yang dulunya terasa asing, kini mulai terasa seperti pangkalan, tempat yang dia tahu akan menerima dan mendukungnya, tidak peduli seberapa gelap warisan yang dia bawa dari Bali.Riri sudah berdiri di ambang pintu, menunggu. Wajahnya pucat karena khawatir. Dia telah mendengar kabar kritisnya Candra dan kepergian mendadak Aldrich, tetapi Damian memintanya untuk tidak khawatir berlebihan. Melihat putranya berjalan keluar dari mobil, sehat walafiat, Riri merasa semua kekhawatiran itu luntur.Riri
Aldrich memacu motor sport hitamnya kembali ke Sanur. Jalanan Bali yang mulai diterpa fajar terasa dingin. Dia tidak lagi merasa mabuk, hanya lelah, dan terasa lebih bersih. Peristiwa semalam, pertemuannya dengan 'Olivia', adalah sebuah katarsis aneh. Rayzen sempat mengambil alih, tetapi Aldrich yang berhasil memegang kendali di akhir. Dia memarkir motornya di garasi belakang, lalu berjalan tenang menuju rumah. Begitu melangkah masuk ke ruang tamu utama, keheningan rumah itu pecah. Suara-suara berat langsung menyambutnya. Damian, Arkana, dan Kana tengah duduk bersama, membahas sesuatu dengan nada serius. Ketiganya serentak menoleh. Wajah Damian yang semalaman cemas langsung memancarkan kelegaan yang luar biasa. Dia bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. "Nak!" Damian melangkah cepat, menghampiri Aldrich, lalu tanpa ragu, memeluk putranya itu dengan erat. Pelukan yang sarat kerinduan, ketakutan, dan cinta tanpa syarat. Aldrich sempat bingung, tubuhnya menegang karena terkejut. Sud
Mereka tiba di sebuah hotel budget dengan pencahayaan redup dan resepsionis yang tidak peduli, sudah terbiasa dengan pemandangan pasangan yang datang tengah malam. Olivia membayar kamar dengan uang muka yang kecil, sisanya akan dibayar setelah "pekerjaan" selesai. Kamar itu kecil, berbau pengharum ruangan murah yang berusaha menutupi bau lembab. Satu tempat tidur dengan seprai putih yang tidak terlalu bersih, satu jendela dengan gorden lusuh, dan lampu temaram yang menciptakan bayangan di dinding. Begitu pintu tertutup, suasana berubah drastis. Keberanian palsu Olivia yang dibentuk oleh alkohol mulai luntur. Tangannya gemetar saat dia melepas tas kecilnya dan meletakkannya di meja. Aldrich yang kini menjadi Rayzen berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi bayangan peti mati Candra, wajah Kana yang penuh pengertian, dan pesan Damian di ponselnya. "Aku... aku akan ke kamar mandi dulu," ucap Olivia dengan suara yang hampir berbisik. Al
Aldrich terbangun di tengah malam dengan perasaan gelisah yang mencekik. Kamarnya terasa sempit, udara terasa pengap, dan bayangan peti mati Candra terus berputar di kepalanya. Dia tidak bisa tidur. Tidak di rumah ini. Tidak dengan semua kenangan yang menghantui setiap sudut. Tanpa berpikir panjang, Aldrich bangkit, mengenakan jaket hitam, dan menyelinap keluar dari kamar. Dia berjalan dengan langkah pelan melewati koridor yang sunyi, melewati ruang tamu di mana anak-anak buah Candra berjaga bergantian. Mereka tertidur di sofa, lelah setelah seharian mengurus prosesi pemakaman besok. Aldrich keluar melalui pintu belakang, menghindari Nobel yang pasti akan mencegahnya jika tahu dia pergi. Dia mengambil motor sport hitam, salah satu koleksi lamanya yang masih tersimpan di garasi dan melaju kencang ke dalam kegelapan malam Bali. Sesampainya di Seminyak, Aldrich memarkir motornya sembarangan di depan sebuah bar yang masih ramai meski sudah dini hari. Musik house yang menggema, tawa pa
Rumah duka di Sanur dipenuhi karangan bunga besar dari berbagai kalangan, pengusaha, politisi, bahkan beberapa nama yang dikenal publik sebagai tokoh masyarakat terhormat. Ironis, mengingat Candra adalah seorang kriminal yang pernah dipenjara. Tapi uang dan kekuasaan selalu punya cara untuk membeli penghormatan, bahkan dalam kematian. Aldrich duduk di kursi barisan depan, berhadapan langsung dengan peti jenazah Candra yang tertutup rapat. Wajahnya datar, kosong, seolah jiwanya sudah tidak ada di sana. Dua hari sejak kematian Candra, dia belum menangis, belum marah, bahkan belum berbicara banyak. Dia hanya diam terjebak dalam labirin perasaan yang tidak bisa dia pahami sendiri. Nobel dan seluruh anak buah Candra berdiri di sisi kanan dan kiri ruangan, seperti penjaga kehormatan. Mereka semua mengenakan jas hitam, berdiri tegak dengan tatapan hormat pada peti mati. Sesekali mereka melirik Aldrich pemimpin baru mereka, menunggu perintah, menunggu arahan. Tapi Aldrich tidak memberikan
Aldrich melepaskan cekikannya. Tangannya gemetar hebat, mundur selangkah dari ranjang. Candra terbatuk-batuk keras, napasnya terengah-engah mencari oksigen. Monitor jantung masih berbunyi nyaring, namun detaknya mulai stabil kembali. Pintu ruangan terbanting terbuka. Nobel dan lima anak buah Candra menyerbu masuk dengan senjata terhunus. "TUAN RAYZEN! MUNDUR DARI TUAN CANDRA!" bentak Nobel, suaranya penuh otoritas dan ancaman. Aldrich berdiri membeku, tatapannya kosong menatap tangannya sendiri, tangan yang nyaris mengakhiri hidup sosok yang pernah dia anggap ayah. "Tangkap dia!" perintah Nobel. Dua anak buah langsung menyergap Aldrich, menarik tangannya ke belakang, mengunci pergerakannya. Aldrich tidak melawan. Dia membiarkan dirinya ditahan, seolah jiwa raganya telah meninggalkan tubuhnya. "BRENGSEK! KAMU MAU BUNUH TUAN CANDRA?!" seru salah satu anak buah, nyaris menghajarnya. "DIAM KAMU, HORMATI MAJIKANMU!" bentak Nobel mengangkat tangan, menghentikan kekerasan lebih lanjut


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen