Terjebak Dendam dan Gairah

Terjebak Dendam dan Gairah

last updateHuling Na-update : 2025-07-22
By:  QueenSheIn-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
8Mga Kabanata
9views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Banyak mengandung unsur 21+ secara eksplisit. Riri mendapati suaminya Kana, berselingkuh dengan Sabrina, sepupunya. Mereka berdua berhubungan intim di ranjang Riri dan Kana tepat di ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bahkan Riri belum pernah di sentuh Kana dari awal menikah karena perjodohan. Riri merasa patah hati, ia melarikan diri ke Bar, berrtemu pria bernama Damian. Riri mabuk, dan dia menyerahkan ke perawanannya pada pria itu. Tanpa Riri ketahui Damian memiliki dendam pada Kana. Damian pun sudah mengenal Riri sejak lama. Riri bimbang, hatinya sudah goyah sejak.malam bergairah dengan Damian. Ia merindukan sentuhan jemari Damiam di tubuhnya. Apakah Riri akan melanjutkan hubungannya dengan Damian? membalasa perselingkuhan Kana dengan hal yang sama. Berselingkuh dengan Damian.

view more

Kabanata 1

Kejutan ulang tahun pernikahan

Aluri Vasya Zain, yang akrab dipanggil Riri, sengaja pulang lebih awal untuk memberikan kejutan di hari ulang tahun pernikahannya. Lima tahun usia pernikahan mereka. Hari ini seharusnya menjadi momen manis. Ia ingin menyiapkan makan malam romantis, dengan salmon panggang, anggur putih, dan lilin-lilin kecil yang menghiasi meja makan.

Namun semuanya hancur hanya dalam hitungan detik.

Sepasang sepatu hak tinggi asing tergeletak rapi di depan pintu kamar. Tumit Riri melemah. Tangannya bergetar saat menyentuh kenop pintu. Hatinya menolak kenyataan, tapi telinganya sudah mendengar sesuatu yang tak bisa disangkal. Desahan lirih, tawa pelan seorang perempuan, kata-kata nakal terdengar jelas dari laki-laki yang sangat ia kenal suaranya

Kana. Suaminya.

Perlahan, Riri membuka pintu kamar. Di ranjang mereka, di atasnya, dua tubuh telanjang saling menyatu dalam gairah.

Sabrina.

Wanita yang sudah beberapa kali duduk di meja makan bersama mereka, sepupu jauh Kana yang sering berkunjung. Kini tubuh polos itu tengah memainkan pinggul di atas tubuh Kana. Desahan demi desahan terdengar jelas, hingga keduanya tak menyadari keberadaan Riri yang berdiri terpaku di ambang pintu.

Riri tak menjerit. Tidak juga menerobos masuk melabrak keduanya. Dia hanya berdiri. Membeku. Jiwanya seperti ditikam dari segala arah. Tapi wajahnya tak menunjukkan apa pun selain pucat dan sorot mata kosong.

Tanpa suara, ia berbalik. Kakinya nyaris lumpuh, tapi tubuhnya tahu jalan keluar. Ia berjalan. Hanya ponsel yang digenggamnya erat. Tanpa tas, tanpa dompet. Hanya tubuh yang gemetar dan napas yang menyayat dada.

Selama ini, Riri selalu bersabar atas pernikahan hasil perjodohan itu. Lima tahun bersama Kana, tak pernah menuntut apa-apa. Bahkan ketika tak sekalipun dia disentuh sebagai istri. Alasan "lelah" dari Kana selalu ia terima tanpa protes.

Dan ternyata, malam ini, dia mendapat jawabannya. Fakta yang di dapatkannya membuat luka yang dalam di hatinya.

Riri berdiri di trotoar, membiarkan lampu kota menyinari rambutnya yang basah diterpa hujan gerimis. Kepalanya terus memutar adegan ranjang yang bergoyang, suara bisik-bisik mesra yang seharusnya menjadi miliknya.

Langkahnya membawanya ke sebuah bar di sudut Jalan Dharmawangsa. Tempat itu remang, dipenuhi alunan jazz dan aroma alkohol yang tajam.

“Sendirian, Mbak?” tanya bartender, pria berambut cepak dengan kaus hitam bertuliskan DANGER.

Riri mengangguk pelan, duduk di kursi bar. “Yang paling cepat bikin mabuk apa?”

“Vodka, kalau niatnya begitu.”

Riri tersenyum getir. “Dua,” ucapnya.

Dua gelas vodka disodorkan ke hadapannya. Tanpa ragu, Riri langsung meneguk gelas pertama, lalu gelas kedua. Kepalanya terasa ringan. Dunia mulai berputar. Tapi rasanya lebih baik daripada kenyataan yang baru saja dihadapinya.

Tiba-tiba seorang pria duduk di kursi sebelahnya. Wajahnya tak asing. Dia pernah melihatnya di acara kantor Kana. Kalau tak salah, dia rekan kerja Kana. Namun Riri tak peduli.

“Lagi kabur dari dunia?” tanya pria itu ringan.

Riri menatap gelas kosongnya, lalu menjawab, “Lebih tepatnya, aku dibuang ke tong sampah.”

“Siapa yang tega membuangmu?” tanyanya lagi, sambil meneguk minuman pesanannya.

Riri tertawa pelan. Bukan karena tersanjung. Tapi karena pahit.

“Hari ini ulang tahun pernikahanku. Dan suamiku memberikan kejutan luar biasa, di atas ranjang,” katanya mulai melantur.

Pria itu terdiam sejenak, lalu kembali meneguk minumannya.

“Dan kamu lari ke sini?”

“Aku nggak lari. Aku menyelamatkan diri.”

“Semoga pelarianmu malam ini bisa membuatmu lebih baik. Kadang, kita cuma butuh didengar. Walaupun hanya didengarkan orang asing,” ucap pria itu, suaranya lembut.

Riri menatap mata pria itu, dengan pandangan yang cukup dalam untuk menyentuh sisi dirinya yang sedang retak.

“Aku nggak tahu siapa kamu, tapi terima kasih sudah menemaniku di sini.”

“Namaku Damian,” katanya, menyodorkan tangan.

Riri terdiam sejenak. Perlahan dia mengulurkan tangannya.

“Riri," ucapnya sambil terkekeh pelan.

Pria itu mengernyit penasaran. “Kenapa? Ada yang lucu?”

Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, menyusul tawa kecil yang terdengar getir.

“Nggak apa-apa. Entah kenapa, aku senang kamu di sini.”

Riri mengangkat tangan, memanggil bartender, memesan satu gelas vodka lagi. Bartender segera meracik pesanan. Damian hanya memperhatikan gerak-gerik Riri yang mulai mabuk.

Riri mulai terhuyung dari kursinya. Matanya setengah terbuka, mulutnya sedikit menggumamkan lagu yang tak jelas nadanya. Gelas vodka ketiga telah tandas. Kepalanya semakin ringan. Tapi hatinya? Masih berat. Riri hendak melangkah meninggalkan meja bar.

Bartender menatapnya ragu.

“Maaf mbak, bayar dulu?”

Riri mengerjap. Tangannya meraba-raba saku mantel cokelatnya. “Dompetku,” gumamnya. Lalu dia tertawa kecil, konyol. “Kayaknya ketinggalan. Kayaknya ketinggalan di kamar terkutuk tadi," ucapnya semakin melantur.

Damian melirik ke arah bartender, mengeluarkan dompetnya tanpa kata.

“Ini bayarannya. Kembaliannya ambil aja,” kata Damian tenang, menyerahkan uang.

Bartender mengangguk. “Terima kasih, Mas.”

Damian berdiri, lalu meraih bahu Riri dengan lembut. “Ayo, aku antar pulang.”

“Pulang ke mana?” gumam Riri. “Rumah itu bukan rumahku lagi...”

“Terserah kamu. Yang penting nggak tidur di lantai bar,” ucap Damian, membantu Riri berdiri, juga meraih ponsel Riri yang tergeletak di meja bar.

Langkah mereka pelan menyusuri trotoar malam. Damian dengan sabar menuntun tubuh Riri yang limbung menuju mobilnya.

Damian membuka pintu penumpang. Riri masuk dengan gerakan pelan. Tapi saat Damian hendak menutup pintu, tangan Riri menarik pergelangan tangannya.

“Jangan pergi,” bisik Riri, suaranya nyaris tak terdengar.

Damian menunduk. “Aku nggak pergi. Aku cuma mau—”

Kalimatnya terputus. Mata Riri yang memerah menatap langsung ke dalam mata Damian.

Tanpa aba-aba, bibir Riri menabrak bibirnya. Kasar. Terburu-buru. Penuh rasa sakit yang tak bisa lagi disembunyikan.

Itu bukan ciuman yang lembut, tapi jeritan rasa sakit dalam bentuk lain.

Damian tertegun. Sesaat ia membeku, tapi tubuhnya mengenali luka itu. Luka yang serupa pernah ia rasakan dulu dan ia tahu, ia tak bisa menolaknya begitu saja.

Riri menarik napas di sela ciuman mereka. Tangannya bergetar saat menggenggam erat kerah Damian, seolah memohonnya agar jangan pergi, jangan meninggalkannya.

Damian memejamkan mata, membiarkan bibir mereka menyatu dalam gelombang emosi yang tak bisa dihentikan. Tapi kemudian, perlahan, ia memegang wajah Riri dengan kedua tangannya. Jempolnya menyapu pipi Riri yang basah entah oleh hujan atau air mata.

“Riri…” gumamnya lirih. Suaranya serak.

Ia menarik diri, memastikan Riri sadar dengan apa yang dilakukannya

“Jangan pancing aku. Aku tak akan bisa menahan diri.”

Namun, Riri hanya menatapnya tanpa kata. Lalu pelan, dia menyandarkan kepalanya di dada Damian. Napasnya berat. Tangannya mencengkeram jaket Damian, seperti anak kecil yang takut ditinggalkan.

“Tolong…” bisiknya lirih, nyaris seperti isakan. “Aku capek. Aku ingin melepaskan rasa sesak ini. Apa aku juga tak menarik di matamu?”

Damian memejamkan mata. Kepalanya bersandar pada rambut Riri yang basah. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Riri lagi lebih dalam

“Kamu yang memulai, Riri,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku tak akan menghentikannya. Bahkan meski nanti kamu menyesalinya dan memohon agar aku berhenti.”

Riri menatapnya dengan mata penuh air, tapi di balik air itu. Ia meyakinkan Damian, jika ia pun menginginkannya.

“Aku nggak akan menyesal,” ucapnya. Kembali menempelkan bibir tipisnya di bibir Damian.

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
8 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status