“Apa kau membutuhkan sesuatu, Relin?” tanya Kamila ketika melihat wanita itu keluar dari kamar mandi. Relin tersenyum tipis, ia tampak segar dan sehat sekarang. “Tidak ada Kamila, Maaf jika saya merepotkanmu, ya?” Kamila menggeleng pelan, lalu melangkah membantu Relin menuju kasurnya. Tapi langsung ditolak oleh wanita itu. “Saya bisa sendiri, Kamila. Kau duduk saja, ada hal yang ingin saya bicarakan.” Kamila mengalah, ia mengambil duduk pada kursi yang terdapat di samping kasur. “Kau bahagia dengan pernikahanmu bersama Aron?” tanya Relin seraya merebahkan tubuhnya. Kamila yang ditanya hal seperti itu cukup tertegun beberapa saat, sebelum kembali menguasai dirinya. “Tentu saja, Relin. mengapa bertanya hal demikian?” Relin berdehem sejenak, lalu melemparkan senyum tipis. “Saya bahagia mendengarnya, saya pikir Aron memperlakukanmu buruk, mengingat saat malam setelah akad dia memaksakan kehendaknya padamu.” Relin mengelus punggung tangan Kamila, bak seorang kakak yang peduli pada adi
Aron melangkah menuju ruangannya, tapi ia dicegat oleh seorang wanita, pria itu mengerutkan kening. Tak ada yang berani mendekat selama ini padanya, apalagi para mahasiswa di kampus ini. “Selamat siang, Pak,” sapa wanita itu. Memang jika di area kampus, panggilan Aron berubah. Ia melarang keras semua orang memanggilnya ‘tuan’, walau ia arogan dan tak pernah mau kalah, nyatanya Aron masih bisa menempatkan diri."Selamat siang, Pak.” Wanita itu mengulang kembali kalimatnya, keberaniannya yang tadi meluap-luap seketika menciut kala menatap netra tajam di depannya. “Ada apa?” jawab Aron serak.”Be–begini, Pak. Saya teman sepermainannya Kamila, dan saya tahu jika Anda sudah menjadikannya istri. Dikarenakan beritanya sudah meluas di kampung saya, tepat ketika Anda membawanya pagi itu.” Wanita itu meremas erat tali ranselnya, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ekspresi Aron terlihat mendingin, sepertinya ada yang ia lewatkan. “Apa beritanya hanya sampai di kampungmu saja? Dan te
“Selamat pagi, Aron.” Aron langsung bangun dari duduknya. “Selamat pagi juga, Paman. Silahkan duduk.” Pria paruh baya itu tersenyum lembut, lalu meneliti keadaan sekitar yang tampak sepi. “Ayah dan Ibumu di mana?” “Sedang bekerja,” jawab Aron datar, memang susah sekali mengubah intonasi nadanya. “Ah, begitu.” Pria paruh baya itu kembali melihat ke arah Aron. “Apa putriku menyusahkanmu?” “Tidak, dan mungkin besok dia bisa kembali ke kediamannya karena kondisinya sudah membaik,” balas Aron seadanya. “Terima kasih telah menjaganya, Paman sangat berhutang banyak padamu.” Farzan, ayah Relin tersenyum ramah. “Dan dari beberapa berita yang Paman dengar, kau membeli perkebunan bunga, apakah itu benar?” “Benar.” Singkat padat dan jelas, Farzan sudah terbiasa dengan gaya bicara serta sikap dingin teman masa kecil putrinya ini—ralat mantan kekasih sang putri. Tapi disitulah letak menariknya seorang Aron Dewangga, pria ini tak pernah berbasa-basi dan selalu to the point, tak seperti yang
“Kau sungguh baik-baik saja?” tanya Aron serius.“Sungguh, Mas. Ini hanya luka gores, bukan masalah besar. Dan Maaf telah membuat semuanya Khawatir,” balas Panji dari seberang sana.Aron menghembuskan napas lega, lalu melihat ke Arah Relin yang sedang ditenangkan oleh Kamila. “Baiklah, saya tutup dulu jika begitu.”“Mas, Aron. Katakan pada istriku untuk jangan khawatir, dan terima kasih sudah menjaganya untukku. Selamat malam, Mas.” Sambungan telepon terputus, Aron kini mengalihkan taensinya pada Relin, lalu mengambil duduk di samping kiri wanita itu. “Sudah, jangan bersedih lagi. Kau mendengarnya, bukan? Jika suamimu baik-baik saja.” Rlin masih menangis pilu, ia bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun kala Panji menyapanya saat ditelepon. Alhasil ia hanya bisa menangis di dalam pelukan Kamila. “Ak–aku … aku takut sekali, Aron. Api pikir Mas Panji ….” Relin tak bisa melanjutkan kalimatnya, wanita itu langsung memeluk Aron erat.Kamila yang melihat itu segera memalingkan wajah,
Terhitung sudah dua bulan lamanya pernikahannya dengan Aron, dan tak ada perubahan berarti. Aron sangat sibuk mengurusi rumah sakit serta perkebunan miliknya, terkadang mereka hanya bertemu saat Kamila menyiapkan sarapan. Ia juga sudah kembali tinggal di kediamannya, tapi terkadang Kamila harus bersiap-siap bersandiwara tatkala Relin datang berkunjung. “Kau! Cepat ke sini!” Kamila bergegas ketika melihat ibu mertuanya yang berkacak pinggang di pintu dapur. “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Dona menunjuk pecahan guci yang seharga mobil itu. “Apa yang kau lakukan dengan guci kesayangan saya,” tekan Dona geram, “katakan!” Kamila berjengit kaget, belum lagi para pelayan yang terlihat penasaran dengan apa yang terjadi, mereka mulai mengintip—tak ingin melewatkan tontonan gratis sang nyonya bersama menantunya. “Sa–saya tidak pernah keluar dari dapur, Nyonya, Dan bersih-bersih bukan bagian dari tugas saya.” Kamila memilin kedua tangannya gugup, berdoa dalam hati semoga tak ada lagi
Kamila membuka matanya perlahan, seketika itu juga tubuhnya limbung. Ia berpegangan pada tembok di belakangnya dengan tatapan kosong. “Du–dua garis.” Napasnya tercekat, tubuhnya kian bergetar hebat. “Ak–aku hamil ….”Kamila mulai terisak, ia begitu shock menerima kenyataan yang ada. Bukan, bukannya tak menerima hai ini. Tapi ia hanya tak menyangka jika semua yang Aron lakukan padanya membuahkan hasil, Kamila tak pernah menyangka di usianya ke sembilan belas tahun ini akan menjadi seorang ibu.Wanita itu menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ada perasaan haru serta ketakutan yang ia rasa, di satu sisi ia sangat bahagia menyambut kehadiran sang buah hati, tapi di sisi lain Kamila juga takut jika Aron tahu mengenai perihal ini.Di dalam perjanjian yang Aron berikan, Kamila memang harus melahirkan seorang keturunan untuknya. Jika tidak, ia akan di depak dari kehidupan pria itu. Tapi di sisi lain, ketika ia sudah menyelesaikan kewajibannya sebagai
Aron memijat pelipisnya, dari semalam ia kurang tidur karena mengurus perkebunan apel yang akan panen ini, tapi sudah hangus dilalap si jago merah. Dan yang membuatnya marah karena ada orang yang dengan sengaja membakarnya, terbukti oleh korek serta bau bensin yang menyengat, belum lagi bekas jerigen yang menumpuk. Selama ini ia memang banyak saingan, tapi tak ada yang berani mengusik keluarganya. Aron menatap ketiga penjaga kebunnya yang menduk kaku. “Pada malam kejadian ini terjadi, siap yang berjaga?” Mereka bertiga saling tatap satu sama lain, lalu salah satu diantara mereka mengangkat tangan. “Saya, Tuan,” jawab pria berbadan kekar dengan topi yang menutupi kepala plontosnya. “Apa kau melihat siapa pelakunya? Atau sebelum kejadian itu terjadi ada hal yang mencurigakan?” tanya Aron serius, aura dominan melingkupinya. Membuat siapa pun merasa terintimidasi. “Ada Tuan Arya serta Tuan Farzan, mereka berkunjung ke sini sekitar pukul lima sore, tapi itu pun hanya menikmati coffee.”
Kamila memakan sate di tangannya dengan air mata berjatuhan, ia begitu sakit hati mendengar kalimat pedas yang Aron layangkan padanya. Setelah mengatakan hal tersebut, Aron berlalu pergi ke kamarnya. Dan selang sepuluh menit kemudian, Bimo datang membawakan pesanan Kamila.Pria itu juga sempat bertanya mengapa matanya membengkak, dan Kamila hanya menggeleng sembari mengucapkan terima kasih. Ia tak tahu mengapa secengeng ini, padahal sebelumnya apa pun kalimat hinaan yang Aron lontrakan, ia tak akan ambil hati. Keesokan harinya, ia terbangun dengan kepala berdenyut serta rasa mual tak tertahankan, dengan cepat Kamila menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan berwarna kuning, seperti kemarin. Ia terduduk dengan tubuh terkulai lemas, tetapi suara gedoran di pintu kamarnya membuat Kamila tersentak. Dengan susah payah ia bangkit serta membasuh wajah terlebih dahulu agar terlihat segar. “Mentang-mentang kau tinggal di rumah ini, berasa menjadi nyonya, huh? Cepat ke dapur, sebentar lagi Tu