"Pelacur?" Rose menggigil mendengar kata itu.
"Mungkin … lebih baik aku meninggalkan dirimu dengan pria itu. Ah! Betapa bodohnya aku." Robert terkekeh sinis. "Jika dia memilikimu, maka aku akan bebas mendapatkan Kenzie, bukan?"
Rose melotot mendengar perkataan Robert. Dia heran bagaimana pria itu bisa mengucapkan hal yang begitu licik. Merampas Kenzie dengan menggunakan taktik keji seperti itu, menyakinkan Rose jika dokter showbizz ini bukanlah pria baik. Dia lebih tidak pantas lagi memiliki Kenzie.
"Aku rasa hargamu rumayan mahal." Robert meneliti Rose dari atas ke bawah. "Apalagi jika kau masih perawan." Ucapan penuh penghinaan itu membuat Rose semakin tersinggung.
"Kau!" Rose hendak menampar Robert, tetapi dengan cepat pria itu menangkap tangannya dan mencengkeram kuat. Mereka berdua berdiri bagaikan musuh bebuyutan yang siap untuk saling menghancurkan.
Dia tidak menyangka pria ini bisa berbicara keji seperti itu. Menjual diri
Rose mengerjapkan matanya yang masih terasa sukar untuk dibuka. Perempuan itu memegangi kepalanya yang terasa sangat pening dan berusaha terjaga dari tidur panjangnya. Wanita itu merasakan tubuhnya terasa sedikit sakit di beberapa bagian. Setelah beberapa saat Rose akhirnya bisa membuka matanya lebar-lebar dan dia menatap heran ke arah langit-langit kamar dengan lampu benderang yang tak pernah dia miliki. Ketika kesadarannya pulih wanita itu tersentak melihat ruangan mewah di mana dirinya berbaring. "Di mana aku?" Rose segera menegakkan tubuhnya dan duduk di pinggiran tempat tidur. "Kamar ini … aku tidak mengenalnya." Rose berdiri dan berpegangan pada nakas di sampingnya. Kepalanya masih berdenyut saat dia paksaan untuk berdiri dengan tiba-tiba. Wanita muda dan cantik itu kemudian melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan berusaha mencari jejak akan keberadaannya. Kamar ini hampir setengah kali ukuran luas daripada apartemen yang di
Dua puluh empat jam sudah dirinya terkurung di dalam kamar. Rose nyaris tidak dapat memejamkan matanya, berjaga di sebelah pintu berharap penutup ruangan itu akan terbuka. Dia memasang pendengarannya baik-baik, berjuang melawan kantuk.Hampir saja matanya tertutup dan alam mimpi membawanya melayang pergi, ketika dia terdengar sayup-sayup suara di luar sana. Dentuman dengan irama yang anggun beradu di lantai, menyakinkan Rose jika itu adalah sepatu berhak tinggi seorang wanita."Tolong!" teriak Rose sambil menggedor pintu. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa segera keluar dari kurungan."Tolong, keluarkan aku!" Rose terus membuat keributan agar siapapun di luar sana yang dia yakini bukan Robert bisa segera membuka pintu.Harapannya terkabul, dia bis
"Kantor polisi?" Rose tersentak kaget melihat Polisi Sebastian sudah berada di depan apartemennya."Hei, kenapa kau terlihat begitu tegang?" Senyuman ramah tersungging di wajah polisi berambut pirang itu.“Ah, Anda membuat saya khawatir.” Rose menghela napas lega saat melihat senyum ramah Polisi muda tersebut."Apakah kau hendak keluar?" Polisi tersebut melirik ke arah dalam apartemen saat Rose terlihat tidak berusaha mempersilahkannya dia untuk masuk."Aku … maafkan aku, Pak Sebastian--""Panggil aku Sebastian tanpa tambahan apapun."Rose hendak membantah, tetapi melihat keseriusan di balik kata-kata Polisi tersebut, Dia memilih untuk diam dan mengalah."Baiklah. Aku harus ke dinas sosial dan departemen imigrasi." Rose menutup pintu di belakangnya."Apakah ada sesuatu yang terjadi?" Sebastian berjalan menyejajari langkah Rose."Mereka membawa Kenzie dan Daddy.""Membawa?
"Aunt Rose!" tangis Kenzie pecah dengan keras.Bocah kecil itu memberontak dari gendingan petugas hingga mereka terpaksa menurunkan Kenzie dari gendongan. Bocah tampan itu berlari dengan cepat berhamburan ke dalam pelukan Rose.Tangis Rose dan Kenzie pecah dengan keras, menggugah hati setiap orang yang melihatnya. Rose memperkuat pelukannya pada Kenzie dengan erat. Dia mencium kening dan pipi bocah itu penuh rasa kasih sayang sekaligus rasa bersalah."Aunt Rose, Kenzie takut," ujar bocah itu di sela-sela isak tangisnya."Aunt di sini, Sayang, Aunt di sini.""Ayo pulang, Aunt. Mereka banyak sekali, kita harus menyelamatkan Grandpa juga," bisik Kenzie takut-takut sambil menatap ke arah orang banyak yang berseragam."Oh, Kenzie." Rose mendesah sedih."Waktu Anda sudah habis, Nona." Seorang petugas berjalan mendekati mereka.Rose menatap sedih dengan tetap memeluk bocah itu dengan erat. Waktu sepuluh menit yang mereka b
"Surat untuk Anda, Nona." Petugas tersebut pergi setelah dia menyerahkan surat untuk Rose.Gadis itu dengan keadaan fisik yang tidak terurus, setelah semalaman menangis dan nyaris tidak dapat memejamkan mata, berdiri dengan tubuh lemas dan tangan gemetaran menerima amplop tersebut.Rose membuka kertas segi empat berwarna coklat itu dan membaca surat dari dinas sosial. Tangannya gemetaran dan tubuhnya seketika tersungkur ke lantai yang dingin. Pandangan mata Rose terlihat hampa, tatapan kosong terarah lurus seakan hendak menembus tembok di depannya.Rose termangu untuk beberapa saat dalam pusaran keheningan yang dia ciptakan. Jiwa wanita itu terlihat sangat hampa. Dia syok menerima kabar yang baru saja dia baca. Sikap gadis cantik keturunan Asia dan Mexico itu membuat Dulce seorang imigran dari Chile menjadi resah."Apa yang terjadi Rose?" Dari arah dapur Dulce bergegas menghampiri Rose yang duduk di lantai.Dulce yang tidak mendapatkan jawaba
Rose berdiri di depan pagar besi yang menjulang tinggi di hadapannya. Barisan besi yang menutup rapat rumah megah di dalamnya, seakan tersenyum meremehkannya.Gadis itu tidak menghiraukan teriknya sinar mentari yang membakar rambut indah dan kulit halusnya. Dia mencari bel dan berhasil menemukan interkom untuk berkomunikasi. Rose memencet tombol dan menunggu jawaban."Siapa Anda?" tanya suara pria dari balik intercom."Aku, Rose, bisakah aku bertemu dengan tuan Robert miller?""Apakah Anda ada janji?"Pertanyaan yang sama kembali terucap membuat Rose membatin seberapa sibuknya seorang Robert hingga semua orang harus membuat janji jika bertemu dengannya. Sedangkan pria itu beberapa kali datang mengganggunya."Tidak.""Maaf, Tuan muda tidak ada di rumah.""Tunggu! Ini penting, tolong biarkan aku bertemu Robert." Rose berusaha mendesak siapapun yang berbicara dengannya dari balik gerbang agar segera mempertemukan denga
Robert menatap Rose yang sudah tertidur di atas tempat tidur. Kamar yang sama yang dulu pernah dia tempati dengan Ruby, di mana pertama kali pula mereka berhubungan mesra. Pria itu terpaku ketika sesaat seakan melihat kilasan masa lalu.Pelayan wanita di rumahnya, berhasil membantu setelah sedikit memaksa Rose untuk membersihkan diri dan memberikan segelas teh hangat, sebelum wanita itu akhirnya jatuh tertidur. Rasa lelah yang dia rasakan membuatnya terlelap, hingga tak merasakan jarum infus yang ditusukkan oleh Robert.Lelaki tampan bermata biru itu menelusuri wajah pucat Rose, yang tidak melunturkan kecantikan alami wajah tanpa polesan itu. Dia saat ini bisa melihat dengan jelas perbedaan besar antara Ruby dan Rose, bukan hanya dari fisik melainkan juga dari keteguhan sikap."Seandainya aku lebih dulu mengenalmu," gumam Robert tanpa sadar.Pria itu tersentak dengan ucapan yang meluncur dari bibir tipisnya. Dia merasa heran dengan apa yang diserukan dari
Rose terkejut ketika dia melihat tubuhnya berbaring dengan jarum infus di pergelangan tangannya. Dia menatap ke arah tetesan cairan yang mengalir dari selang ke dalam tubuhnya. Pandangannya menelusuri ruangan yang terasa asing. Samar dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Saat dia berpaling ke arah samping dia semakin terkejut melihat Robert duduk bersandar di sofa dalam keadaan tertidur. Pria itu terlihat tampan ketika tertidur tanpa dosa. Namun, hati Rose tidak sedikit pun tergerak untuk memandangnya. Rose beranjak dari posisi berbaringnya, dia duduk di pinggiran tempat tidur, mencari alas kaki. Rose berjalan dengan membawa penyangga infusnya. Gadis itu sesaat berdiri di depan Robert. Ada keinginan untuk menggugah tidur pria itu dan mempertanyakan apa yang telah dia perbuat untuk menyelamatkan Kenzie, tetapi keinginan itu dia abaikan dan memilih untuk membuka pintu kamar. "Ini, bukan rumah sakit?" Rose terkejut ketika melihat ruangan luas