Share

BAB 6 - How to Kiss Your Wife for The First Time

“Kalian mending pulang aja.”

Ipang menoleh kepada Julie yang duduk di sampingnya. Lagi-lagi, perempuan itu mengunyah sambil tertidur. Namun, sepertinya baik Janu dan Septa serta istri mereka, sudah biasa dengan pemandangan tersebut.

“Iya, yang nginep di sini sekarang Septa kok,” kata Janu yang menambahkan ucapan Septa sebelumnya. Tatapan Janu kemudian beralih pada kaos Ipang yang punya sebuah pulau baru—yang tentu saja bukan motif asli kaos tersebut.

“Tahan juga kamu diingusin Julie.” Janu tak bisa menahan tawanya. “Aku sama Septa udah biasa sama situasi begitu. Jadi saranku, ke mana pun kamu pergi, mending kamu bawa baju ganti.”

Septa ikut mengangguk. “Julie kalau nangis—mau itu nangisin Papa atau ikan mati pun, sama-sama heboh. Air mata sama ingusnya di mana-mana.”

Anak kedua Rayyan itu bergidik pelan, otomatis langsung mendapat pukulan ringan dari Felia, istrinya.

“Giliran anaknya tidur aja, diejek terus,” tegur Felia yang hanya direspons kekehan oleh Septa.

Thanks buat sarannya,” sahut Ipang pada dua orang lelaki di hadapannya.

Operasi Rayyan berlangsung lancar dan lelaki paruh baya itu sudah keluar dari ruang operasi. Ibu Julie sudah diantar pulang oleh sopir setelah berdebat panjang dengan ketiga anaknya—yang ujung-ujungnya kalah dan akhirnya ia mengalah dengan pulang ke rumah.

Kali ini giliran Septa yang menginap di rumah sakit, istrinya akan pulang sendiri dengan sopir yang sudah menunggu mereka. Saat ini mereka berenam tengah makan malam di kafetaria rumah sakit setelah melewati hari yang panjang.

Ipang menoleh ke sampingnya, di mana Julie duduk dan lagi-lagi seperti déjà vu, Julie yang pipi kanannya menggembung karena masih menyimpan makanannya, mulai merunduk ke bawah dengan perlahan.

Spontan, Ipang merangkul bahu Julie supaya perempuan itu tidak menghantam kepalanya ke piring berisi nasi goreng. Lelaki itu mengatur agar kepala Julie bersandar ke bahunya dengan hati-hati dan tanpa ia sadari, dua pasangan di hadapannya memperhatikan dengan tertarik.

“Jules,” panggil Ipang sambil menyentuh pipi Julie yang menggembung. “Bangun, kunyah dan telen dulu makanannya, abis ini kita pulang.”

“Hmmm.”

Ipang bisa merasakan pipi Julie mulai bergerak meskipun ia jamin, kedua mata Julie masih terpejam. Lelaki itu menarik piring Julie agar menjauh dan tidak akan jadi sasaran keningnya lagi.

“Kayak ngasuh anak kecil ya, Pang?”

Pertanyaan Janu hanya dijawab dengan ringisan oleh Ipang. Tanpa kata pun, empat orang lainnya di meja itu tahu apa jawaban Ipang yang sesungguhnya.

Felia menepuk bahu Ipang, memberinya semangat untuk mengasuh Julie.

“Bisa pulang sendiri kan?” tanya Ivanka pada Ipang. “Atau kamu juga ngantuk? Minta sopir aja buat jemput atau naik taksi.”

“Aku nggak ngantuk kok, Mbak.” Lagi-lagi Ipang harus memapah Julie yang benar-benar hampir tertidur meskipun kini sudah berdiri usai menghabiskan sisa makanan di pipinya.

“Pengen cepet sampai aja biar dia nggak tidur di sembarang tempat gini.”

“Yah… Julie emang nggak bisa dikontrol deh kalau udah tidur.” Ivanka tersenyum penuh simpati pada Ipang. “Hati-hati di jalan ya, Pang. Titip Julie ya.”

“Iya, Mbak.”

Mereka berpisah di area parkir dan seperti yang sudah pernah dilakukan Ipang sebelumnya, lelaki itu dengan telaten mendudukkan Julie yang sudah tertidur ke dalam mobilnya.

Setelah memakaikan seat belt Julie, Ipang bergegas mengemudikan mobilnya. Sesekali ia melirik ke arah Julie yang sama sekali tak terbangun. Lelaki itu mencoba menyalakan musik di mobilnya dengan volume yang agak kecil, tapi Julie juga tak terusik sama sekali.

Rasa-rasanya bantal kepala babi itu jadi akrab dengan Julie.

Setibanya di rumah, rasanya Ipang sudah tidak memiliki tenaga lagi. Ia kembali memapah Julie dan memutuskan untuk berhenti di ruang tengah sejenak.

Lelaki itu mendudukkan Juile yang sudah tertidur di single sofa dan dengan sisa tenaganya yang tak seberapa, Ipang mengubah sofa bed-nya agar bisa dijadikan tempat berbaring sejenak.

“Toh udah pernah seranjang juga,” gumam Ipang sembari membaringkan tubuh Julie di sofa bed dengan pelan-pelan.

Usai memastikan Julie berbaring dengan aman, Ipang ikut merebahkan diri di sofa bed tersebut dan berdampingan dengan Julie.

“Capek banget ngangkat kamu ke mana-mana, Jules. Besok-besok kalau kamu ketiduran lagi, aku taruh di troli supermarket aja biar tinggal dorong,” gerutu Ipang yang langsung memejamkan matanya.

“Nanti dulu naik ke atasnya,” kata Ipang lagi yang sebenarnya sadar kalau akhir-akhir ini ia jadi tukang menggerutu dan suka bicara sendiri. “Aku udah nggak ada tenaga lagi.”

Julie tak menjawab dan tak butuh waktu lama sampai Ipang ikut memejamkan mata, lalu tertidur.

Satu jam terlewati begitu saja hingga Julie yang merasa pegal karena sofa bed tersebut tidak senyaman ranjangnya, mulai terbangun dan mengerjapkan mata dengan perlahan.

Julie menatap ke sekitarnya dan mendapati kalau ia sudah tidak berada di kafetaria rumah sakit—tempat yang terakhir ia ingat.

“Duh, ketiduran lagi,” keluhnya seraya mengusap wajah dengan kasar. Julie memiringkan tubuhnya dan terlonjak kaget ketika melihat siapa yang tidur di sebelahnya. “Astaga! Ngagetin aja sih!”

Julie mengerucutkan bibirnya saat menyadari kalau untuk kedua kalinya, ia tidur bersama dengan Ipang.

“Kenapa sih nggak bawa aku ke kamar? Emangnya aku lebih berat dari karung beras ya?” Lagi-lagi Julie mengeluh sendiri.

Perempuan itu bangun dan duduk dengan rambut yang berantakan seperti sarang burung (kalau kata kedua abangnya). Tangannya bergerak asal untuk merapikan rambutnya, meskipun ia tahu kalau usahanya adalah sebuah kesia-siaan.

Tadinya Julie sudah ingin beranjak dari posisinya, lalu lanjut naik ke kamarnya di lantai dua. Namun, Julie sadar kalau ini pertama kalinya ia bisa mengamati Ipang yang tengah tertidur dan… mungkin tidak apa-apa kalau ia menetap agak lama di sini.

“Dasar ganteng-ganteng rese,” ejek Julie pada Ipang dengan pelan.

Ketika tidak ada reaksi sama sekali dari Ipang yang tertidur dengan pulas, Julie kembali melanjutkan tindakan cupunya—mengejek Ipang yang tak sadar.

Penasaran, Julie mencondongkan tubuhnya agak lebih mendekat pada wajah Ipang. Dari jarak sedekat ini, ia menyadari kalau alis Ipang cukup tebal dan bentuknya sudah bagus.

Padahal Julie berani bertaruh alis Ipang adalah alis asli, bukan hasil sulam alis seperti yang banyak orang lakukan saat ini.

“Alis bagus, muka mulus, kelakuan doang yang kadang minus,” gumam Julie lagi. “Nama sih Pangeran, tapi kelakuan malah kayak pangeran kodok.”

Julie mendekatkan telunjuknya ke rahang Ipang yang masih bersih tanpa cambang atau apa pun itu. Saat hampir menyentuh rahang lelaki berstatus suaminya itu, Julie terpaku pada kelopak mata Ipang yang perlahan bergerak dan akhirnya terbuka.

“Jules?” gumam Ipang saat mengenali siapa yang tengah mengamatinya seperti orang yang tengah mengamati amoeba melalui mikroskop. “Kenapa?” tanya Ipang lagi. “Kamu lagi mengucapkan terima kasih ke Tuhan atas kegantenganku ya?”

“Enak aja! Dasar kepedean!”

Julie melotot dan langsung memancing tawa Ipang yang agak serak karena baru bangun tidur.

Ipang pun bergerak untuk bangkit dari posisinya. Namun, hal itu tidak diantisipasi oleh Julie yang posisinya masih agak merunduk di dekat wajah Ipang.

“Duh—”

Perempuan itu terkejut, tapi sentuhan di bibirnya menelan semua kata-kata yang tadinya refleks ingin ia ucapkan.

Setelah beberapa waktu menikah, itulah ciuman pertama mereka.

***

“Yang nyuri siapa, yang kabur siapa,” gerutu Julie sambil mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit.

Memang akan mencurigakan kalau ia datang sepagi ini ke rumah sakit, jadi ia akan mencari coffee shop di sekitar rumah sakit yang masih buka dan sarapan di sana.

Biasanya di sekitar rumah sakit ada coffee shop atau restoran yang buka 24 jam dan ke sanalah tujuan Julie sekarang.

Julie tidak akan sanggup sarapan bersama dengan Ipang yang semalam mencuri ciuman darinya.

“Tapi itu nempel doang, Jules,” kata Julie pada dirinya sendiri. “Bukan ciuman kali ya—tapi tetep aja! Enak banget hidupnya bisa santai gitu aja, sedangkan aku udah kayak orang gila ngoceh sendirian di mobil.”

Julie menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak bertingkah seperti remaja baru puber

Kejadian semalam masih membekas di ingatan Julie, bagaimana Ipang tiba-tiba bangun dan membuat bibir mereka bertemu selama beberapa detik. Tanpa Julie inginkan, ia bahkan masih mengingat tekstur bibir Ipang yang tebal tapi permukaannya kering ketika menyentuh bibirnya.

Setelah kecupan singkat itu, Julie langsung menjauh dan dengan santainya Ipang mengucapkan selamat malam lalu pamit lebih dulu ke kamarnya.

Sambil memikirkan tentang kenapa ia harus bersikap canggung seperti ini, Julie akhirnya memberhentikan mobilnya di depan sebuah coffee shop dan masuk ke sana untuk memesan sarapan.

“Mbak, kayaknya ponsel Mbak bunyi deh,” kata pegawai coffee shop sembari mengembalikan kartu debit milik Julie.

Julie mengambil ponselnya dan sembari mengucapkan terima kasih kepada pegawai itu, ia menggeser tombol hijau di layar ponselnya tanpa melihat siapa yang menelepon.

“Jules, kamu ke mana sepagi ini?”

Suara Ipang yang seperti orang bangun tidur itu membuat Julie duduk dengan kaku di kursinya yang menghadap jendela.

“Cari makan,” jawab Julie asal.

“Kenapa nggak makan di rumah? Bosen sama capcay?”

“Ipang,” panggil Julie dengan takut-takut. “Kamu kerasukan atau lagi ngigo? Kok tumben nanyain hal itu sih?”

“Astaga, Jules—”

“Udah ya, makananku udah dateng,” sela Julie sebelum Ipang mengomelinya.

“Soal semalam—”

“BYE!”

Julie mengembuskan napasnya dan mengelus dadanya yang debarannya sangat keras. Padahal kejadian semalam itu bukan ciuman pertamanya seumur hidup ini, tapi….

Ini Ipang, kakak sahabatnya sekaligus suami yang menggantikan Raveno di hari pernikahannya. Mereka memang tidak pernah membahas pembatasan skinship di antara mereka, tapi bukan berarti Julie sudah mengantisipasi hal seperti ini sejak awal.

“Ah, pusing,” gerutu Julie yang lebih memilih memakan nasi goreng pesanannya yang baru datang.

Setelah sarapan dan mengulur waktu, Julie kembali mengemudikan mobilnya ke rumah sakit. Ia bertemu dengan Septa yang baru selesai sarapan dan Janu yang juga baru datang, kedua kakaknya bertanya kenapa Ipang tak ikut bersama Julie.

“Kerja dong, Bang.” Julie menahan diri untuk tidak meringis saat berdusta di depan kedua kakaknya. “Lagi sibuk, makanya nggak bisa ke sini.”

Ia sangat jarang berbohong kepada kakaknya, jadi Julie sendiri ragu apakah kakaknya benar-benar percaya pada apa yang tadi ia katakan atau hanya menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut.

Rasanya Julie baru bisa bernapas lega ketika satu jam setelahnya ia pamit pada kedua kakaknya untuk segera pergi bekerja.

Setibanya di salon, Julie langsung menyibukkan diri dengan me-review laporan yang baru diterima olehnya di e-mail dan mengerjakan berbagai pekerjaannya seperti biasa.

Julie pikir hidupnya akan damai sepulangnya dari rumah sakit tadi, tapi semua itu hanya khayalan ketika ia turun ke lantai satu dan menemukan sosok yang tidur dengan Raveno, ada di sana.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Julie begitu ia menghampiri Kina, perempuan yang tidur dengan mantan calon suaminya yang kini menghilang, Raveno.

Kina terkejut karena belum sempat ia menanyakan kehadiran Julie pada pegawai salon tersebut, Julie malah menghampirinya duluan. “Aku nyari kamu, Jules.”

Julie melirik ke sekitarnya dan mengajak Kina pindah ke luar. Mereka berdiri berhadapan di sudut teras dan Julie mengamati Kina dengan intens.

“Ada apa lagi kamu nyari aku?” Julie melipat kedua tangannya di dada.

Kina adalah sahabat Raveno dan setahu Julie, dulu Kina pun punya kekasih.

Awalnya Julie sempat skeptis dengan persahabatan antara perempuan dan laki-laki, tapi melihat Raveno selama lima tahun benar-benar tak berpaling darinya dan Kina seperti punya dunianya sendiri dengan pacarnya, membuat Julie akhirnya percaya kalau mereka hanya sahabat.

Tapi siapa sangka ternyata keduanya juga bersahabat di tempat tidur?

“Kamu tahu di mana Raveno?”

“Kalau aku tahu, kamu pasti udah denger kabarnya masuk rumah sakit atau pemakaman,” jawab Julie dengan sinis. “Kupikir dia bakal balik ke ranjangmu setelah kabur di hari pernikahan kami.”

Kina menggigit bibirnya. “Dia marah karena aku kasih tahu kamu soal kami.”

“Dasar aneh. Dia yang berbuat salah tapi dia yang marah juga begitu aibnya ditunjukkin.” Julie mendecakkan lidahnya. “Aku nggak punya banyak waktu dan aku kasih tahu kamu aja, aku nggak tahu dia di mana.”

Semakin lama melihat Kina semakin jelas ingatan tentang hari di mana Raveno kabur dari hari pernikahan mereka, dan hal itu bukan hal yang ingin selalu diingat Julie. Saat ia akan berbalik, Kina malah menahan tangannya dan membuat Julie semakin kesal.

“Apaan lagi sih, Ki—”

“Aku hamil anaknya Raveno, Jules.”

“H-hah?”

“Aku hamil anak dia. Pacarku udah mutusin aku beberapa hari sebelum kamu dan Raveno akan menikah, karena dia nggak mau tanggung jawab atas kehamilanku yang jelas-jelas bukan anaknya,” ulang Kina dengan susah payah.

“Makanya waktu itu aku nekat tunjukin video yang dia bikin ke kamu, supaya dia setidaknya mikir ulang buat nikahin kamu dan nelantarin aku. Tapi ternyata Raveno malah pergi entah ke mana.”

Dari sekian banyak skenario yang sudah ia pikirkan mengenai kaburnya Raveno, skenaro kalau Kina hamil anak lelaki itu merupakan salah satu di antaranya.

Tapi ketika kenyataannya memang seperti itu, Julie tak bisa mencegah rasa sakit itu di hatinya. Bagaimana bisa Raveno mengkhianatinya sampai seperti ini?

Berarti Raveno pergi bukan hanya karena skandalnya dibuka kepada Julie, tapi juga karena ingin lari dari tanggung jawabnya terhadap Kina dan anaknya.

Julie langsung menepis tangan Kina dari lengannya. “Raveno bukan urusanku lagi, Ki.”

“Jules—”

“Tolong, setelah ini kamu nggak perlu nyari aku lagi,” tegas Julie pada Kina yang balik menatapnya dengan putus asa. “Aku udah nggak ada hubungan lagi sama dia sejak kami batal menikah.”

“Tapi kalau dia bakal balik lagi, yang pertama dia cari pasti kamu, Jules.”

“Terus kenapa? Aku nggak punya kewajiban menyatukan kalian lagi. Hidupku nggak mudah setelah dia pergi begitu aja, jadi aku mohon dengan sangat, jangan tambah beban hidupku lagi.”

Kina masih berusaha menarik lengan Julie, ingin memohon pada perempuan itu agar mau membantunya mencari Raveno atau menghubunginya jika lelaki itu kembali. “Jules—”

Tapi suara bariton seseorang yang menahan bahu Kina, membuat Kina berhenti dan Julie berbalik untuk menatapnya dengan tak percaya.

“Kalau istri saya bilang nggak, bisa kan kamu nggak ngotot begini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status