Share

BAB 7 - Pertama Kali Merasakan Bibirnya

“Ipang?”

Ipang tak menyahut ketika Julie malah menyebut namanya. Yang ia lakukan justru mengamati sosok perempuan yang sekilas tadi ia dengar bernama Kina tersebut.

“Lebih baik kamu hargai kemauan istri saya,” tegas Ipang lagi.

Kina terlihat berpikir selama beberapa saat, tapi pada akhirnya ia menyerah dan pamit pada Julie dengan raut wajah yang sulit ditebak olehnya.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Julie begitu hanya mereka berdua yang ada di teras A Class, salon Julie yang selama beberapa tahun ini banyak dibicarakan orang dan menjadi salon paling sering dikunjungi di daerah Jakarta Selatan tersebut.

“Mau ketemu kamu,” jawab Ipang. “Apa aku nggak dipersilakan masuk? Aku pengen liat tempat kerja kamu.”

“Kalau udah liat, mau nambahin modal nggak?” tanya Julie balik dengan asal.

Tanpa menunggu jawaban Ipang, Julie melenggang masuk begitu saja ke salonnya. Ipang pun mengikuti sang istrinya masuk ke salon tersebut. Ini kali kedua Ipang datang ke sini, tapi kali pertamanya ia muncul bersama dengan Julie.

Para pegawai salon ini datang di hari pernikahan mereka, maka dari itu mereka langsung melotot kaget saat melihat siapa yang mengekori atasan mereka.

“Siang, semuanya,” sapa Ipang dengan ramah seperti biasa. Ia memang seperti itu, kadang bisa terlihat dingin dan jauh dari jangkauan bagi mereka yang baru pertama kali melihatnya, tapi saat sudah pernah bertemu dan mengobrol sekali dengannya, kesan itu akan hilang.

“Kamu bosen sama capcay di rumah?” tanya Ipang saat mereka menaiki tangga menuju lantai dua. “Kalau kamu nggak suka sarapan sama capcay, tinggal minta Mbak Widi masak yang lain aja.”

“Aku nggak bilang begitu kok.”

“Terus kenapa kamu pagi-pagi udah ngilang padahal biasanya bangun siang?” tuntut Ipang yang tak puas dengan jawaban Julie. “Apa karena semalam kita nggak sengaja ciuman?”

Decakan tak percaya yang terdengar dari segala penjuru arah A Class lantai tiga, membuat Julie menoleh dan melotot pada Ipang.

Tidak terlalu banyak orang di lantai tiga, tapi tetap saja Ipang yang bertanya tanpa mengecilkan volume suaranya membuat semua orang menoleh pada mereka dan terkesiap kaget.

Julie langsung melangkah dengan sangat cepat menuju ruangannya di lantai empat. Dengan langkahnya yang lebar, tentu bukan hal sulit bagi Ipang untuk menyusul Julie.

“Jules,” pangil Ipang lagi saat dengan cepat menyusul istrinya tersebut masuk ke sebuah ruangan sebelum Julie menutup pintunya. “Kenapa sih?”

Yang tak diketahui Ipang adalah perempuan itu tengah berpikir alasan logis apa yang membuat Ipang bisa sampai di sini dan bersikap seperti… suami yang sesungguhnya.

“Harusnya aku yang tanya ke kamu, kenapa kamu bisa sampai ke sini?” tanya Julie pada akhirnya. “Aku cuma pengen cari sarapan di luar aja kok pagi ini, that’s it.”

“Nggak ada hubungannya sama yang semalam?” tanya Ipang lagi dengan lebih lembut. “Kupikir kamu kabur dari aku karena kejadian semalam.”

Lelaki itu beranjak duduk di single sofa yang ada di ruangan milik Julie dan karena tak punya pilihan lain, Julie memilih duduk di kursi kerjanya.

“Yang semalam cuma kecupan, Jules. Kamu nggak perlu kabur sampai ke ujung dunia hanya karena itu.”

Julie memicingkan matanya mendengar bagaimana santainya Ipang saat mengatakan hal tersebut. Yah… kejadian itu bagi laki-laki kayak kamu yang tiap hari ganti perempuan, mungkin bukan hal yang mesti dipikirin.

Julie memilih untuk menyimpan kalimat itu sendiri dan menghela napasnya. “Kamu bisa telepon kalau cuma mau nanya kenapa aku nggak sarapan.”

Julie tahu, harusnya ia tidak memikirkan hal itu sampai sepusing ini. Tapi beribu kali ia mencobanya, beribu kali juga Julie gagal melakukannya.

“Hei, kamu nggak inget siapa yang tadi pagi matiin teleponnya begitu aja?”

Sial, iya juga, maki Julie dalam hatinya.

Sebenarnya Ipang sendiri tak tahu apa yang mendorongnya hingga ia pergi ke A Class, salon milik Julie. Semalam ia langsung naik ke kamarnya setelah kejadian tersebut karena tak ingin melihat raut wajah horor Julie lebih lama lagi.

Apa satu kecupan yang tak disengaja itu sangat menjijikkan bagi Julie?

Pertanyaan itu yang terus terngiang di benak Ipang sampai akhirnya dengan spontan, ia memutuskan untuk pergi ke sini, menemui istrinya yang terlihat seperti tidak menginginkan kehadirannya.

“Jules,” panggil Ipang setelah terdapat jeda beberapa lama. “Apa yang akan kamu lakukan seandainya si brengsek itu dateng lagi ke kamu?”

Julie mengernyit. “Si brengsek? Siapa?”

“Raveno, siapa lagi emangnya?” Ipang memutar kedua bola matanya dengan malas. Kenapa Julie bahkan tidak menganggapnya brengsek? Harusnya Julie langsung sadar siapa yang ia maksud.

“Kalau dia beneran nemuin kamu lagi, kamu mau gimana?”

Keluarga maupun sahabat-sahabatnya tidak ada yang pernah menanyakan hal ini sebelumnya pada Julie.

Maka dari itu Julie terdiam sejenak, tapi hal tersebut malah disalahartikan oleh Ipang yang langsung menerka kalau Julie masih memikirkan Raveno dengan sepenuh hati.

“Aku mau nanya apa kurangnya aku sampai dia berkhianat kayak gitu,” jawab Julie pada akhirnya. “Apa karena Papa yang selalu ragu sama dia? Apa karena aku yang nggak pernah mau tidur sama dia?”

“What?!” Dari sekian banyak dugaan Ipang, Julie yang bertanya seperti itu kepada bajingan tersebut tidak pernah terlintas di benak Ipang. “Kan dia yang ninggalin kamu dan tidur sama perempuan tadi, kenapa kamu jadi nanya kurangnya kamu di mana?”

“Menurutku, kalau ada yang selingkuh, masalahnya bukan cuma di orang yang selingkuh aja. Tapi bisa jadi semua orang punya salah dan perannya masing-masing.”

Ipang menatap Julie dengan tidak percaya. “Semua orang punya kontrol atas nafsunya masing-masing, Jules. Dia emang nggak setia aja makanya bisa tidur sama perempuan lain. Mau kamu nolak dia buat tidur sama kamu atau nggak, harusnya dia nggak ngelakuin itu kalau emang dia menghargai komitmen kalian.”

“Udahlah, Pang. Bisa nggak sih nggak usah bahas ini?” Julie mulai tak suka dengan tatapan tajam Ipang yang seperti menghakiminya. “Lagian orang kayak kamu nggak punya kapasitas untuk ngomongin hal ini.”

“Orang kayak aku?” Kata-kata Julie seakan menyentil Ipang yang langsung berdiri menghampirinya. “Orang kayak aku tuh maksudnya gimana, Jules?”

Saat tatapan mata mereka bertemu, Julie langsung menyesal telah mengatakannya. Tatapan dingin dan tajam yang dulu sebelum ia menikah dengan Ipang sering ia dapatkan, kini kembali lagi.

Akan tetapi, Julie menolak menjadi dirinya yang dulu, yang akan kabur dan diam-diam sakit hati karena tatapan Ipang. Maka dari itu ia memberanikan diri menjawab, “Yang bisa tidur sama siapa aja tanpa status apa-apa.”

“Oh ya, emang aku bisa tidur sama siapa aja yang aku mau tanpa perlu pacaran, Jules.” Ipang mendengus. “Tapi setidaknya bukan aku yang ninggalin kamu di hari pernikahan. Ingat, Jules, pada akhirnya aku yang nikahin kamu.”

“Kamu nikahin aku juga bukan karena keinginan sukarela, tapi supaya nggak diketawain papamu kan?” tanya Julie balik. “Aku tahu dari Suri, kamu nggak mau diketawain papamu yang meragukan lelaki kayak kamu… bisa setia sama satu orang aja di dalam sebuah pernikahan. Makanya kamu nggak mau pernikahan hari itu batal.”

Kedua tangan Ipang mengepal erat saat Julie memaparkan fakta yang selama ini ia sembunyikan. Suri memang tahu sedikit dari banyaknya alasan yang mendukung keputusan impulsif Ipang untuk mengajak Julie menikah.

Tapi ia tidak menyangka kalau Julie akan tahu secepat ini.

“Mendingan kamu sekarang pergi deh,” usir Julie yang beranjak dari kursinya untuk membukakan pintu, mempersilakan Ipang keluar dari ruangannya. “Aku sibuk.”

Ipang mendecakkan lidahnya. “Jules—”

“Kayaknya kita mending urusin hidup kita sendiri-sendiri aja, kayak kita yang tidur di kamar terpisah,” tegas Julie lagi. “Makasih juga udah bantuin aku ngusir Kina meskipun sebenernya aku bisa urus dia sendiri. Lain kali kamu nggak perlu jadi kayak pahlawan kesiangan, Pang.”

***

“Biasanya orang yang dateng ke klub itu cuma karena dua tujuan, mau bersenang-senang atau mau melampiaskan amarah.”

“Terus?”

“Kamu pasti dateng ke sini karena alasan kedua.”

Ipang mendengus mendengar tebakan sahabatnya, Ksatria, yang terdengar sok tahu tapi memang itulah faktanya. Jadi yang ia lakukan adalah menelusuri bibir gelas dengan jemarinya seraya memutar ulang percakapannya dengan Julie siang tadi.

Malam ini Ipang tidak ingin langsung pulang ke rumah. Entah ketika mobilnya keluar dari kawasan gedung kantornya, Ipang malah mengemudikan mobilnya menuju The Clouds, klub malam milik sahabatnya yang memang sudah biasa ia sambangi.

“Julie tahu kamu ke sini?” Ksatria seperti tidak ingin membiarkan Ipang memiliki waktu sendirian untuk berpikir.

“Nggak,” jawab Ipang singkat.

Ksatria menggeleng, lalu tangannya mengambil ponsel dari saku kemejanya dan mengirim pesan pada seseorang yang baru saja ia tanyakan.

Ksatria memang meminta nomor telepon Julie di hari pernikahan Ipang dengannya, untung saja perempuan itu memberikannya tanpa banyak tanya.

“Apa kamu kepikiran mau cerai dari Julie?”

“Kenapa semua orang berpikir kalau aku bakal cerai sama Julie?” Ipang bertanya balik dengan kesal.

“Emangnya kamu cinta sama dia?”

Tak mau kalah, lagi-lagi Ipang malah menjawab pertanyaan Ksatria dengan pertanyaan. “Tua bangka itu juga nikah sama tiga istrinya yang sekarang tapi masih ngaku cuma cinta sama mamaku.”

“Katanya kamu nggak mau jadi papamu, tapi kelakuanmu juga nggak beda jauh sama dia ternyata,” cibir Ksatria.

Ipang memutuskan untuk tidak memedulikan kata-kata Ksatria dan kembali menenggak minumannya. Jangankan menjawab pertanyaan Ksatria, pertanyaannya untuk dirinya sendiri pun belum terjawab.

Kenapa ia peduli tentang apa yang dirasakan Julie terhadap Raveno? Padahal Ipang jugalah yang memberi batasan dengan menyuruh Julie tidur di kamar tamu.

Kenapa Ipang tidak menyesal karena kecupan tak disengaja kemarin? Padahal alasannya menikahi Julie hanya agar keluarganya tidak malu dan ia tidak ditertawakan ayahnya—yang selalu ragu kalau seorang lelaki yang senang dipuja banyak perempuan itu bisa terikat hanya dengan satu perempuan.

“Hai, Ipang.” Sapaan bernada seduktif itu membuyarkan lamunan Ipang. Di bar stool yang bersebelahan dengannya, seorang perempuan duduk dan menatapnya dengan penuh minat.

Kalau biasanya ia dan sahabat-sahabatnya menetap di ruang VIP, kali ini karena datang tak direncanakan Ipang memilih untuk berdiam diri di area bar dengan Ksatria. Siapa sangka hal ini ternyata menarik minat banyak perempuan di sekitarnya dan salah satunya kini mulai beraksi.

“Hai,” sapa Ipang dengan satu alis terangkat ketika mengamati penampilan perempuan di sisi kanannya ini, ia mengenakan tube dress ketat yang membalut tubuhnya dengan sempurna dan membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi bahu kirinya.

“Tumben nggak di atas,” komentar perempuan itu sambil melirik ke arah tangga yang mengarah ke lantai dua, di mana ruang VIP berada. “Jarang kayaknya aku nemuin kamu di sini.”

Satu tangan perempuan itu menyentuh bahu Ipang dengan lembut dan Ipang bersumpah ia mendengar Ksatria berdecak di sebelah kirinya.

Baru saja Ipang akan bertanya apakah mereka pernah bertemu sebelumnya, ketika tanpa sengaja matanya menangkap seseorang yang juga tengah menatapnya.

Ipang mencoba menggali ingatannya, di mana ia pernah menemui lelaki itu. Namun, sebelum ia berhasil mengingatnya, lelaki itu memutus kontak mata mereka karena pasangannya tengah mengajaknya mengobrol.

Ipang pun menoleh pada Ksatria, yang notabene setengah harinya berada di The Clouds. “Eh, itu siapa?”

“Yang mana?” Ksatria menaruh gelasnya dan berusaha melihat ke arah yang ditunjuk Ipang.

“Yang pakai kemeja nggak dikancing.”

Ksatria berdecak, informasi Ipang benar-benar tidak spesifik dan hanya menyulitkannya. “Yang rambutnya gondrong?”

“Bukan—sialan!”

Ksatria kaget bukan main saat Ipang mengumpat keras-keras. Lelaki itu bahkan langsung menepis tangan si perempuan tube dress tersebut dengan kasar dan segera meninggalkan bar stool-nya.

“Woy, mau ke mana, Pang?!” panggil Ksatria yang sama sekali tidak digubris oleh Ipang.

Di sisi lain, Ipang mengepalkan tangannya erat-erat sembari membelah kerumunan. Panjang umur sekali si brengsek itu. Baru tadi siang ia meributkannya dengan Julie, sekarang lelaki itu malah muncul dengan sendirinya di depan hidung Ipang.

Ketika sudah dekat dengan meja yang ia tuju, Ipang berseru keras, “Heh, bajingan!”

Dua lelaki dan tiga perempuan di meja itu dengan spontan menoleh kepada Ipang. Ipang tidak membuang waktu dan langsung menarik kerah kaos yang dikenakan Raveno di balik kemejanya.

“Masih hidup rupanya?” tanya Ipang dengan sinis. “Kirain udah ke akhirat makanya nggak muncul dua minggu yang lalu.”

Raut wajah Raveno langsung memucat saat Ipang mengenalinya. Sejak tadi tatapannya tak sengaja jatuh pada Ipang, Raveno langsung mengenalinya sebagai lelaki yang menggantikan posisinya sebagai suami Julie.

Pernikahan keduanya yang seperti merger dadakan tersebut ramai dibicarakan orang-orang di media sosial—dari sanalah Raveno tahu siapa yang menikahi kekasihnya, Julie.

Ia pikir Ipang tidak akan mengenalinya meskipun ia sudah merasa resah sejak tadi, siapa sangka lelaki itu kini hampir mengangkat tubuhnya hanya dengan mencengkeram kerah kaosnya.

“Lepas,” desis Raveno yang berusaha mempertahankan sisa harga dirinya di hadapan Ipang.

“Oke.”

Dengan mudah, Ipang melepas cengkeramannya hingga Raveno terhuyung ke belakang. Tapi sebelum ia bernapas lega, Ipang lebih dulu maju dan meninju wajahnya tiga kali dengan sangat cepat.

Pengunjung The Clouds di sekitar mereka sontak berseru kaget melihat hal tersebut. Tapi tidak ada yang berani menarik Ipang menjauh dari Raveno, apalagi ketika ia menarik Raveno agar kembali berdiri untuk ia hajar lagi wajah dan perutnya.

Sayup-sayup Ipang masih bisa mendengar Ksatria dan penjaga The Clouds memanggil namanya. Tapi ia seperti ditulikan dari semua panggilan itu dan menjadikan Raveno sebagai samsak pelampiasan emosinya yang tengah tak menentu.

Raveno berusaha melawan, tapi ia tidak pernah benar-benar menghajar seseorang atau melindungi dirinya sendiri, sehingga yang ia lakukan adalah kesia-siaan.

“Ipang!”

Satu panggilan itu membuat Ipang menghentikan tinjunya yang kesekian ke perut Raveno. Ada tangan yang menarik lengannya hingga membuat ia menoleh.

Untuk mendapati Julie yang napasnya tak beraturan tengah menatapnya dengan horor.

Tatapan itu lagi…. Ipang tidak suka dengan tatapan yang entah Julie sadar atau tidak, selalu ia berikan jika mereka berada di ruang yang sama—sejak mereka SMA.

“Berhenti! Kamu kerasukan atau gimana sih?” bentak Julie yang berusaha mengalahkan suara musik. “Lepasin dia sekarang!”

“Mantan calon suami kamu ini?” Ipang bertanya dengan dingin. Sekilas, ia melihat memar di wajah Raveno tercetak dengan jelas dan darah mulai menetes dari sudut bibirnya yang robek.

“Iya, lepasin dia.”

“Setelah apa yang dia lakuin ke kamu, kamu minta aku lepasin bajingan ini?” Tawa mengejek keluar begitu saja dari mulutnya. “Jules, aku nggak nyangka kamu sebodoh ini.”

Kata-kata Ipang membuat mata Julie memanas. Apa mencegah Ipang membunuh seseorang adalah tindakan bodoh? Hanya karena lelaki itu mantan calon suaminya?

Saat tadi hampir tiba di The Clouds karena diberi tahu Ksatria (yang membujuknya dengan memelas untuk menjemput Ipang), Ksatria kembali meneleponnya dan mengatakan kalau Ipang tengah menghajar seseorang.

Julie tentu saja panik dan lebih tak menyangka lagi kalau yang dihajar hingga hampir pingsan itu adalah Raveno.

Lelaki yang meninggalkan Julie di hari pernikahannya.

“Kalau aku bodoh, berarti kamu nggak ada bedanya,” balas Julie tak terima. “Bukan kamu yang ditinggal sama dia waktu itu, tapi kamu yang mungkin bisa aja masuk penjara setelah hajar dia begitu.”

“Terus mau kamu apa?” balas Ipang dengan nada yang tak kalah tingginya.

“Lepasin Raveno sekarang juga!”

Ipang tersenyum sinis, lalu dengan entengnya melepaskan cengkeramannya pada Raveno hingga lelaki itu kini tersungkur ke lantai sambil terbatuk-batuk.

Teman-teman Raveno langsung mengerubunginya, di antara mereka tak ada yang bisa bela diri dan lebih dulu takut dengan perawakan Ipang yang tinggi besar juga berotot tersebut.

“Sekarang kamu udah ketemu dia kan? Tanya sama dia, kenapa dia ninggalin kamu di hari itu?” seru Ipang dengan marah.

Julie langsung melotot marah. “Ipang!”

“Kamu dari tadi belain dia, Jules. Sadar nggak sih?” sindir Ipang terang-terangan. “Apa kamu belain dia karena mau balikan sama dia? Jadi siapa yang kamu mau sekarang, dia yang ninggalin kamu atau aku yang nikahin kamu?”

***

Apa yang lebih dingin dari AC mobil Bentley Bentayga di mana mereka duduk bersisian dengan jarak yang cukup jauh?

Keheningan yang menyiksa.

“Gimana ceritanya kamu bisa sampai ke The Clouds?” Akhirnya Ipang tak tahan dan dialah yang memecah keheningan di antara mereka.

Di kursi pengemudi, pegawai kepercayaan The Clouds yang biasa jadi sopir dadakan untuk Ipang dan sahabatnya kalau sedang mabuk, berusaha menutup telinga atas percakapan di belakangnya.

"Mas Ksatria telepon aku.”

Ipang mendengus geli mendengar bagaimana Julie memanggil Ksatria dengan embel-embel ‘Mas’ sedangkan ia hanya dipanggil dengan nama. Lelaki itu lupa kalau saat mereka bertemu di masa sekolah, ialah yang menyuruh Julie memanggilnya hanya dengan nama.

“Bilang apa dia?”

“Katanya kamu mabuk dan perlu dijemput.” Julie melirik lelaki yang mengenakan seragam The Clouds di kursi pengemudi. “Tapi harusnya aku nggak perlu khawatir, kamu bisa pulang sendiri.”

Lagi-lagi dengusan Ipang menjadi responsnya atas ucapan Julie. Lelaki itu melirik istrinya yang duduk merapat ke pintu mobil, memberi jarak lebih dari tiga puluh senti di antara mereka.

Kenapa juga ketika Ipang ditinggalkan Priska, ia malah dipertemukan oleh Julie yang merupakan sahabat adiknya sekaligus perempuan yang memusuhinya?

Mungkin kalau perempuan lain yang akhirnya ia nikahi, ia tidak akan kebingungan seperti ini.

“Harusnya tadi kamu nggak usah sok bersikap pahlawan untuk bajingan itu,” ungkap Ipang yang sudah tak bisa menahan diri hingga mereka sampai di rumah. “Abang-abangmu pasti setuju sama apa yang kulakukan.”

“Nggak usah bawa Bang Janu dan Bang Septa untuk jadi pembenaran kamu.”

“Aku udah kepalang janji sama Bang Janu dan Septa, kalau suatu hari nanti ketemu sama si brengsek itu, aku nggak akan ragu buat ngehajar dia. Coba kamu tanya sendiri aja ke mereka,” balas Ipang tak mau kalah, yang sedetik kemudian merasa menyesal karena kini ia berubah menjadi kekanak-kanakan.

Ipang memang sudah berjanji kepada dua kakak lelaki Julie tanpa perempuan itu ketahui. Tapi di luar itu, Ipang tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap Julie.

Awalnya ia ingin menjaga jarak dengannya—seperti apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka selama ini. Tapi ketika Ipang mengetahui kalau Julie masih mencari dan bahkan membela Raveno, sesuatu di dalam diri Ipang jelas-jelas memberontak.

Ipang tidak pernah berpikir untuk menanyakan Priska apa yang salah dengannya hingga perempuan itu meninggalkannya.

Maka dari itu ia terkejut karena Julie bahkan berpikir adalah kesalahannya karena tidak tidur dengan Raveno, sehingga lelaki itu meniduri sahabatnya sendiri.

Ipang jadi tak tahu kewarasan siapa yang harus ia pertanyakan—kewarasannya atau kewarasan Julie.

“Kamu harus belajar kalau dunia ini nggak hanya berputar di sekitar kamu. Nggak semua orang harus punya pemikiran yang sama dan paham sama apa yang kamu pikirin,” oceh Julie yang masih sangat kesal kepada Ipang.

“Aku tahu kamu terbiasa dikelilingin perempuan, makanya kamu bertindak berlebihan dengan mempertanyakan siapa yang aku pilih.” Julie mencebik ketika ia melirik Ipang sekilas dan ternyata lelaki itu juga tengah meliriknya. “Hanya karena aku nggak menangis terharu ketika kamu ngehajar Raveno, kamu nggak seharusnya sensitif begini kayak aku kalau lagi PMS. Kayaknya kepalamu perlu didinginkan pakai es batu.”

“Kepalamu juga perlu dikasih sesuatu yang panas, Jules,” balas Ipang. “Supaya kebodohanmu karena masih belain laki-laki itu segera mencair.”

Julie sudah lelah sejak pagi menghindari Ipang dan bertemu dengan Kina di siang harinya. Jadi ketika akhirnya di malam hari ia masih harus bertengkar dengan Ipang, satu-satunya hal yang ingin Julie lakukan adalah mengunci dirinya di kamar untuk menenangkan diri.

“Jadi kamu beneran masih cinta sama dia?”

“Bukan urusan kamu,” tampik Julie dengan malas.

“Jelas-jelas itu urusanku, Jules. Kamu sekarang istriku.”

Dengan cepat Julie langsung menoleh pada Ipang yang tengah menatapnya dengan sengit. “Oh, jadi sekarang beneran dianggap istri? Wow, prestasi baru buatku.”

“Nggak usah sarkastis, Jules,” geram Ipang tak suka.

“Nggak usah sok ngatur. Rasanya aku lebih suka kita kayak seminggu pertama setelah kita menikah.”

Keduanya tak menyadari kalau sopir di kursi pengemudi tersebut sedang berdoa supaya mereka segera sampai di tujuan. Lelaki itu sudah mengenal Ipang sejak tiga tahun yang lalu bekerja di The Clouds dan rasanya tak nyaman menyaksikan pertengkaran suami-istri dari orang yang ia kenal tersebut.

Kepala Ipang pusing, tangannya juga lebam setelah menghajar Raveno habis-habisan. Tapi ocehan Julie yang terus terulang di kepalanya seperti kaset rusak membuat Ipang benar-benar kesal.

Ketika akhirnya mereka tiba di rumahnya, Ipang memberi ongkos untuk sopir dadakannya tersebut lalu buru-buru berpamitan karena Julie sudah lebih dulu meninggalkannya.

“Jules, kita harus ngomong dulu!” panggil Ipang begitu ia masuk ke rumah.

Julie tidak mendengarkannya, ia terus melangkah menaiki undakan anak tangga dan membuat Ipang mau tidak mau menyusulnya.

Ketika Julie hampir membuka pintu kamarnya, Ipang sudah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangan Julie.

“Jules.”

“Bisa besok nggak?” Julie merespons dengan malas-malasan.

Aroma alkohol dan rokok yang melekat di tubuh Ipang membuat Julie semakin malas berlama-lama dengannya. “Besok, Pang, besok kita ngomong.”

“Sekarang,” tandas Ipang tak mau terima penolakan.

“Oke! Sekarang mau ngomong apa?” Julie menepis tangan Ipang dari pergelangan tangannya dan menatap Ipang dengan tajam, menantang lelaki itu untuk mengatakan apa pun yang ingin mereka bicarakan.

“Kamu inget kan kalau kita udah nikah?”

“Aku belum kebentur sesuatu sampai aku amnesia.”

Lelaki yang pakaiannya sudah kusut tersebut menggertakkan giginya. “Kalau gitu aku minta supaya kamu nggak akan temuin laki-laki itu lagi.”

“Jadi kamu sekarang gunain titel kamu sebagai suamiku untuk hal itu?” balas Julie dengan retoris. “Kalau gitu aku minta kesetiaan kamu, bisa?”

Semua orang tahu, Ipang dan kata setia tidak pernah ada di satu kalimat yang sama. Julie sengaja meminta hal yang mustahil tersebut, karena sejak mereka remaja, Julie jadi saksi bagaimana Ipang menjalin hubungan hanya atas dasar bersenang-senang.

Begitu Ipang bosan, maka ia akan mendepak perempuan yang menjadi kekasihnya, lalu mencari lagi yang baru. Rasanya seperti melihat seorang anak lelaki yang cepat bosan dengan mainannya.

“Bisa.”

Ipang menjawab dengan lugas dan tentu saja hal itu di luar dugaan Julie. Julie baru mau menyuruhnya untuk tidak berbohong, ketika pinggangnya ditarik hingga tubuhnya menabrak Ipang.

Lelaki itu menunduk dan menyegel janjinya dengan sebuah ciuman. Ciuman ini jelas berbeda dengan apa yang terjadi kemarin, karena bahkan yang terjadi kemarin terhitung hanya sebagai sebuah kecupan.

Bibir mereka bersentuhan lebih dari sepuluh detik dan Ipang bergerak terlebih dahulu untuk melumat bibir Julie yang sedari tadi terus mengoceh memarahinya.

Oh, jadi begini rasanya bibir Julie....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status