Share

Berharap Terjadi Sesuatu

Yura mengusap bulir bening di pipi lalu, tersenyum getir menatap Edo yang bergeming di hadapannya. Wanita itu enggan menunggu jawaban Edo, ia langsung melewati pria itu melangkah ke dalam.

Edward bersembunyi di balik pintu saat Yura masuk agar tidak terlihat oleh istri keduanya. Pria itu menatap punggung sang istri yang menghilang di balik pintu kamarnya. Sedikit rasa iba, ia baru tahu jika Yura pun terpaksa untuk menikah dengannya. Ia bingung menghadapi semua masalah di hidupnya.

Paksaan sang ibu, belum lagi dengan keinginan Amalia yang membuatnya tidak bisa mengikutinya. Ia hendak melangkah, tapi terhenti saat Edo memanggil.

“Pasti bingung mau masuk ke kamar mana?” tanya Edo dengan sinis.

“Bukan urusan kamu.” Edward merasa tidak senang dengan ejekan Edo.

Sejak kecil mereka memang tak pernah aku karena Edo selalu membuatnya kesal. Apalagi saat ini pun, adiknya sangat membuat pusing keluarga dengan tingkah liarnya. Tak menggubrisnya, Edward memilih masuk ke kamar Yura.

Edo tersenyum tipis melihat kakaknya yang masuk ke kamar Yura. Entah, pria itu sengaja atau tidak, tetapi untuk saat itu Edward tidak mau bersama Amalia yang masih emosi.

Yura terkesiap dengan kedatangan Edward. Ia lupa mengunci pintu hingga sang suami bisa masuk leluasa.

“Kalau aku tidak ada, jangan lupa mengunci pintu. Kalau aku yang masuk, kalau orang lain, bagaimana?” tanya Edward.

Yura bergeming. Ia memang lupa mengunci pintu karena ia terlalu kesal dengan Edo. Dadanya berdegup kencang saat Edward mengunci pintu kamarnya. Ia bingung mengapa tiba-tiba sang suami datang ke kamarnya. Padahal, saat malam pengantin, Edward jelas-jelas pergi begitu saja.

“Jangan ganggu aku, aku mau tidur.”

“Di sini?” tanya Yura gugup.

“Kamu pikir di toilet?”

Merasa kesal, Edward pun langsung merebahkan tubuh di ranjang. Ia gegas memiringkan badan memunggungi Yura. Sementara, gadis dengan rambut pirang itu terus menatap punggung sang suami yang begitu kekar.

Semuanya akan berakhir jika memang dia hamil. Namun, bagaimana bisa memaksa Edward untuk menyentuhnya? Sebuah pemikiran yang terus ia pikirkan. Yura pun ikut merebahkan tubuh di samping sang suami. Tak memedulikan jika Edward terbangun dan mengusirnya nanti.

Sembari mencoba memejamkan mata, ia kembali teringat saat dirinya masih menjadi pelayan di kelab malam.

“Loh, itu perempuannya kok pingsan?” tanya Yura pada temannya.

“Tadi aku lihat si pria mencampurkan sesuatu, sudah tidak heran kalau di sini perempuan baik-baik jadi tidak baik. Lagi pula, masuk ke sini pun sudah jadi wanita tidak baik.”

“Termaksud kita?” Yura kembali bertanya.

“Nggak-lah. Kita, kan kerja di sini. Tapi, kita juga harus hati-hati, Yura. Dunia malam kejam. Lihat saja wanita itu, di bawa beberapa pria. Bisa kamu bayangkan, kan?”

Yura bergiding ngeri mendengar cerita temannya itu. Lalu, ia kembali ingin tahu bubuk apa yang ditaburkan itu.

“Bubuk apa itu?”

“Nggak tahu juga, tapi sepertinya obat yang bikin mabuk atau obat perangsang.”

“Memang ada?” tanya Yura lagi.

“Kamu sercing saja deh.”

Yura terbangun dari lamunan saat tak sengaja Edward berbalik badan dan netra keduanya saling bertemu. Edward melipat tangan di dada sembari tertidur miring menatap Yura yang sudah mulai panas dingin.

“Kenapa kamu diam? Bukannya kamu menginginkan ada sesuatu antara kita?” tanya Edward.

Yura masih bergeming karena tak sanggup berkata-kata karena dadanya saja masih sesak. Ia membutuhkan pasokan oksigen saat Edward terus saja menatapnya lekat. Yura terus memutar otak, apa yang akan di lakukan sang suami? Apa dia akan melakukan apa yang diinginkan Madam Syin?

Bukan hanya Yura yang merasakan hal aneh, Edward pun merasakan hawa semakin panas di sekujur tubuhnya. Ia mencoba membayangkan Amalia, tapi tetap saja Yura yang berkeliaran di pikirannya.

Bibir tipis merona itu membuatnya semakin tak karuan. Menatapnya terus menerus membuat gelenyar aneh di jantung pria itu. Perlahan tangannya tanpa ia inginkan pun menyentuh pipi Yura.

Namun, ia kembali mencoba berpikir tenang. Kembali, ia menetralkan degup jantungnya. Lagi-lagi ia harus setia, tapi bukankan di depannya istrinya juga?

Edward pun mulai memikirkan, sentuh atau abaikan? Bahkan, ia berpikir untuk ke kamar Amalia lagi.

***

Duh, galau pak Edward...🤭

Wanita di depannya memang sangat menggoda, dengan menggunakan baju tidur tipis hitam membuat Yura semakin memesona. Belum lagi perasaan yang aneh menjalar ke seluruh tubuh Edward. Ia berpikir apa waktunya untuk mewujudkan mimpi sang ibu? Namun, lamunannya buyar saat suara perutnya berbunyi. Ia lupa jika dirinya belum makan.

“Kamu lapar?” tanya Yura.

Wajahnya Edward memerah menahan malu. Bisa-bisanya suasana tegang seperti itu muncul suara aneh dari perutnya. Memang rasa lapar tidak bisa melihat situasi dan kondisi. Edward mengangguk pasrah karena memang terdengar sangat keras suara cacing di perut.

“Aku ambilkan makan? Atau aku potongkan buah saja?” tanya Yura bersemangat. Bukan karena akan mengambilkan makan, tapi karena ia memanfaatkan hal itu untuk lepas dari tatapan sang suami yang membuatnya sesak.

“Apel saja.”

Gegas Yura bangkit untuk mengambilkan buah untuk Edward.

“Tunggu!”

“Kenapa?”

“Ganti bajumu, aku nggak suka tubuhmu di lihat orang lain selain aku.”

Seketika wajah Yura memerah mendengar penuturan Edward. Wajahnya kian merona saat sang suami tak henti menatapnya. Tak mau banyak bicara, Yura mengambil baju dan menggantinya di kamar mandi.

Degup jantungnya begitu kencang, seolah-olah habis berlari kencang hingga membuatnya kelelahan. Ada apa dengan hatinya, ia tak bisa berpikir jernih kali ini. Saat itu, ia tanpa malu meminta pada Edward. Namun, kali ini ia merasa dirinya tak kuasa menahan rasa yang ia pun tidak mengerti apa yang kini terjadi.

Perasaan aneh pun membuat Edward tak berhenti berpikir. Sebuah kegilaan baginya memiliki perasaan untuk wanita lain selain Amalia. Pria itu mengusap kasar wajah, kemudian menarik napas dalam.

“Kenapa berganti di kamar mandi?” tanya Edward.

“A—aku, eh, sekalian buang air kecil.” Terpaksa Yura berbohong untuk menutupi perasaan gugup dan malunya.

“Ya, sudah. Jangan lama, jika bertemu Edo, abaikan saja. Atau cepat lari panggil aku.”

“Baik.”

Yura tersenyum tipis mendengar apa yang dikatakan Edward. Ia senang saat pria itu mencemaskannya. Dirinya pun cukup tahu jika Edo sangat berbahaya untuk dirinya. Dengan cepat ia bergegas ke dapur.

Ia membuka kulkas, gerak cepat ia mengambil apel lalu, mencucinya terlebih dahulu. Pelan-pelan ia memotong apel itu. Sembari tersenyum memikirkan sang suami yang sudah mau bicara padanya walau terkesan seperti kulkas berjalan.

Yura terkesiap saat melihat Edward sudah berada di belakangnya. Ia kembali bertanya-tanya, bukannya pria itu ada di kamar? Mengapa kini ada di hadapannya.

“Cepat masuk, kita makan di kamar saja.” Edward terus saja memindahi kamar Amalia. Ia takut istri pertamanya itu melihat dirinya berada di dapur dengan Yura.

Tadi ia sempat berpikir untuk tetap berada di kamar. Namun, ia mengingat Edo yang bisa saja tiba-tiba hadir di dapur. Seketika ia menghampiri Yura di sana.

Yura mengikuti sang suami bagai anak ayam yang mengekor induknya. Ia pun sama, merasa takut ada yang melihat mereka. Apalagi jika Amalia melihat dirinya bersama sang suami.

"Tidur saja jika mengantuk," ujar Edward.

"Nggak, aku mau menemani makan."

Tak banyak bicara lagi, Edward langsung melahap buah pada malam hari. Tak peduli jika nanti perutnya membuncit.

***

Berharap semalam terjadi sesuatu, tapi mereka malah ketiduran saat selesai memakan buah. Apalagi Yura yang langsung mendengkur setelah menunggu Edward yang tiba-tiba mengerjakan pekerjaan kantor yang terlupakan.

Saat membuka mata, ia tak melihat Edward di sampingnya. Ia merasa kecewa saat pria itu ternyata sudah pergi dari kamarnya. Yura mengambil sebuah note yang berada di bawah gelas susu di nakas.

‘Aku pergi dulu, maaf tidak membangunkanmu. Kulihat kau terlalu lelah, mungkin karena memotong apel untukku. Jangan lupa di minum susunya.’

Senyum tipis menghiasi bibir mungil Yura. Mendapat pesan singkat seperti itu saja, ia sudah merasa berada di atas awan. Kebersamaannya bersama Edward semalam membuat ia melupakan sebagian masalahnya. Walau saat terbangun lagi, ia sudah kembali mengingat hal itu.

“Permulaan yang baik, Yura. Semoga saja bisa membuat Edward luluh.” Yura bergumam sendiri.

Yura meminum segelas susu, lalu bangkit menatap cermin di dinding. Ia yakin, suatu saat Edward akan luluh dan baik padanya.  Entah, ia merasakan tak ingin memaksakan apa yang sejak awal menjadi tujuannya. Menjadi wanita spesial itu butuh pengorbanan.

Sebelum ia ke luar kamar, ia gegas mandi terlebih dahulu. Berharap bisa melihat Edward saat pulang nanti. Atau bermimpi sang suami kembali datang ke kamarnya. Walau hanya berbincang, ia pun sudah senang karena dibalik sikapnya, pria itu sangat baik.

“Nyonya Yura, apa sudah bangun?” Bi Rukmini mengetuk pintu kamar Yura.

“Iya, Bi.”

Gegas ia membukakan pintu Bi Rukmini. Wanita paruh baya itu sudah berdiri di ambang pintu. Dengan membawa sarapan pagi untuknya.

“Tak usah di bawakan, biar aku makan di ruang makan saja.”

“Pesan madam harus langsung memberikan pada Nyonya.”

Yura mengambil sarapannya, lalu ikut ke dapur bersama Bi Rukmini. Sudah berulang kali asisten rumah tangganya itu meminta Yura tetap di kamar. Namun, istri kedua majikannya tetap kekeh mau ke luar.

Sebelumnya pun sang majikan meminta dirinya mengawasi Yura. Bukan takut dia kabur, melainkan hal yang tak akan terduga seperti yang terlihat olehnya saat itu.

“Nyonya besar, baru bangun? Apa nggak malu, tinggal di rumah orang bangun siang?” Amalia mengejek Yura.

“Untuk apa malu, ini rumah ibu mertua dan tentunya suamiku.”

Wajah Amalia mendadak masam mendengar Yura menyebut suami. Ia tak terima jika sang suami juga di sebutnya sebagai suaminya. Ia masih tidak terima jika ada orang ketiga di antara mereka. Pernikahannya bahagia walau selama 8 tahun tanpa memiliki keturunan.

Ia yakin suaminya mau menerima keadaannya, juga mencintainya dengan ada atau tidak adanya buah hati di antara mereka. Namun, Amalia lupa jika pernah suatu hari Edward mengajaknya ke Dokter dan ia pun melupakan hal itu.

Amalia selalu takut jika nanti ternyata dirinyalah yang dinyatakan mandul. Ia tak sanggup untuk menghadapi hal itu.

“Jangan bermimpi kamu menjadi Nyonya di sini. Satu hal, jangan pernah menyebut Edward itu suamimu. Dia suamiku,” ucap Amalia.

“Dia juga suamiku. Jika tidak, untuk apa semalam dia tidur bersamaku,” balas Yura sembari mengibaskan rambut basahnya.

Amalia semakin geram, tangannya kembali mengepal lalu dengan sengaja menonjok wajah Yura hingga istri kedua suaminya itu jatuh tersungkur. Bi Rukmini yang melihat kejadian itu panik dan gegas membantu Yura bangkit.

Yura menatap tajam kakak madunya. Namun, ia sadar jika dirinya pantas mendapatkan pukulan dari Amalia karena hati siapa yang tak sakit mendengar apa yang sengaja ia katakan. Apalagi saat dengan sengaja ia pun mengibas rambut seolah-olah sesuatu sudah terjadi antara dia dan Edward.

Bi Rukmini sibuk menahan tubuh Yura. Ia sudah mengambil ancang-ancang saat kemungkinan Yura akan membalas atau Amalia menyerang kembali. Namun, sampai beberapa detik setelah bangkit dari lantai, Yura tetap diam menatap Amalia.

“Kenapa kamu diam? Maju, lawan aku!”

“Cck ... apa kamu tidak terlalu bar-bar menghadapi aku?”

Tak memungkiri jika Yura kini sedang menahan amarahnya. Melihat Amalia, jujur saja ia pun iba karena mereka ditakdirkan untuk menjadi istri-istri Edward. Namun, ia pun tidak terima saat wajahnya terpukul oleh Amalia. Untuk kali ini, Yura memilih diam untuk menyelamatkan dirinya.

Edo bertepuk tangan melihat kejadian seru yang tak pernah ia lihat selama di rumah itu. Kedua wanita di hadapannya kompak menatap tajam adik ipar mereka.

“Kau diam saja, Yura?” tanya Edo.

“Diam!” Kompak kedua wanita itu berteriak pada Edo yang niatnya akan mendekati keduanya.

 Bersambung 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status