Share

Kenyataan Pahit Untuk Amalia

Kedua istri Edward hanya bisa menunduk saat mereka berhadapan dengan Madam Syin—ibu mertua mereka. Edward yang berada di sana pun merasa bersalah atas apa yang terjadi antara mereka berdua.

Edward menyesal karena emosi Amalia berasal dari kesalahannya semalam. Istri pertamanya itu begitu lembut, tapi ia tahu jika dia marah, apa pun akan menjadi sasaran. Itu kenyataan yang terjadi. Emosi Amalia tak akan bisa terkendali saat ia mulai tersudut atau merasa tersakiti.

“Semua itu terjadi karena nggak mungkin ada asap jika nggak ada api. Apa yang membuat kalian seperti wanita nggak ada tatak rama?” Madam Syin menelisik ke arah kedua menantunya. Terutama Yura yang ia tahu menahan perih di pipi, tapi dia mencoba tenang.

Edward ikut memindahi kedua istrinya. Ia iba melihat wajah Yura yang membiru akibat tonjokan Amalia. Namun, ia tak bisa bergerak menghampiri untuk sekadar mengompres luka lebam itu.

“Jadi, siapa yang memulai?” Madam Syin kembali bertanya.

“Aku nggak tahu siapa yang memulai karena semua terjadi begitu saja. Bahkan, saat kepalan tangan dia menghantam wajahku, aku pun nggak tahu karena kejadian itu begitu cepat.” Yura mencoba menjelaskan. Ia tak mau Amalia di hukum, tetapi dirinya pun kesal saat kakak madunya mulai bermain tangan.

“Jelaskan Amalia, jangan hanya diam dan menangis. Jangan jadikan air matamu itu senjata agar kami iba.” Kalimat menohok Madam Syin membuat Amalia tersudut.

“Aku membencinya, sejak awal aku pun tak sudi di madu. Hanya karena menghormati Mami saja, aku mau di poligami. Wanita mana yang nggak sakit hati saat melihat rambut basah istri kedua suaminya? Mami nggak pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Nggak mudah, Mi, untuk ikhlas.”

Yura menatap iba kakak madunya. Bukan hanya Amalia saja yang merasa diperlakukan tidak adil. Namun, ia pun merasa hidupnya terkekang oleh sebuah pernikahan paksaan itu. Ia mempunyai mimpi menikah dengan pria yang dicintainya. Bukan menjadi duri dalam rumah tangga orang lain.

Melihat Edward menenangkan Amalia, tiba-tiba saja hatinya perih. Yura mencoba menenangkan diri, ia tak mengerti kenapa dadanya terasa sesak dan tubuhnya begitu lemas melihat perhatian Edward pada Amalia.

“Kalau kamu sempurna, saya nggak akan memberikan pilihan Edward untuk menikah lagi,” ujar Madam Syin.

“Mi, aku sehat dan sempurna. Hanya saja Tuhan belum memberikan kesempatan untuk kami. Bukannya Mami menolak usaha untuk program bayi tabung? Jika Mami setuju, masalah Yura akan selesai. Edward akan menceraikan dia dan nggak akan ada lagi keributan di sini.” Penuturan Amalia membuat Madam Syin emosi.

Harusnya Yura merasa lega saat Amalia mengatakan Edward akan menceraikan dia. Namun, lagi-lagi hatinya begitu sedih. Entah, ia mulai mencintai suaminya itu hanya merasa harga dirinya terinjak-injak.

“Jangan asal bicara, kamu pikir proses itu akan mudah dan cepat? Selama 8 tahun, kamu pikir itu waktu yang sebentar?”

“Ma, sudah. Amalia sedang emosi, lebih baik aku mengajaknya ke kamar,” ujar Edward.

Edward memapah Amalia, tetapi sebelum masuk, ia sempat melirik ke arah Yura. Netra mereka bersirobok, setelah itu Edward masuk bersama Amalia.

“Bersihkan lukamu. Bi Rukmini akan mengurusmu nanti.”

Madam Syin bangkit dan meninggalkan Yura di ruang tamu. Sementara, Edo yang sejak tadi memperhatikan Yura menghampirinya.

“Sakit?” Pria itu duduk berhadapan dengan Yura.

“Biasa saja, hanya hati yang sedikit luka.” Yura mencoba menahan bibir yang bergetar saat ia bicara.

“Mau aku oleskan atau oles sendiri?” tanya Edo sembari memberikan obat oleh untuk luka lebam.

“Biar aku saja.” Yura mengambil obat itu.

“Masih bisa tersenyum saat seperti ini?”

“Aku sudah terbiasa terluka. Hal seperti ini hanya bagian kecil dari luka-luka yang aku terima dalam kehidupan menjadi si miskin.”

Edo tidak paham dengan apa yang dikatakan Yura. Ia menelisik dengan tajam wanita di hadapannya. Berbeda dengan Amalia, ia terlihat lebih tenang menghadapi masalah dengan kakak iparnya satu lagi.

Beberapa menit Yura masih bertahan duduk di ruang tamu sembari mengoles luka lebamnya. Edo pun masih setia menemani kakak iparnya itu. Ia merasa tidak bisa melihat Yura yang hanya diam tanpa kata.

“Terima Kasih,” ucap Yura.

“Santai, kamu nggak takut sama aku?” tanya Edo.

“Awalnya takut, tapi sekarang biasa saja. Asal kamu nggak membuat aku panik. Aku mau ke kamar, kepala rasanya pening.”

Edo hanya mengangguk, lalu ia pun kembali merebahkan tubuh di sofa. Netranya kembali memindahi rumah megah sang ibu. Di tempat itu, ia pernah menjadi anak baik, tapi karena perbedaan kasih sayang, sikap manis dan penurutnya hilang menjadi pemberontak.

Belum lagi masalah percintaan yang gagal membuatnya tak pernah percaya pada wanita. Imbasnya, ia memperlakukan wanita seperti baju, yang jika sudah kumel bisa ia buang dan membelinya yang baru.

***

Amalia masih diam sembari meneteskan air mata. Batinnya terluka, melihat rambut basah Yura saja, ia sudah merasa sakit hati. Membayangkan sang suami memadu kasih di ranjang. Ia belum bisa ikhlas menerima semua keadaan yang terjadi.

“Kamu tenang, ya,” ucap Edward.

“Kamu jahat, kamu bilang nggak akan menyentuhnya. Tapi apa? Yura terlihat senang saat rambutnya basah sehabis mandi.”

Edward menggaruk kepalanya. Jadi, permasalahan mereka sampai adu jotos adalah rambut basah Yura. Semalam memang ia tidur di kamar istri keduanya. Namun, tidak ada hal yang terjadi antara mereka karena Yura tertidur saat dirinya mengerjakan beberapa file yang tertunda.

Tentang rambut basah Yura, pun, ia tidak tahu tentang hal itu. Edward kembali berpikir, apa dirinya mengaku saja memang sudah melakukan sesuatu dengan Yura? Atau ia mengelak saja. Akan tetapi, jika dia membantah pun, Amalia tak akan percaya. Edward sungguh dibuat pusing dengan masalah dua istrinya. Apalagi cemburu Amalia begitu besar.

“Maafkan aku, benar kata Mami, keluarga ini butuh keturunan.”

Amalia kembali histeris menangis sembari memukuli dada bidang sang suami. Ai matanya tumpah tak kala mendengar penuturan suaminya. Ia masih berharap sang suami setia, tetapi malah di khianati.

“Kamu jahat!”

“Sayang, tenang.”

Edward memeluk kencang sang istri. Ia takut terjadi sesuatu antara mereka berdua. Kembali ia teringat saat memeriksakan kesehatan mereka terutama untuk mengetahui mandul atau tidaknya mereka.

“Maaf, Dok, saya datang sendiri. Istri saya kurang enak badan.”

“Tidak masalah, saya hanya ingin menyampaikan semuanya. Di sini kesehatan Pak Edward bagus, hanya saja istri Pak Edward yang bermasalah.” Dokter Kandungan memberikan sebuah kertas pada Edward.

Tangannya bergetar saat membaca sebuah kenyataan yang membuatnya perih. Ia memikirkan bagaimana nasib Amalia jika ia tahu keadaan sebenarnya.

Lamunan terhenti saat Amalia terus saja berteriak.

“Kita akan punya anak, asal sabar. Kamu kenapa menyentuhnya?”

Lagi, Edward bergeming. Andai saja Amalia tahu keadaan sesungguhnya, ia pasti paham dan bisa mengerti jika dirinya tidak bisa hamil.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Willny
ternyata mank Amalia yg bermasalah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status